Uncategorized

Belajar Ketangguhan dari Fran Kirby, Jagoan Perempuan dari Chelsea Ladies

Kehilangan adalah niscaya. Dan dengan begitu, tak ada manusia yang terbebas dari situasi kehilangan.

Chuck Noland (yang diperankan Tom Hanks), dalam film Cast Away sedikit banyak merepresentasikan ihwal kehilangan. Berawal dari kecelakaan pesawat yang membawanya terdampar di sebuah pulau terpencil, seorang diri, Chuck mesti menghadapi kenyataan bahwa segala yang ia miliki; mobil, rumah, pekerjaan, bahkan relasi sosial, hilang dalam sekejap.

Keterasingan membuatnya mesti memilih antara berupaya tetap hidup atau berhenti dan mengakhiri hidupnya. Akan tetapi, kehilangan nampaknya terasa kian perih justru ketika ia dengan ajaibnya berhasil keluar dari pulau tersebut. Bagaimana tidak, sosok yang saban hari, selama empat tahun di pulau, dipandang olehnya, wajah yang kerapkali ia lukis di dinding gua, dan ya, perempuan yang menjadi alasan kenapa ia mesti tetap hidup dan kembali itu nyatanya tak bisa ia miliki. Chuck kembali dan mendapati Kelly telah memiliki keluarga sendiri.

Alasan yang menabahkan hatinya untuk tetap hidup itu malah ‘pergi’. Oleh karena itu, ungkapan Chuck di akhir film bisa dinilai dalam dua makna. Ucapan itu berbunyi, “I got to keep breathing, because tomorrow the sun will rise. Who knows what the tide could bring?”

Ya, kita bisa memaknai ucapan tersebut dengan latar belakang keterasingan serta depresi yang ia rasakan selama di pulau, namun tak keliru juga rasanya jika kita memaknainya dengan latar bahwa Chuck kehilangan kekasihnya. Makna yang terakhir inilah yang terlintas di kepala saya ketika membaca kisah dari pesepakbola perempuan yang saat ini tengah membela Chelsea.

Adalah Francesca Kirby, atau biasa dikenal dengan Fran Kirby. Bagi mereka yang memandang sepak bola sebagai olahraga universal, termasuk lintas gender, tentu akan akrab dengan pemain yang disebut “Messi Mini” ini.

Perempuan berambut bondol ini adalah satu dari sekian banya bukti nyata ucapan Abraham Lincoln, bahwa tak peduli berapa kali kita terjatuh, yang penting adalah berapa kali kita bangkit setelah terjatuh.

Bagaimana tidak, Fran yang lahir tahun 1993 ini harus dihadapkan dengan kenyataan pahit pada usia yang terbilang muda. Saat itu usianya 14, dan sedang membela klub asal kotanya, Reading junior. Ia yang kala itu tengah asyik latihan tak tahu bahwa ibunya, yang saat itu menemaninya berlatih, sedang dilarikan ke rumah sakit terdekat.

Sebabnya sang ibu tiba-tiba jatuh saat menunggu Fran latihan. Sang ibu kemudian didiagnosa mengalami pendarahan otak, dan berselang berapa lama, Fran Kirby ditelpon ayahnya yang mengabari bahwa sang ibu telah mangkat.

Bagai petir, kenyataan itu menghantam Fran. Kehilangan datang semau-maunya. Kehilangan itu kemudian merampas segala hal dalam diri Fran, termasuk yang paling krusial: mental. Fran Kirby mengalami depresi berkepanjangan–lima tahun lamanya. Wajar sebenarnya, betapa sang ibu merupakan sosok yang paling mendukungnya dalam menjalani karir sebagai pesepak bola.

Depresi membuat mentalnya runtuh, karier sebagai pesepakbola pun redam. Ia hanya mengurung diri di kamar, menangis mengenang sang ibu. Berpulangnya sang ibu justru ketika ia tengah berusaha menggapai cita-citanya dalam sepak bola menjadikan trauma mendalam, sepakbola menjadi hal kelam dalam diri Fran Kirby kala itu.

Sebagai informasi, depresi bukanlah hal langka dalam sepakbola. Ya, Walau tidak persis seperti yang dialami Fran Kirby, akan tetapi pesepak bola yang menderita gangguan mental cukup signifikan. 2013 silam, asosiasi pesepak bola profesional, FIFPro, melansir data terkait gejala depresi yang dialami para pemain sepak bola.

