Pertama, sebagai seorang Gooner, izinkan saya mengucapkan selamat kepada Chelsea dan para suporternya atas gelar juara Liga Primer Inggris 2016/2017. Kemampuan beradaptasi dengan kesalahan, lantas memperbaiki diri adalah perjuangan yang tentu berat. The Blues layak juara dan usaha mereka musim ini adalah sekelumit inspirasi yang terbayang dari sosok Victor Moses dan perlu diabadikan dalam tulisan.
Musim 2016/2017, melihat keberhasilan Chelsea, mengedepankan nama Eden Hazard, Diego Costa, N’Golo Kante, dan Antonio Conte adalah hal yang lumrah. Mereka berempat menjadi tulang punggung, sebuah penopang, yang membuat Chelsea tak hanya tajam, namun juga tangguh menghadapi situasi yang tak menguntungkan.
Semenjak awal musim, Chelsea di bawah asuhan Conte belum terlihat sebagai tim yang akan berlomba memperebutkan gelar juara. Mereka tak konsisten dan kesulitan mengatasi lawan di enam besar. Dua kali kalah melawan Liverpool dan dipermalukan Arsenal dengan skor 3-0, seperti menjadi lonceng yang mengingatkan Singa Biru untuk segera bangkit dari tidurnya.
Dan Conte merespons rentetan hasil buruk, kesialan, dan inkonsistensi dengan brilian. Ia melakukan perbaikan dari hal yang “terlihat mata”, yaitu skema. Conte melakukannya dengan cepat. Ia menyadari bahwa pendekatannya semenjak awal musim tak menghasilkan hasil positif. Babak kedua di Emirates Stadium, ketika kebobolan tiga gol dari Arsenal di babak pertama, Conte membuat keputusan bermain dengan tiga bek.
Sebuah keputusan berani, mungkin agak sembrono, namun tepat sasaran. Semenjak bermain dengan tiga bek, Chelsea mencatatkan 13 kemenangan beruntun. Sebuah catatan yang menegaskan status The Blues sebagai penantang serius gelar juara.
Bermain menggunakan sistem tiga bek “memaksa” Conte membuat perubahan. Manajer lulusan Scoula Allenatori tersebut menggeser Cesar Azpilicueta sebagai bek tengah sebelah kanan. Dengan berani, ia mencadangkan John Terry, kapten karismatik yang kontraknya akan habis di musim panas tahun ini.
Untuk pos bek sayap kanan, lantaran Azpilicueta sudah bermain sebagai bek tengah, Conte tak memiliki banyak pilihan pemain lain untuk mengemban tugas penting. Bek sayap, dalam skema tiga bek punya tugas penting. Tak hanya naik dan turun membantu pertahanan ketika diserang, lalu menyediakan diri di sisi lapangan ketika menyerang, bek sayap harus pintar membantu gelandang tengah, sekaligus tangguh secara fisik. Dan Conte menyerahkan pos bek sayap kanan kepada Victor Moses.
Pada awalnya, pilihan ini terlihat sembrono, lantaran performa Moses yang tak pernah sampai pada level konsistensi yang diharapkan. Pemain berdarah Nigeria ini bahkan sempat dipinjamkan ke banyak sekali klub lantaran tak memuaskan ketika diberi kesempatan. Namun di sini kita bicara Conte, sosok bernyali yang tak mundur di tengah peperangan.
Pada awalnya, Moses pun tak menyangka ia akan mendapatkan kesempatan bermain, apalagi mengemban tugas penting sebagai bek sayap kanan. Memang, Moses adalah pemain yang mempunyai kecepatan, handal satu lawan satu dengan lawan, dan punya kemampuan mengirim umpan tarik dari sisi lapangan karena ia sejatinya memang pemain sayap.
Namun Moses kurang tangguh ketika bertahan. Meski sempat mengaku sedikit khawatir dengan posisi barunya, Moses sepertinya tak kesulitan beradaptasi. Conte bertanggung jawab dengan keputusannya. Ia membantu Moses berkembang.
“Ia tak pernah bertanya, ‘Apakah kamu mau bermain sebagai bek sayap kanan?’. Pokoknya, ia langsung memainkan saya di posisi itu. Setelah itu, ia terus membimbing saya dan menjelaskan apa yang ia mau dari saya di posisi tersebut. Ia sangat sering mengajak saya berbicara ketika sesi latihan tentang posisi itu untuk memastikan saya berkembang. Saya mendengarkan sarannya,” ungkap Moses kepada Guardian.
Selain Conte yang tak pernah lelah membimbing, Moses mengakui bahwa tim seperti berubah drastis, terutama setelah kekalahan dari Arsenal tersebut. Ia menyebut tim lebih kompak dan menunjukkan persatuan. Moses menyebut perubahan suasana ini yang membuat dirinya mampu beradaptasi dengan skema baru. Karena semua pemain Chelsea menyadari pentingnya perubahan dan berkembang bersama-sama.
Semenjak bermain sebagai starter ketika mengalahkan Hull City dengan skor 2-0 di awal Oktober, Moses hanya absen di dua pertandingan, mencetak dua gol, menciptakan 20 peluang, mencatatkan dua asis, memenangi 37 takel dengan kesuksesan mencapai 30 persen. Dan hebatnya, sepanjang musim ini, sebagai seorang pemain sayap murni dengan corak menyerang, eks pemain Wigan Athletic ini berhasil mencatatkan 63 clearances.
Danny Murphy sempat berkata, “Victor Moses menjadi pahlawan tanpa tanda jasa bagi Chelsea. Aspek bertahan dalam dirinya berkembang dengan pesat, dan tetap efektif di sepertiga akhir.” Sebuah pujian yang layak jika kita melihat tekad Moses untuk belajar dan berubah demi kepentingan tim.
Selain Azpilicueta dan Moses, perubahan skema juga menguntungkan Gary Cahill, Pedro Rodriguez dan Cesc Fabregas. Semenjak dipercaya memimpin menggantikan Terry, Cahill menjelma menjadi sosok pemimpin yang lebih matang. Pedro, yang dipandang sebagai pembelian gagal di awal musim, justru menjadi bagian penting. Fabregas, di paruh akhir musim, ia berhasil mencapai level permainan terbaiknya.
Conte membuat perubahan untuk menyesuaikan diri dengan kesalahan. Tentu, supaya kesalahan tersebut tak terulang. Moses, memahami kebutuhan tim, belajar dengan tekun, dan berubah menjadi pemain yang lebih baik. Untuk kadar tertentu, perubahan drastis keduanya cukup sembrono. Namun ternyata perubahan tersebut diukur dengan matang. Dan berbuah sebuah gelar di akhir musim.
Keduanya merupakan representasi tekad manusia. Setelah rentetan kegagalan, hanya butuh satu nyali dan sedikit logika untuk sebuah perubahan positif. Jangan takut berubah. Takutlah dengan stagnasi.
Author: Yamadipati Seno
Koki @arsenalskitchen