Kolom

Turbulensi di Tubuh Chelsea dan Asa yang Tersisa bagi Antonio Conte

Musim 2016/2017 yang lalu, Chelsea berhasil mengejutkan jagad Liga Primer Inggris dengan keluar sebagai kampiun. Padahal, mereka bukanlah favorit utama karena keberadaan Pep Guardiola di Manchester City serta Jose Mourinho di Manchester United.

Pencapaian fantastis itu pun mengatrol nama Antonio Conte yang duduk sebagai pelatih baru The Blues. Ia sukses menduplikasi prestasi dari sejumlah pendahulunya macam Mourinho dan Carlo Ancelotti, yang mengantar Chelsea merajai Liga Primer Inggris pada musim perdananya melatih di Stadion Stamford Bridge.

Namun nahas bagi Conte, musim keduanya di London Barat berjalan tidak terduga. Usai tampil superior di sepanjang musim lalu, langkah mereka saat ini terkesan pincang. Walau punya skuat mumpuni, tapi performa Eden Hazard dan kawan-kawan jauh dari kata konsisten.

Di satu laga, termasuk melawan klub-klub papan atas, Chelsea bisa tampil amat gemilang (menekuk Tottenham Hotspur dan United). Tapi di momen lainnya, The Blues malah kerepotan sehingga kalah dari tim-tim papan bawah, tak terkecuali saat mentas di depan publiknya sendiri (dihajar Burnley serta Bournemouth).

Bila diibaratkan sebuah moda transportasi, Chelsea di musim 2017/2018 tak ubahnya pesawat yang mengalami turbulensi akibat perubahan kecepatan aliran udara (baca: situasi terkini di Liga Primer Inggris) maupun beban pesawat The Blues sendiri (baca: kondisi internal tim).

Sejumlah pembenahan yang dilakukan oleh para rival seperti City, United, Liverpool dan Tottenham, membuat persaingan di Liga Primer Inggris musim ini menjadi lebih ketat. Terlepas dari dominasi The Citizens yang sejauh ini nyaman duduk di peringkat satu, tapi permutasi posisi di peringkat dua hingga lima besar klasemen sungguh menyita perhatian.

Di sisi lain, pembenahan yang dilakukan oleh Chelsea pada musim ini dirasa sejumlah kalangan tidak berjalan sesuai ekspektasi. Sebagai contoh, melepas Diego Costa yang terlibat friksi dengan Conte dan menjadikan Alvaro Morata sebagai penggantinya masih dianggap sebagai keputusan yang tidak ideal. Pun begitu dengan perekrutan Tiemoue Bakayoko buat mensubstitusi kepergian Nemanja Matic yang meninggalkan lubang teramat besar.

Baca juga: Malfungsi Sistem dan Peran Tiemoue Bakayoko di Chelsea

Alih-alih memberi kesempatan para penggawa muda semisal Ruben Loftus-Cheek dan Kenedy untuk masuk ke skuat utama guna menimba pengalaman sekaligus menjadi pelapis para penggawa inti, Chelsea justru menggelontorkan kocek masif demi meminang Danny Drinkwater serta Davide Zappacosta yang kontribusinya sejauh ini biasa-biasa saja.

Tak berhenti sampai di situ, keberhasilan Chelsea menjadi kampiun Liga Primer Inggris musim kemarin juga melahirkan ekspektasi yang lebih tinggi pada musim ini. Ambisi mempertahankan titel liga dibarengi dengan hasrat untuk mencaplok gelar-gelar lain yang tersedia seperti Piala FA, Piala Liga (The Blues sudah rontok di semifinal) dan pastinya, Liga Champions.

Padahal, membagi fokus dan tenaga di empat kompetisi berbeda bukanlah pekerjaan enteng. Butuh determinasi ekstra dan kecermatan tinggi kapan harus menaikkan kecepatan pesawat, kapan mesti menurunkannya.

Jika musim lalu perjalanan Hazard dan kawan-kawan begitu lempeng dan tak mendapat halangan berarti, hal sebaliknya malah terjadi pada musim ini. Alhasil, mereka pun seringkali kerepotan hanya untuk mempertahankan diri di empat besar klasemen.

Sebagai perbandingan, hingga pekan ke-28 Liga Primer Inggris musim 2016/2017, Chelsea nangkring di puncak klasemen berbekal 67 angka hasil dari 21 kemenangan, 4 kali seri dan cuma kalah 3 kali. Namun pada musim 2017/2018, The Blues baru mengepulkan 53 poin yang berasal dari 16 kemenangan, imbang 5 kali dan kalah di 7 partai.

Artinya, ada selisih 14 poin yang terbentang di antara pencapaian musim kemarin dan saat ini. Andai tak kehilangan poin sebanyak itu, maka sekarang Chelsea akan duduk di posisi dua klasemen sementara dan tertinggal lima angka saja dari City. Pertemuan kedua kubu akhir pekan ini (4/3) juga dapat menentukan siapa yang bakal keluar sebagai penguasa di pengujung musim nanti.

Turbulensi yang sedang menimpa pesawat Chelsea musim ini bahkan terus menggoyang posisi sang pilot, Conte. Mantan allenatore Juventus dan tim nasional Italia tersebut disinyalir akan kehilangan takhtanya di Stadion Stamford Bridge di akhir musim. Sejumlah nama suksesor semisal Carlo Ancelotti dan Luis Enrique sudah berulangkali ditiupkan oleh media-media Inggris.

Lebih jauh, Roman Abramovich yang menjadi pemilik klub sedari tahun 2003 silam juga beken sebagai figur yang tidak ragu buat memberhentikan pelatih. Maka tak perlu kaget andai sang taipan asal Rusia benar-benar mendepak Conte jika ia dinilai gagal total.

Bagi Conte sendiri, hanya ada dua tempat di mana ia bisa menyelamatkan kariernya sekaligus pesawat Chelsea agar tidak babak belur dihantam turbulensi yang menyebabkan kerusakan fatal dan bahkan kehancuran.

Sepasang tempat itu adalah Piala FA (The Blues sudah menembus fase perempat-final dan akan bersua Leicester City) dan Liga Champions (bermain seri 1-1 di partai perdana babak 16 besar kontra Barcelona). Kendati demikian, kesuksesan itu tidak akan menjamin posisinya aman 100 persen sebab di tangan Abramovich, tidak ada hal yang mustahil.

Selamat berjuang, Conte.

#KeepTheBlueFlagFlyingHigh

Author: Kweku Amonoo-Quyst
Penerjemah: Budi Windekind (@Windekind_Budi)