Suara Pembaca

Victor Moses, dari Sisi Kanan ke Pinggir Lapangan

Roemah Kopi tampak biru dini hari itu, kecuali saya yang hanya mengenakan jaket dan celana training hitam. Seperti biasa, basecamp Chelsea Indonesia Supporter Club (CISC) Regional Sulawesi Selatan ini selalu ramai jika nonton bareng Chelsea FC sedang berlangsung.

Saya numpang ikut, meski bukan member kumpulan suporter resmi The Blues di Indonesia ini. Jika pertandingan Chelsea tak ditayangkan oleh TV lokal, adanya nonton bareng cukup membantu. Meski harus menembus dinginnya malam kota Makassar.

Chelsea tengah berjuang di Liga Champions musim 2012/2013. Berstatus juara bertahan, penampilan mereka sedang tidak stabil, bahkan di Liga Primer Inggris sekalipun. Dini hari 7 November 2012, Chelsea menjamu Shakhtar Donetsk. Menang adalah kewajiban, terlebih mereka adalah unggulan. Roberto Di Matteo paham, kekalahan akan bikin malu sang penguasa kompetisi.

Teriakan kegirangan di seisi warung kopi, kerap berganti dengan lenguhan panjang. Lima gol tercipta malam itu. Pertandingan malam itu begitu seru, mengaduk perasaan dan terasa sangat lama. Fernando Torres mencetak gol aneh, Oscar membobol lawan dari jarak jauh, Willian dari Shakhtar Donetsk membalas dua kali dengan permainan ajaib, dan terakhir adalah Victor Moses, yang memperkenalkan diri lewat gol penentunya di masa injury time.

Baca juga: Victor Moses dan Antonio Conte: Sebuah Representasi Perubahan

Pertandingan itu cukup memorial bagi saya. Terlebih nama si pencetak gol terakhir, Victor Moses, melekat kuat di ingatan. Bisa jadi bukan hanya saya, orang-orang yang ikut menyaksikan Moses malam itu, pun masih menyimpan memori tentang sundulan si pria Nigeria. Sundulan yang membuka karier Victor Moses di Chelsea, sekaligus menandai perjalanan naik turun nan sulit karier sepak bolanya.

Memang sulit menjadi Victor Moses di musim itu. Winger yang pernah membela timnas Inggris di usia muda ini tak mendapat banyak menit bermain. Ia hanya jadi cadangan duo Oscar dan Eden Hazard, yang juga sama-sama pendatang baru.

Padahal, jika menilik pengalaman, Moses lebih senior dalam mengarungi rimba Liga Primer Inggris. Sebelumnya, Moses adalah andalan sisi kanan Wigan Athletic selama dua tahun, dengan jumlah 73 penampilan. Cukup mencengangkan untuk seorang pemain muda.

Bila ada pemain muda yang belum bisa menembus starting eleven di Chelsea, dan ngebet mendapatkan banyak menit bermain, pilihan bijak adalah dipinjamkan. Moses mulai menjajaki program peminjaman pemain muda Chelsea. Apalagi Jose Mourinho yang kembali ke Chelsea pada musim 2013/2014, membeli winger baru. Semakin tak ada tempat buat Moses.

Baca juga: Langit dan Bumi Maurizio Sarri di Chelsea

Ia terlebih dahulu mencoba peruntungan di klub besar lainnya, Liverpool. Sepertinya, Moses terlalu muda untuk Liverpool yang melegenda. Di akhir musim saat Liverpool gagal juara, Moses memilih kembali pulang. Kedatangannya masih tak digubris Mou. Di musim Chelsea yang menjadi kampiun, Moses jadi andalan Stoke City.

Berikutnya, alih-alih dilirik oleh Mourinho, Moses kembali terpaksa menjalani musim dengan berbaju West Ham United. Mourinho dipecat pada pertengahan musim, sementara Moses semakin tak diingat. Sama seperti kebanyakan pemain pinjaman lainnya, kans Moses semakin menipis. Pelatih baru yang akan datang di awal musim 2016/2017,  belum tentu akan memakai jasanya.

