Cerita

Luis Campos, Terpuruk dengan Lille dan Siap Dibajak oleh Chelsea

“Kehidupan seperti roda, kadang di atas kadang di bawah.”

Pepatah usang itu rasanya masih relevan setiap kali kita dirundung masalah, ia seperti penenang kala kehidupan menampilkan wajah buruknya. Bukan mustahil juga pepatah tersebut kerap terpendam dalam dada para pendukung tim sepak bola. Khususnya bagi para pendukung Lille OSC.

Musim 2017/18 akan bisa menjadi musim paling buruk bagi klub yang bermarkas di Stadion Stade Pierre-Mauroy itu. Bagaimana tidak, mereka terancam turun kasta setelah melewati musim berat. Posisi 19 dengan statistik hanya menang di dua laga dalam 13 pertandingan di liga tentu sudah cukup menjelaskan bagaimana kabut pekat tengah menyelimuti klub yang berdiri 73 tahun lalu ini.

Jurang degradasi itu kian nyata saat jumlah laga mendekati akhir. Hanya tersisa tiga laga bagi Lille untuk bisa keluar dari zona degradasi, sesuatu yang akan ditunggu-tunggu RC Lens, rival sejati mereka. Memang terlihat sulit, namun sejujurnya Lille masih punya asa, mengingat perbedaan poin di zona paling bawah masih tipis.

Pada matchday selanjutnya Lille akan berhadapan dengan Toulouse yang berada di posisi 17 atau hanya berbeda dua poin dengan mereka. Dengan kata lain, laga melawan Toulouse mungkin menjadi perbedaan bagi nasib Les Dogues musim depan.

Lille OSC bukanlah tim yang gurem-gurem amat, kita tahu itu. Tiga kali menjadi juara Ligue 1, terakhir kalinya pada musim 2010/2011 silam, dan mengemas enam titel juara Coupe de France, sudah cukup menjadi alasannya.

Krisis di tubuh Lille terlihat pada musim 2016/2017, di mana mereka finis di urutan ke-11 (musim sebelumnya di posisi 5). Oleh karena itu manajemen klub kemudian merekrut Marcelo Bielsa, sosok pelatih yang diidolakan Pep Guardiola. Namun kita tahu, hanya setengah musim Bielsa memimpin Lille, ia kemudian didepak dan digantikan Christophe Galtier.  Kemerosotan Lille adalah kabar buruk bagi pendukungnya, namun tidak bagi Chelsea. Ada hal yang menjadi keuntungan jika Lille tak kuasa keluar dari zona merah. Keuntungan itu ada dalam sosok bernama Luis Campos. Sosok yang satu ini sudah lama dikabarkan menjadi incaran The Blues.

Kita tahu, sejak Emenalo memutuskan pergi dari Stamford Bridge karena alasan keluarga, kursi direktur teknik Chelsea diampu oleh Maria Granovskaia. Maria bukanlah orang bar sebab ia adalah orang lama di klub London Biru itu dan kehadirannya di jabatan direktur teknik boleh dibilang hanya sementara. Dan kita tentu belum lupa bagaimana Antonio Conte berulang kali menunjuk keputusan rekrutmen pemain oleh manajemen sebagai biang kerok kegagalan The Blues musim ini. Dari sini nampaknya Luis Campos bisa menjadi jawaban.

Bagi Anda yang masih ingat bagaimana AS Monaco digdaya di musim 2016/2017 lalu, akan tak asing dengan nama pria asal Portugal itu. Ia adalah sosok dibalik moncernya skuat Monaco kala itu. Nama-nama seperti Tiemoue Bakayoko, Kylian Mbappe, Fabinho, dan Thomas Lemar, adalah hasil dari kerjanya.

Baca juga: Memahami Cara Berbisnis AS Monaco

Dengan begitu, Luis Campos juga menjadi proyek solusi bagi Lille, bersama dengan Bielsa, untuk memperbaiki keterpurukan di awal musim ini. Namun hubungan Campos dengan Bielsa kabarnya tak berjalan baik, bahkan ada kabar bahwa salah-satu faktor hengkangnya Bielsa adalah karena buruknya hubungan dia dengan Campos.

Namun Campos tidak sendirian, sebab belakangan beredar kabar juga manajemen Chelsea tengah mengincar Fabio Paratici untuk mengisi posisi direktur teknik. Fabio sekarang masih berstatus sebagai direktur olahraga klub raksasa Italia, Juventus.  Kedekatan Fabio dengan kultur Chelsea yang entah kenapa identik dengan sosok-sosok Italiano, menjadi nilai tambah tersendiri.

Bagaimana pun, entah itu Campos atau Fabio, kehadiran direktur teknik yang betul paham tentang sepak bola, tak hanya soal bisnis sebagaimana ahlinya Maria Granovskaia, adalah hal penting. Dan siapapun yang mengisi kursi yang ditinggalkan Emenalo itu bisa memahami apa keinginan Maurizio Sarri Antonio Conte.