Eropa Prancis

Memahami Cara Berbisnis AS Monaco

Untuk memahami cara berbisnis AS Monaco, kita harus memutar waktu ke tahun 2011. Tepatnya adalah bulan Desember tahun 2007, House of Grimaldi melepas Monaco kepada orang kaya asal Rusia, Dmitry Rybolovlev. Saat itu, klub yang pernah masuk final Liga Champions 2004 ini tengah terpuruk di dasar klasemen Ligue 2, liga kelas dua di Prancis.

Sebelum membeli Monaco, Rybolovlev sudah menjadi “residen” di Monaco sejak lama. Ketika sebuah kesempatan untuk membeli Monaco datang, ia tak berpikir dua kali. Prince Albert II, “kepala negara” Monaco pun ingin ada perubahan drastis. Jika perubahan tak dilakukan, Monaco terancam terdegradasi ke divisi tiga. Rybolovlev membangun ulang Monaco, benar-benar seperti dari awal. Dan ketika berhasil promosi ke Ligue 1, Rybolovlev membelanjakan banyak uang untuk mendatangkan pemain-pemain bintang. Falcao menjadi pemantik gerbong pemain mahal yang diboyong Monaco.

Vadim Vasilyev, tangan kanan Rybolovlev menjelaskan bahwa investasi keras harus dilakukan untuk mengawali “ambisi” menjadi klub besar.

“Jika ingin menjalankan sebuah proyek lebih cepat, Anda butuh investasi yang besar. Situasi soal Falcao cukup unik karena pemain sekaliber dirinya sangat jarang mau bergabung ke sebuah proyek yang baru saja dimulai.”

“Dan memang, ia tak mau datang begitu saja. Ia ingin tahu dulu, dengan siapa saja ia akan bermain. James Rodriguez dan Joao Moutinho adalah dua pemain yang ia inginkan bergabung. Falcao adalah pembelian paling penting. Kami memberinya banyak perhatian. Misalnya, kadang-kadang, kami pergi makan malam bersama dirinya dan istrinya,” ungkap Vasilyev kepada The Blizzard.

Setelah kedatangan Falcao, Monaco lebih mudah membujuk pemain-pemain bintang untuk bergabung. Kedatangan pemain berkualitas berbanding lurus dengan peningkatan level. Monaco, dari tim yang hampir degradasi ke divisi tiga, berhasil masuk ke Liga Champions hanya dalam waktu satu tahun. Namun, musim panas yang menyenangkan itu berubah ketika UEFA datang membawa surat peringatan. UEFA mendakwa Monaco melanggar aturan Financial Fair Play (FFP). Ada dua sanksi untuk, yaitu Monaco hanya boleh mendaftarkan 22 pemain di musim berikutnya dan membayar denda satu juta euro selama tiga tahun.

Monaco patuh dengan sanksi tersebut, sekaligus berjanji untuk menyajikan laporan keuangan yang lebih seimbang. Sanksi UEFA ditambah proses perceraian Rybolovlev dengan istrinya, yang menguras banyak uang, Monaco harus mengubah pendekatannya terhadap ekonomi klub. Tawaran Real Madrid untuk James Rodriguez disambut baik dan peminjaman Falcao ke Manchester United merupakan langkah bijak selanjutnya. Rybolovlev menegaskan bahwa untuk selanjutnya, investasi Monaco tak lagi soal pemain mahal, tapi “bisnis yang berkelanjutan”.

Setelah melepas Claudio Ranieri, manajemen Monaco menunjuk Leonardo Jardim sebagai pelatih. Manajemen ingin pelatih dengan ide yang berbeda, yang mau bekerja bersama pemain muda. Mengembangkan pemain muda, mengangkat mereka ke level tertinggi. Masa-masa awal Jardim bersama Monaco berjalan lambat. Tapi manajemen Monaco paham dengan proses perubahan. Pemain-pemain muda terpantau berkembang dengan sangat baik di bawah asuhan Jardim.

