Nasional Bola

Liga Indonesia 2007/2008, Momentum “Kemunculan” Sriwijaya FC

Apa yang terbayang di benak Anda ketika mendengar nama Sriwijaya FC? Mayoritas tentu akan menjawab bahwa Sriwijaya FC (SFC) adalah tim bergelimang prestasi asal pulau Sumatera. Berkostum kebesaran dengan warna kuning. SFC memang menjadi salah satu poros kekuatan sepak bola Indonesia dalam kurun waktu satu dekade terakhir.

Juara Copa Indonesia tiga edisi beruntun (2008, 2009, 2010) ditambah dua gelar juara nasional baik ketika kompetisi masih bernama Liga Super maupun Divisi utama. Catatan itu menjadi catatan emas bagi tim yang lahir pada tahun 2004 ini. SFC juga beberapa kali tampil di kompetisi Asia mewakili Indonesia. Dan salah satu yang terbaik adalah ketika mereka menang 4-2 atas tim asal Tiongkok, Shandong Luneng di stadion kebanggaan mereka, Gelora Jakabaring Sriwijaya.

Sejarah memang mencatat bahwa SFC lahir pada tahun 2004. Namun kemunculan mereka sebagai kekuatan baru di sepak bola Indonesia mengalahkan kekuatan-kekuatan lama sebenarnya justru terjadi empat tahun kemudian. Tepatnya yaitu pada Liga Indonesia edisi 2007/2008. Sebelum kompetisi nasional level tertinggi terakhir yang kemudian beralih ke Liga Super Indonesia.

Pergantian Logo dan Perombakan Komposisi Tim.

Keadaan nyatanya tidak berangsur baik bahkan ketika pemerintah daerah provinsi Sumatera Selatan mengakuisi Persijatim Solo FC, dan memindahkannya ke Palembang pada tahun 2004. Sriwijaya FC kemudian menjadi nama yang dipilih karena dianggap merepresentasikan seluruh nilai dan tradisi dari daerah paling selatan pulau Sumatera tersebut.

Sejak pertama kali berlaga dengan nama baru, SFC tetap saja kepayahan. Mereka lebih banyak bertengger di papan tengah. Bahkan dalam beberapa kesempatan mereka mesti berjuang habis-habisan untuk lepas dari jeratan degradasi. Hingga akhirnya pada akhir tahun 2005, manajemen melakukan banyak perubahan. Salah satu yang paling fundamental adalah perubahan logo. Logo baru yang bergambar Garuda dan jembatan Ampera ini diharapkan akan menjadi perlambang momentum kebangkitan dari kesebelasan kebanggan masyarakat Palembang ini.

Pergantian logo ini merupakan awal dari sebuah proyek ambisius untuk membuat SFC menjadi kekuatan baru di sepakbola Indonesia. Manajemen kemudian menunjuk Rahmad Darmawan sebagai pelatih baru mereka menggantikan Suimin Diharja. Target yang dibebankan kepada pelatih pun sangat jelas dan ambisius. Yaitu mengantarkan tim yang berjuluk Laskar Wong Kito tersebut ke posisi empat besar klasemen akhir wilayah barat Liga Indonesia musim tersebut. Atau dengan kata lain meloloskan SFC ke babak delapan besar.

Target yang diusung pun berimbas kepada komposisi tim. Tercatat hanya Ferry Rotinsulu. Wijay Singh dan Tony Sucipto saja yang dipertahankan oleh manajemen dari kerangka tim musim sebelumnya. Selebihnya SFC kemudian mendatangkan banyak pemain berlabel bintang dan juga beberapa pemain yang dipromosikan dari tim muda mereka.

SFC mendaratkan para pemain dengan pengalaman tim nasional seperti Charis Yulianto, Firmansyah dan Isnan Ali. Juga para pemain berpengalaman seperti Ambrizal, Eki Nurhakim, dan Slamet Riyadi. Duo Papua yaitu Christian Warobay dan Korinus Fingkrew pun masuk kedalam proyek ambisius ini.

Untuk legiun asing, SFC kembali mengontrak Carlos Renato Elias. Zah Rahan Krangar yang tampil luar biasa bersama Persekabpas Pasuran kemudian didaratkan ke bumi Sriwijaya. Tentu yang paling mengerikan adalah trio lini serang mereka yang bermaterikan Christian Lenglolo, Anoure Obiorah, serta Keith Kayamba yang kala itu baru pertama kali bermain di kancah sepakbola Indonesia.

Malam Luar Biasa Di Jalak Harupat.

Ambisi dan ekspektasi besar diusung oleh manajemen ketika menyongsong liga edisi 2007/2008. Dengan komposisi skuat yang bertabur bintang serta nahkoda tim berada di tangan Rahmad Darmawan yang berpengalaman, tentu yang diharapkan adalah tim bisa melenggang mulus mencapai target yang sebelumnya sudah ditetapkan.

