Nasional Bola

Bagaimana Jika Musim Depan Liga Indonesia Memakai Sistem Dua Wilayah?

Sebenarnya wacana ini sudah terlihat sejak jauh-jauh hari, bahkan sebelum tiga tim yang terdegradasi dari Liga 1 dipastikan di pekan akhir. Selepas gagal memastikan tempat di Liga 1 musim mendatang, Semen Padang mengajukan kompetisi teratas sepak bola Indonesia tersebut musim depan diikuti oleh 24 tim, dan dibagi ke dalam dua wilayah. Ini berarti, jika sistem diterapkan, tidak ada satu pun tim terdegradasi dari Liga 1, dengan tambahan enam tim lain dari kompetisi Liga 2.

Sepak bola Indonesia jelas sudah akrab dengan sistem pembagian wilayah yang sudah ada sejak lama. Bahkan di awal-awal masa ketika baru terjadi unifikasi antara kompetisi Perserikatan dan Galatama, wilayah kompetisi dibagi menjadi tiga bagian, yaitu Barat, Tengah, dan Timur. Atau biasanya hanya disebut sebagai Wilayah 1, 2, dan 3.

Terakhir kali level tertinggi sepak bola Indonesia menggunakan format dua wilayah adalah di kompetisi Liga Super tahun 2014, atau kompetisi terakhir sebelum Indonesia mendapatkan sanksi dari FIFA.

Sebenarnya kompetisi sepak bola Indonesia dengan tajuk Liga 1 ini punya banyak fenomena yang tidak terjadi di kompetisi-kompetisi sebelumnya. Salah satunya adalah soal perebutan gelar juara. Meskipun kemudian berakhir penuh kontroversi dan antiklimaks, perebutan gelar juara kompetisi kali ini begitu kompetitif. Bahkan begitu sengit hingga hari-hari terakhir jelang kompetisi selesai.

Ada sebuah tren yang boleh dibilang membosankan terjadi di musim-musim sebelumnya, terutama ketika liga dengan format satu kompetisi penuh. Ada tren superioritas yang tidak berimbang bagi tim juara dengan tim pesaing mereka. Dengan kata lain, ada jarak poin yang begitu jauh antara tim yang berada di peringkat pertama yang kemudian keluar sebagai juara dengan kesebelasan-kesebalasan yang menjadi “pesaing” mereka di peringkat-peringkat dibawahnya.

Klasemen akhir ISL 2012. Sriwijaya FC unggul jauh dari para pesaing mereka.

Misalnya yang terjadi di Liga Super Indonesia tahun 2012 ketika Sriwijaya FC keluar sebagai juaranya. Ketika kompetisi usai, tim Elang Sriwijaya unggul 10 poin dari Persipura Jayapura yang berada di peringkat kedua, dan 17 poin dari Persiwa Wamena yang ada di peringkat ketiga. Bahkan sebenarnya Sriwijaya FC sudah bisa memastikan gelar juara bahkan ketika kompetisi masih menyisakan beberapa pertandingan lagi.

Hal yang sama juga terjadi di musim selanjutnya ketika Persipura Jayapura berhasil meraih gelar juara. Tim Mutiara Hitam yang mengakhiri kompetisi dengan 82 poin, unggul jauh dari pesaing mereka yaitu Arema Malang dan Mitra Kukar. Bahkan sebenarnya tim yang kala itu masih ditangani oleh Jacksen F. Tiago, sudah mengunci gelar juara pada pekan ke-29 setelah menang 2-0 di kandang Persiwa Wamena.

Klasemen akhir ISL 2013. Persipura unggul 13 poin dari pesaing terdekat mereka, Arema.

Dua musim yang sudah dibahas di atas merupakan percontohan bagaimana terjadinya ketimpangan antara tim juara dengan para pesaing mereka dalam liga yang menggunakan sistem kompetisi penuh. Di Torabika Soccer Championship (TSC) tahun 2016 lalu pun demikian. Meskipun sempat terjadi persaingan ketat antara Persipura dan Arema, tetapi juara sudah bisa ditentukan bahkan sebelum kompetisi benar-benar usai.

Bandingkan misal di ISL edisi 2014 ketika Persib Bandung berhasil menuntaskan dahaga gelar juara mereka selama hampir dua dekade. Ada perjalanan fase dua wilayah, ke babak delapan besar, hingga ke semifinal, dan partai puncak. Perjalanan panjang nan dramatis yang memiliki cerita tersendiri.

Sama seperti ketika Persik Kediri berhasil menjuarai Liga Indonesia tahun 2005, ada kesan mendalam karena adanya perjalanan kompetisi yang begitu ketat. Bahkan kemenangan di partai final melawan PSIS Semarang yang kala itu difavoritkan, juga memiliki kesan bagi siapapun yang menyaksikan laga final tersebut.

Selain soal aspek kompetitif, format dua wilayah juga lagi-lagi, berpengaruh terhadap stabilitas keuangan klub peserta. Pembagian dua wilayah ini membuat adanya penghematan biaya operasional. Sebuah klub di ujung timur Indonesia tidak perlu lagi mengeluarkan dana besar hanya untuk melakukan tandang ke ujung barat Indonesia dan sebaliknya.

Masih segar dalam ingatan bagaiman sempat ada sebuah kesebelasan setelah bertandang ke Padang, partai selanjutnya mereka mesti bertandang ke Jayapura. Selain ongkos yang luar biasa mahal, tidak perlu dijelaskan kembali bahwa perjalanan panjang ini tentunya berpengaruh terhadap stamina dan kebugaran para pemain.

Kompetisi Major League Soccer (MLS) di Amerika Serikat bisa jadi percontohan yang sangat baik. Sebenarnya tidak perlu sampai membutuhkan peserta yang benar-benar banyak untuk dibagi menjadi dua wilayah, karena di sana pun hanya ada 11 tim yang bertanding di masing-masing wilayah.

Indonesia dan Amerika Serikat sendiri memiliki kesamaan dalam faktor luasnya wilayah. Boleh jadi, kita memang perlu mengacu pada wilayah lain soal perkembangan kompetisi sepak bola.

Memang ada kesan hebat dalam sistem kompetisi penuh, karena serupa dengan yang terjadi di kompetisi sepak bola Eropa yang selalu menjadi “kiblat” sepak bola negeri ini. Tetapi justru jangan sampai hal tersebut menjadi sesuatu yang menyilaukan. Karena tentunya, ada banyak perbedaan situasi dan kondisi yang terjadi di Eropa dengan kenyataan yang terjadi di negeri ini.

Jarak antara Manchester ke Liverpool, tidak sejauh dari Padang ke Serui, bosskuh!

Author: Aun Rahman (@aunrrahman)
Penikmat sepak bola dalam negeri yang (masih) percaya Indonesia mampu tampil di Piala Dunia