Datangnya musim panas, tanda memulai perjalanan karier yang baru. Masa peminjaman berakhir, berarti harapan membela Chelsea kembali ada di bilik angan para pemain muda. Antonio Conte menduduki kursi panas setelah ditunjuk sang taipan Roman Abramovich. Mantan pelatih timnas Italia menyeleksi pemain di masa pramusim. Tentu, bukan nama Eden Hazard atau Cesc Fabregas yang diseleksi, tapi mereka yang balik dari petualangan peminjaman.

Bermain baik di masa pramusim, Victor Moses berhasil menggoda Conte. Ia tercatat dalam skuat utama, persis saat pertama kali berseragam biru-biru. Bayangan kegagalan menghantui Moses, apakah sundulan itu hanya jadi satu-satunya cerita, atau ia akan mulai membuat rentetan cerita menyenangkan di Chelsea.

Baca juga: Frank Lampard: Chelsea Merindukan Sosok Victor Moses

Ketakutan itu semakin mengemuka di awal musim. Moses jadi penghangat bangku cadangan di lima pertandingan awal. Chelsea memiliki banyak winger jempolan, yang tak mungkin Moses saingi. Namun, dua dari lima pertandingan itu, adalah kekalahan. Antonio Conte mulai mengubah formasi, ke konsep yang biasa ia usung di Juventus, 3-4-3.

Komposisi pemain tak mendukung. Tapi, di situasi sulit, Victor Moses malah jadi kepingan puzzle terakhir. Conte butuh bek sayap kanan. Cesar Azpilicueta yang diprediksi mengisi pos itu, malah dialihkan sebagai bek tengah kanan, mengingat versatility yang ia punya. Victor Moses pun diberi tugas sebagai bek sayap. Dan kita tahu semua, sisanya adalah sejarah.

Kecepatan dan kekuatan adalah kemampuan natural pemain berdarah Afrika. Moses memiliki itu dan bek sayap jadi posisi ketiga yang ia jalani selama berkarier sebagai pesepak bola. Di Chelsea ia tak pernah hebat sebagai winger, sebagaimana di tim-tim lain yang pernah dijajakinya.

Moses malah menjelma sebagai pemain tangguh jika ditempatkan bukan pada posisi aslinya. Sundulan memorial ke gawang Shakhtar Donetsk dihasilkan ketika Di Matteo menginstruksikan Moses mengisi pos striker.

Baca juga: Hikayat Chelsea dengan Pelatih dari Italia

Sejarah tak selamanya tentang kemenangan, kadang ada cerita perihal kekalahan. Dua musim Moses mendominasi pos bek sayap kanan, dengan hasil gelar Liga Primer Inggris dan Piala FA, berakhir sudah. Kini, Chelsea tak lagi bermain dengan dua bek sayap seiring kepergian paksa Antonio Conte.

Moses kembali kalah. Ia tak lagi punya kuasa untuk menyisir naik turun sisi kanan lapangan. Strategi baru memaksanya kembali jadi winger, yang ia mungkin lupa bagaimana cara bekerjanya.

Maurizio Sarri melupakan Moses. Menyeretnya langsung dari sisi kanan ke pinggir lapangan, ke bangku cadangan, bahkan lebih banyak ditinggal di tempat latihan begitu saja. Hampir setengah musim ia menunggu, kapan dan kapan. Kesempatan itu jarang muncul, dan ketika datang, Moses tidak seperti biasanya.

Enam bulan bak pengangguran, Moses memutuskan kembali menjalani periode peminjaman. Tanah Turki jadi pelabuhan berikutnya selama 18 bulan ke depan. Menjauh dari Inggris, yang merenggut segalanya. Fenerbahce kini menjadi klub di mana ia mengabdi dengan bayaran segepok Lira.

Di tempat baru, Moses berharap, masih ada sisi kanan lapangan yang tiap waktu bisa ia sisir. Masih ada kesempatan untuk berselebrasi salto di hadapan kerumunan suporter.

Baca juga: Istanbul, Kota Seratus Klub di Timur Eropa