“Setiap pesepak bola membutuhkan pendekatan yang berbeda. Tentu, akan sangat baik kalau seorang pelatih punya pengalaman sebagai pemain, tapi tak selalu menentukan. Saya suka perkembangan selangkah demi selangkah. Karier saya pun diawali di tingkat junior,” ungkap Jardim.

Sebuah pemikiran yang menjadi bukti bahwa ambisi Monaco untuk berubah menemukan sosok pelatih yang tepat. Kebijakan yang baru ini berjalan dengan sangat baik.

Tahun 2015, Monaco membukukan rekor penjualan pemain hingga 200 juta euro. Salah satu penjualan paling mahal adalah Anthony Martial yang dibeli Manchester United dengan banderol 50 juta euro. Jika semua bonus ditambahkan, pemasukan Monaco dari Martial menyentuh angka 80 juta euro. Tak ada yang mengira pada awalnya bahwa kebijakan baru ini, dengan Jardim sebagai ujung tombaknya, akan sukses. Bahkan sangat sukses ketika di akhir musim 2016/2017, Monaco berhasil mendobrak dominasi Paris Saint-Germain. Hebatnya, Monaco melakukannya dengan anak-anak muda.

Dan “anak-anak muda” inilah yang akan menjadi komoditi masa depan Monaco. Untuk jendela transfer musim panas 2017, Monaco bertindak begitu cerdik. Pada dasarnya, mereka tak menghalangi pemainnya untuk hengkang. Pendeknya masa negosiasi dengan Manchester City dengan Bernardo Silva menjadi salah satu buktinya. Namun, karena sukses mengangkat performa anak-anak muda tersebut, Monaco bisa dengan percaya diri mematok harga yang harus dipenuhi peminat. Seperti yang terjadi dengan Arsenal, ketika klub dari London Utara tersebut terlalu “lambat” menaikkan tawarannya untuk Thomas Lemar.

Baca juga: AS Monaco yang Melesat Bersama Pemain Muda

Dari tawaran sekitar 25 juta hingga 31 juta euro, Monaco meladeni Arsenal dengan baik. Namun mereka tentu menolak tawaran tersebut. The Gunners boleh memboyong Lemar, asal banderol Monaco dipenuhi. Jika Lemar tak jadi hengkang pun, Monaco tak masalah. Sesederhana itu. Keberhasilan mengangkat level permainan Lemar membuat Monaco tak akan mendapat resistensi dari si pemain apabila proses negosiasi tak berjalan lancar. Monaco akan dengan mudah menjawab bahwa “Kami tak halangi niatmu pergi. Namun lihatlah, Arsenal yang tak segera menaikkan tawarannya.”

Keberhasilan mencatatkan keuntungan di tahun 2015 juga membuat Monaco tak membutuhkan pemasukan dalam jumlah besar tahun ini. Pun, mereka jelas akan menetapkan kuota pemain yang boleh dijual dalam satu jendela transfer. Saat ini, Monaco sudah melepas Bernardo, dan kemungkinan akan kehilangan Fabinho, Timoue Bakayoko, Benjamin Mendy, dan Djibril Sidibe. Artinya, sudah lima pemain yang masuk dalam tahap akhir proses negosiasi dengan klub peminat.

Jika akhirnya resmi melepas mereka, Monaco tentu enggan skuatnya benar-benar habis dipreteli. Maka tak heran, mereka dengan enteng menolak pendekatan klub peminat kepada Lemar. Begitulah cara bisnis Monaco saat ini. Pembinaan yang sukses, performa pemain muda yang melejit, dan punya pengganti yang potensial menjadi dasarnya. Hanya ada satu cara untuk meyakinkan Monaco supaya mau melepas pemainnya, yaitu bekerja cepat seperti yang ditunjukkan Manchester City.

Ingat, dengan semua keberhasilan kebijakan baru, Monaco akan selalu “di atas angin” ketika bertarung “di atas meja perundingan transfer”.

Author: Yamadipati Seno ()