Nasional Bola

Ketika Krisis Moneter Menghentikan Kompetisi Sepak Bola Indonesia

Tidak ada satupun pihak yang menyangka bahwa Indonesia akan terjerumus krisis moneter yang melanda Asia pada tahun 1997. Karena pada pertengahan tahun saja kondisi keuangan negara terlihat baik-baik saja. Inflasi rendah, ekspor mengalami surplus, dan cadangan mata uang yang berlimpah.

Kemudian segalanya tiba-tiba berubah. Di mana inflasi dan peningkatan harga yang ekstrem hingga menimbulkan kekacauaan di antara masyarakat. Dan masalah keuangan negara tersebut juga berimbas kepada dunia sepak bola.

Akibat krisis yang terjadi pada periode akhir tahun 1997 tersebut, negara ini benar-benar berada di masa yang sulit. Kompetisi sepak bola kemudian dihentikan. Mulai dari level tertinggi sampai terendah. Yang ada di benak kala itu tentunya adalah bagaimana bisa bertahan hidup melewati tahun 1997 yang kelam. Padahal kompetisi waktu itu baru berjalan separuh saja.

Liga Indonesia 1997/1998 diikuti oleh 31 tim peserta yang kemudian dibagi dalam tiga wilayah, yaitu Wilayah Barat, Wilayah Tengah, dan Wilayah Timur. Pada musim tersebut, kota Jakarta menjadi kekuatan yang menakutkan melalui dua tim perwakilan mereka yaitu Persija Jakarta dan Pelita yang kala itu masih bermarkas di ibu kota. Persija menjadi pesaing kuat untuk Persebaya Surabaya di Wilayah Barat. Sementara Pelita Jakarta berduel dengan PSMS Medan di Wilayah Tengah.

Selepas tampil apik di Piala Asia 1997, bahkan mencetak gol sensasional, Widodo C. Putro menjadi kekuatan Persija kala itu. Hingga kompetisi kemudian dihentikan, Widodo berhasil menyarangkan 10 gol ke gawang lawan.  Sebanyak 38 persen dari total jumlah gol yang dicetak tim pada musim tersebut. Liga Indonesia edisi tersebut juga menjadi pertanda berubahnya warna jersey Persija dari merah menjadi oranye.

Pelita Jakarta sedang berada dalam tahapan membangun tim super impian mereka. Kurniawan Dwi Yulianto adalah bintang yang paling bersinar kala itu. Ia berhasil menyarangkan 20 gol, sekaligus tercatat sebagai pencetak gol terbanyak kompetisi ketika kemudian dihentikan. Sementara itu di Wilayah Timur, Persipura Jayapura waktu itu belum menjadi kekuatan superior. PSM Makassar berjaya diikuti oleh tim legendaris asal Bali, Gelora Dewata.

Pada 25 Mei 1998, terutama karena kerusuhan yang terjadi imbas dari krisis negara yang berkepanjangan. Panglima ABRI (kini disebut Panglima TNI), Jenderal Wiranto kemudian memberikan keputusan untuk menghentikan kompetisi terutama karena alasan keamanan. Kompetisi sepak bola terhenti tanpa ada satupun tim yang dimahkotai gelar juara.

Penghentian kompetisi pada musim ini kemudian mengakibatkan banyak hal. Bahkan bisa dibilang terus berlanjut hingga saat ini. Terhentinya kompetisi pada musim tersebut menjadi penanda “hilangnya” beberapa tim eks-Galatama dari peredaran level tertinggi sepak bola Indonesia.

Satu musim setelah penghentian kompetisi, Arseto Solo, Niac Mitra, dan Mastrans Bandung Raya tidak mengikuti kompetisi selanjutnya karena permasalahan internal yang rata-rata adalah persoalan finansial.

Niac Mitra dan Bandung Raya kini sudah berganti menjadi kesebelasan lain. Sementara itu Arseto benar-benar punah. Padahal pada masa jayanya, klub yang bermarkas di Stadion Sriwedari ini sempat menjadi kampiun Galatama, dan kejuaraan antarklub ASEAN pada tahun 1993.

Penghentian kompetisi ini adalah yang pertama di era modern sepak bola Indonesia. Maka ketika terjadi hal yang serupa pada tahun 2015 lalu, banyak pihak yang bersuara keras. Lantara mereka enggan apa yang terjadi pada tahun 1997, di mana banyak pesepak bola terpaksa berganti karier untuk bertahan hidup, kembali terjadi pada masa kedua terhentinya kompetisi.

Banyak yang terjadi pada medio 1997 dan 1998. Soal krisis moneter, soal bantuan dari badan moneter dunia IMF, soal Presiden Soeharto, soal kerusuhan dan masih banyak hal kelam lainnya. Permasalahan-permasalahan tersebut tidak hanya berimbas kepada kehidupan secara umum saja, tetapi juga kepada dunia sepak bola yang seharusnya bisa tetap jauh dari hal-hal yang bersifat politis.

Semoga era-era kelam tersebut tak terulang lagi karena kini kita tengah mengejar ketertinggalan sepak bola kita di level Asia Tenggara.

Author: Aun Rahman (@aunrrahman)
Penikmat sepak bola dalam negeri yang (masih) percaya Indonesia mampu tampil di Piala Dunia