Analisis

Siapa yang Bekerja di Bursa Transfer Awal Musim Indonesia?

Bursa transfer adalah masa ketika para pelatih berpikir keras menyiapkan rancangan tim pada jeda kompetisi atau di musim selanjutnya. Namun jika pelatih yang dikontrak dengan durasi pendek seperti di Indonesia, lantas siapa yang bekerja saat bursa transfer awal musim?

Memang bukan menjadi rahasia lagi kalau kontrak pemain dan pelatih di Indonesia rata-rata adalah kontrak jangka pendek, paling jamak hanya berdurasi satu tahun. Itu pun bisa kurang manakala sang pelatih atau pemain mendapat nilai jelek saat evaluasi jeda kompetisi.

Beberapa klub sudah berani mengontrak pemain dengan durasi yang lebih lama, misalnya Ibrahim Conteh yang baru-baru ini diikat hingga 2021 di PSIS Semarang menurut @indostransfer di Twitter. Namun rata-rata kontrak pemain dan pelatih Liga 1 musim 2018 sendiri sudah habis di akhir bulan Desember 2018.

Kembali ke pertanyaan awal, ketika para pelatih yang dikontrak oleh klub-klub di Indonesia, baik lokal maupun asing, lantas siapa yang bekerja saat bursa transfer awal musim? Karena sesungguhnya kita tahu bahwa para pemain yang datang dan pergi disesuaikan dengan kebutuhan dan skema permainan musim depan.

Tapi nampaknya hal itu sedikit berbeda di Indonesia karena nyatanya manajemen yang bekerja di bursa transfer awal musim. Bahkan hingga kini masih ada beberapa tim yang aktif berburu pemain jelang Liga 1 2019, tapi belum memiliki pelatih kepala seperti Madura United yang sedang berapi-api membentuk ‘mini timnas’ di Pulau Garam.

Baca juga: Sibuknya Madura United Di Bursa Transfer 2019

Ada banyak konsekuensi yang terjadi jika manajemen yang turun tangan mengurus transfer pemain di awal musim, apalagi saat sebuah klub sedang dalam masa reses dan tak memiliki pelatih kepala sebagai nakhoda utama.

Pertama tentu ‘orang-orang di dalam kantor’ inilah yang terlihat menguasai dan merasa memiliki andil untuk mengontrak para pemain, bukan pelatih yang sejatinya memegang kendali. Akibatnya pemain yang dikontrak bisa saja bukan sesuai keinginan pelatih melainkan berdasarkan keinginan manajemen, bisa saja bukan karena talenta melainkan sebatas budget yang dimiliki.

Kedua saya teringat akan pesan senior saya ketika berdiskusi tentang kebiasaan klub-klub Indonesia di bursa transfer; “Pada akhirnya bukan pemain yang beradaptasi dengan pelatih, melainkan pelatih yang beradaptasi dengan pemain (yang dia miliki).”

Hal ini terjadi karena pelatih yang harusnya menyodorkan nama-nama kepada manajemen untuk memperoleh pemain incarannya sudah didahului oleh manajemen yang telah mengontrak pemain.

Bahkan eks pelatih Persib Bandung, Mario Gomez, di awal tahun 2018 sempat curhat di media sosial karena manajemen lebih memilih mendatangkan gelandang bukan penyerang seperti keinginannya.

Ketika pemain yang dikontrak tidak sesuai dengan kerangka berpikir para pelatih, maka mau tak mau imbasnya adalah performa tim di atas lapangan. Sebab tidak semua pelatih bisa mengakali skuat yang sudah diberikan manajemen.

Lucunya ketika performa tim anjlok, kadang mereka dipecat lebih cepat sebelum mendapat pemain idamannya. Kadang mereka dipecat dengan dalih mendapatkan nilai buruk ketika dievaluasi di jeda kompetisi, atau bahkan tak diperpanjang kontraknya meski menghadirkan gelar seperti yang dialami Stefano ‘Teco’ Cugurra baru-baru ini.

Baca juga: Ular Tangga Persija Menuju Gelar Juara

Maka tak heran jika ramai-ramai pembahasan tentang mafia sepak bola ada fakta bahwa oknum mantan manajer tim mampu mengantongi beberapa pesepak bola untuk ‘bermain’ di klub-klub yang masuk di dalam lingkarannya.

Rasanya jika sepak bola Indonesia harus maju setidaknya salah satu yang harus diubah adalah tabiat manajemen di bursa transfer. Memang pemain adalah aktor utama di sepak bola, tapi apalah arti sekumpulan pemain hebat jika tak ada pelatih hebat yang mampu membangun tim tersebut?

Mereka adalah para pemikir yang patut diapresiasi dan tak hanya sekadar dievaluasi. Membangun sebuah tim bukan hal yang mudah, tak bisa semalam. Mereka seperti seorang bocah yang dihadapkan pada setumpuk balok-balok kayu untuk dibangun.

Para pemain adalah balok-balok kayu tersebut, dan jadi apa nantinya tim itu sesuai imajinasi mereka. Sayang jika balok-balok yang sudah disusun harus dibongkar oleh manajemen ketika tahun berganti.

‘Orang-orang di dalam kantor’ itu harusnya tahu porsi mereka di dalam tim. Bukan ikut menyodorkan nama atau bahkan berpose dengan para pemain baru saat menandatangani kontrak, melainkan sekadar jadi sosok orang tua yang mengabulkan permintaan si bocah yang ingin beraneka jenis balok kayu sesuai keinginannya.