Dari 6 negara yang menjadi sampel, FIFPro mendapati hasil bahwa ada 38% dari 607 pemain sepak bola yang mengalami gangguan mental. Tim medis FIFPro, dr. Vincent Gouttebarge, menyatakan hal tersebut. “Bertentangan dengan kepercayaan umum, kehidupan pesepak bola profesional memiliki beberapa sisi gelap.”

Kebiasaan berada dalam tekanan untuk terus menampilkan performa maksimal menjadi alasan kenapa banyak pemain sepak bola mengalami depresi. Terlebih bagi mereka yang harus menghadapi para pendukung ketika timnya terus kalah.

“Saya memiliki banyak kecemasan mengenai performa. Tekanan datang selama bertahun-tahun, terutama ketika menjadi kapten tim, dan harus menjadi paling depan ketika masa sulit,” ujar Chris Jackson, mantan kapten timnas Selandia Baru yang menderita depresi.

Kembali ke Fran Kirby. Lantas pertanyaan yang muncul kemudian adalah: hal apa yang membuat Fran bisa bangkit dari depresi, dari keterpurukan yang mengancam cita-citanya sebagai pesepak bola?

Kehadiran keluarga menjadi hal penting dalam penanganan gangguan mental, kedekatan, support, juga bersedia meluangkan waktu demi mereka yang mengalami depresi adalah jalan keluar. Dan itu terjadi pada Fran Kirby.

Ayahnya, Steve Kirby, adalah sosok yang punya andil besar dalam penyembuhan Fran dari depresi. Steve, yang mantan pemain junior Sunderland ini bahkan mengubah jam kerjanya ke malam hari demi menemani Fran lebih lama. “Pengkritik sekaligus penyemangat terbesar bagiku”, tulis Fran Kirby tentang ayahnya beberapa waktu lalu di akun Instagram-nya.

Upaya Steve membangun kepercayaan diri Fran menemui hasil pada tahun 2012, ketika Fran kembali menjadi bagian dari Reading. Trauma yang sebelumnya begitu lekat pelan-pelan memudar, berubah menjadi faktor penyemangat bagi Fran.

Dan siapa yang bisa menebak arah hidup seseorang, semenjak kembali ke lapangan hijau pasca-depresi itu, Fran Kirby justru memperlihatkan performa yang meningkat. Pada musim itu juga, ia menjadi top skor dengan 32 gol dalam 21 penampilan.

Di musim berikutnya, ia mengantar Reading yang kala itu berlaga di FA Women’s Premier League wilayah selatan, kasta ketiga dalam liga sepakbola wanita Inggris, promosi ke divisi dua. Pada tahun ini, Fran menampilkan performa yang brilian, ia tiga kali membikin hat-trick dan sekali quattrick yang membantu Reading dalam upaya promosi.

Kegemilangannya setelah terbebas dari gangguan mental tak berhenti sampai di situ, masih terus berlanjut ketika ia sudah berseragam Chelsea. Pada Oktober 2015, Fran Kirby menjadi aktor penting dalam kemenangan atas Sunderland, saat itu ia mencetak dua gol. Kemenangan itu penting sebab mengamankan title juara FA WSL bagi Chelsea untuk pertama kalinya.

Fran juga tercatat sebagai pencetak gol pertama bagi Chelsea dalam ajang UEFA Women’s Champions League. Terakhir, beberapa waktu lalu, ia membawa Chelsea dalam menyabet gelar kedua Piala FA setelah mengalahkan Arsenal di partai final dengan skor 3-1. Fran menyumbang satu gol dalam laga itu.

Berkat performa yang brilian di musim ini, tak heran ia lantas diganjar penghargaan PFA Women’s Player of Year, bersama dengan Mohamed Salah. Dari terkurung dalam jurang depresi selama lima tahun kemudian menjadi pemain perempuan terbaik Liga Inggris, tentu prestasi itu tak akan tercapai jika tak ada dukungan dari sang ayah, serta keyakinan pada apa yang diimpikan sang ibunda.

“Setiap hal yang aku lakukan adalah untuk membuat ibuku bangga. Dan aku yakin telah melakukannya,” ucap Fran dalam sebuah wawancara. Seperti ucapan Chuck Noland di awal, Fran Kirby tak menyerah dalam keterasingannya, matahari tetap bersinar untuk masa depannya, dan ‘ombak’ telah membawa cahaya pada hidupnya.