Cerita

Transformasi 113 Tahun Chelsea, dari Miliarder Bersaudara ke Taipan Minyak Rusia

Bertempat di sebuah pub bernama The Rising Sun (kini The Butcher’s Hook), jagad sepak bola Inggris diramaikan oleh berdirinya sebuah klub sepak bola anyar di kota London pada 10 Maret 1905. Diinisiasi oleh miliarder Mears bersaudara (Augustus ‘Gus’ dan Joseph), klub itulah yang sekarang kita kenal dengan nama Chelsea Football Club.

Pendirian Chelsea sebagai entitas sepak bola profesional diiringi dengan ambisi besar dari Gus. Namun segala daya upayanya membuat Chelsea jadi kesebelasan hebat nan berprestasi, tak kunjung menemui hasil sampai ia mangkat di tahun 1912.

Selama empat dekade awal sejak berdiri, Chelsea memang identik dengan predikat klub yoyo lantaran sering naik turun divisi. Tak heran bila nama mereka saat itu tak seharum Arsenal atau Tottenham Hotspur kendati sama-sama bermukim di kota London. Pasalnya, dua kesebelasan yang disebut belakangan sudah pernah mencicipi manisnya gelar juara di sejumlah kompetisi.

The Blues memerlukan waktu setengah abad untuk beroleh prestasi. Di bawah kendali Ted Drake yang berstatus pelatih, Chelsea akhirnya mendapat dua silverware perdananya di tahun 1955, masing-masing berasal dari titel liga Divisi Satu (kasta tertinggi dalam sepak bola Inggris ketika itu) dan Charity Shield (sekarang Community Shield).

Sayangnya, seusai momen gemilang itu, Chelsea kembali butuh waktu yang cukup lama untuk mengisi lemari trofinya dengan gelar juara. Pada era 1960-an dan 1970-an, klub yang berkandang di Stadion Stamford Bridge ini hanya sanggup menggamit masing-masing satu Piala FA, Piala Liga dan Piala Winners. Meski cukup apik tapi situasi itu tidak memuaskan bagi manajemen klub dan juga suporter.

Segala pembenahan dikebut oleh manajemen klub guna mengubah peruntungan Chelsea. Akan tetapi, era 1980-an nyaris sama gelapnya untuk The Blues. Padahal, pebisnis tenar bernama Ken Bates, sudah memulai rezimnya sejak tahun 1982.

Mimpi Bates untuk menjadikan Chelsea sebagai klub terpandang baru kelihatan hasilnya di pengujung periode 1990-an dan awal 2000-an. Dua trofi Piala FA dan masing-masing satu Piala Liga, Piala Winners, serta Piala Super Eropa jadi silverwares yang sukses dibawa pulang ke London Barat, area di mana Chelsea bermukim.

Diperkuat nama-nama seperti Steve Clarke, Frank Leboeuf, Gianluca Vialli, Dennis Wise hingga Gianfranco Zola, Chelsea pun konsisten untuk finis di papan atas Liga Primer Inggris. Walau begitu, asa untuk menahbiskan diri sebagai kampiun di kasta tertinggi sepak bola Negeri Ratu Elizabeth, tak kunjung mampu dilakukan.

Namun di tahun 2003, takdir Chelsea berubah drastis. Seperti yang dituliskan Syafawi Ahmad Qadzafi dalam esai berjudul “Malam Tak Terlupakan di Old Trafford” pada buku Sepak Bola 2.0, seorang miliarder keturunan Yahudi asal Rusia, Roman Abramovich, datang membawa segepok uang (jumlahnya mencapai 140 juta paun) guna mengakuisisi Chelsea dari tangan Bates. Patut diketahui bahwa saat itu Bates juga ‘mewariskan’ utang senilai 80 juta paun!

Di bawah rezim Abramovich, perubahan nyata berkelindan di tubuh klub. Selain rajin membeli pemain-pemain kelas atas berharga selangit, The Blues juga membangun sebuah kompleks latihan megah nan modern di daerah Cobham, meniru langkah klub papan atas lain yang sudah lebih dahulu melakukannya.

Hal itu pun dianggap sebagai modal awal yang cukup untuk Chelsea mengganggu laju tiga kekuatan utama di Liga Primer Inggris dalam wujud Arsenal, Liverpool, dan Manchester United.

Benar saja, perjalanan The Blues pada awal kepemimpinan Abramovich sangat mengundang perhatian. Mereka semakin konsisten finis di papan atas dan ikut dalam persaingan juara sampai akhirnya benar-benar mencaplok gelar liga keduanya di musim 2004/2005 di bawah arahan pelatih asal Portugal, Jose Mourinho.

Hadirnya momen itu juga mengantar Singa Biru dari London untuk terus menggondol gelar-gelar domestik lainnya. Mulai dari Piala FA, Piala Liga, dan Community Shield. Kendati sukses mengumpulkan sejumlah titel juara dari kompetisi lokal, ambisi Abramovich nyatanya lebih dari itu.

Lelaki yang sekarang berumur 51 tahun itu ingin klubnya jadi raksasa di Eropa serta dunia. Maka dari itu, menjuarai Liga Champions menjadi target utama yang selalu dicanangkan saban musim.

Akan tetapi, Chelsea yang belum memiliki tradisi kuat seperti yang dipunyai Barcelona, Bayern München, dan Real Madrid di pentas Eropa acapkali mental di fase-fase krusial. Kegagalan demi kegagalan itu juga yang membuat Abramovich tak ragu untuk memecat para pelatih The Blues.

Tercatat, nama-nama populer seperti Claudio Ranieri, Mourinho, Avram Grant, Carlo Ancelotti, dan Andre Villas-Boas pernah menjadi korban tangan besi Abramovich. Cita-cita besar sang pemilik tentang trofi Liga Champions sendiri baru terlaksana di masa kepelatihan eks gelandang Chelsea, Roberto Di Matteo. Meski begitu, karier Di Matteo di Stadion Stamford Bridge juga tidak berlangsung lama akibat performa buruk yang disuguhkan The Blues usai meraih gelar prestisius itu.

Secara keseluruhan, dalam 15 tahun periode kepemilikan Abramovich, Chelsea sukses memanen enam belas gelar juara yang jika dirincikan berupa lima titel Liga Primer Inggris, empat Piala FA, tiga Piala Liga, dua Community Shield, dan masing-masing satu trofi Liga Champions serta Liga Europa.

Berbekal pencapaian fantastis itu, pantas rasanya bila menyebut mereka sebagai klub asal London paling sukses untuk saat ini, mengungguli dua kesebelasan top lain, Arsenal dan Tottenham.

Selama 113 tahun muncul sebagai klub profesional di tanah Britania, ada begitu banyak cerita yang sudah diukir The Blues. Entah sampai kapan Abramovich akan bertakhta di London Barat, tapi satu hal yang pasti, transformasi Chelsea menjadi tim setangguh saat ini mungkin tak terwujud tanpa kehadirannya.

Author: Budi Windekind (@Windekind_Budi)
Interista gaek yang tak hanya menggemari sepak bola tapi juga american football, balap, basket hingga gulat profesional