Namun realita memang pada akhirnya yang akan menyadarkan bahwa untuk mencapai keberhasilan tidak semudah yang dibayangkan. SFC menelan kekalahan pada partai perdana mereka di liga edisi tersebut. Charis dan kawan-kawan dikalahkan sang juara bertahan Persik Kediri dengan skor 1-0 di stadio Brawijaya, Kediri.

Sempat melesat jauh terutama karena dua kemenangan besar 5-0 atas Persiraja Banda Aceh dan 4-1 ketika berhadapan dengan PSDS Deli Serdang. SFC kemudian kembali tersungkur setelah menelan tiga kekalahan beruntun dari Persikota, Persikabo, dan Pelita Jaya.

Kemenangan tipis 1-0 di kandang Persib Bandung pada 27 Juni 2007 menjadi momentum Sriwijaya untuk terbang tinggi ke puncak klasemen Wilayah Barat Liga Indonesia musim tersebut. SFC kemudian lolos ke babak delapan besar bersama Persija Jakarta, PSMS Medan, dan Persik Kediri. Dengan hasil tersebut juga SFC bersama delapan tim peringkat teratas berhak untuk berlaga di kompetisi baru Liga Super di musim selanjutnya.

Di babak delapan besar SFC semakin sulit dihentikan. Kemenangan 2-0 atas Arema di pertandingan kedua sudah cukup memastikan satu tiket ke babak semifinal. Gol tunggal Keith Kayamba ke gawang Persija yang dikawal Hendro Kartiko membuat SFC terus melaju ke partai puncak. Di partai final yang digelar di Stadion Jalak Harupat, Kabupaten Bandung tersebut, SFC berhadapan dengan salah satu kekuatan klasik sepakbola Indonesia, PSMS Medan.

PSMS berada dalam sisi yang diunggulkan karena mereka berhasil mengalahkan favorit juara, Persipura Jayapura, di babak semifinal. Terlebih lagi, baik di fase dua wilayah dan babak delapan besar, PSMS yang kala itu diperkuat oleh Mahyadi Panggabean, Supardi, dan Saktiawan Sinaga selalu menyulitkan SFC. Maka sebelum pertandingan dimulai PSMS lebih menjadi favorit untuk membawa pulang gelar juara.

Dan laga berjalan memang sesuai prediksi. PSMS mengendalikan permainan dan membuat SFC kesulitan. Kiper botak yang sempat menjadi cult hero masyarakat Indonesia, Markus Horison, tampil luar biasa di bawah mistar tim berjuluk Ayam Kinantan tersebut. Sempat keluar dari tekanan dan bahkan menyarangkan gol terlebih dahulu melalui Obiorah, PSMS kemudian menyamakan kedudukan melalui James Koko Lomell. Partai berlangsung sengit hingga berlanjut ke babak tambahan waktu.

Dan pada babak inilah momentum yang menentukan SFC meraih gelar juara terjadi. Di pertengahan babak kedua perpanjangan waktu, sebuah serangan balik berhasil dimentahkan oleh lini pertahanan PSMS sehingga menghasilkan sepak pojok untk SFC. Eksekusi tendangan pojok kemudian diambil oleh Ambrizal. Seluruh pemain PSMS berkonsentrasi mengawal bek Renato Elias yang memang terkenal handal menanduk bola, dan tentu sang pencetak gol pembuka laga, Obiorah. Di luar dugaan, Keith Kayamba yang tidak terkawal kemudian menyambar bola hasil tendangan pojok tersebut. Tandukannya berhasil menaklukkan Markus Horison.

Zah Rahan kemudian menambah selisih gol kemenangan menjelang detik-detik terakhir pertandingan. Lesakan tersebut menjadi penutup laga sekaligus membuat SFC memastikan diri sebagai juara nasional pada musim 2007/2008. Kembang api dan sorak sorai mengiringi keberhasilan SFC kala itu di Jalak Harupat. Sebuah pesta kemenangan di Liga Indonesia edisi terakhir yang bertempat di markas tim yang memenangkan Liga Indonesia edisi perdana.

Memori indah

Gelar juara Liga Indonesia 2007/2008 akan terus menjadi memori indah bagi SFC dan tercatat dalam sejarah klub. Bukan saja soal menjadi gelar perdana yang diraih SFC setelah perjalanan panjang terutama setelah proses akuisisi dan pergantian logo. Tetapi ini juga menjadi momentum keberhasilan dan pertanda bahwa sebuah kekuatan baru sepakbola Indonesia telah lahir. Karena setelahnya SFC kemudian meraih banyak gelar lain dan selalu masuk bursa kandidat juara.

Cerita keberhasilan SFC bukan hanya milik klub dan para penggemar mereka saja. Kesuksesan SFC menjadi patokan bagi klub-klub yang masih berusia muda lain untuk bisa berprestasi dan mendobrak dominasi kekuatan-kekuatan lama. Karena setelah keberhasilan SFC pada musim tersebut. Mulai bermunculan kekuatan-kekuatan baru di sepakbola Indonesia yang bahkan saat ini sudah bisa menggeser kekuatan-kekuatan lain yang lebih klasik.

Author: Aun Rahman – @aunrrahman