Kegagalan dalam kehidupan adalah suatu hal yang wajar. Semua orang pasti pernah mengalami kegagalan, baik dalam hal asmara, finanisal, edukasi, dan tentunya karier. Kerapkali, saat mengalami kegagalan, satu orang akan merasa terpuruk, depresi, dan berujung pada urungnya niat untuk mencoba kembali. Padahal, seharusnya kegagalan dijadikan sebagai lecutan dan pelajaran, untuk menjadi yang lebih baik lagi ke depannya.
Bagi orang-orang yang terus berusaha meski telah didera suatu hambatan, kesempatan kedua pasti akan menghampiri. Bukti bahwa kesempatan kedua itu ada dapat dilihat dari jalan hidup penyerang legendaris Arsenal, Ian Wright. Bahkan, tak hanya sekali kesempatan kedua datang bagi pria asal Inggris ini.
Kesempatan kedua yang pertama datang kepada Wright saat ia baru menapaki karier sebagai pesepak bola. Lahir dari keluarga imigran asal Jamaika, Wright kecil sudah menghadapi hidup yang sulit setelah ditinggal oleh sang ayah. Sepak bola menjadi pelarian baginya dari hidupnya yang sulit, bahkan membuat pendidikannya di sekolah menjadi terbengkalai.
Kala memasuki usia remaja, ia sempat menjalani masa uji coba bersama klub-klub professional seperti Southend United dan Brighton, namun ia tak dirasa cukup bagus untuk bergabung di klub-klub tersebut. Merasa frustrasi, Wright mulai melakukan beberapa pelanggaran, yang membuatnya harus dipenjara di usia muda.
Menghabiskan waktu di Penjara Chelmsford, pria asli London ini merenungi hidupnya, dan berjanji kepada Tuhan untuk mengembangkan kemampuannya sebagai pesepak bola agar dapat sukses di olahraga tersebut.
Selepas dibebaskan dari penjara, ia bergabung dengan klub semi-profesional bernama Greenwich Borough ketika usianya menginjak 21 tahun. Bersama klub tersebut, pria yang biasa dipanggil Wrighty ini mampu tampil impresif, hingga bakatnya terendus oleh pemandu bakat klub yang cukup tenar pada masa itu, Crystal Palace.
Akhirnya, di tahun 1995, ia direkrut untuk menjalani masa percobaan bagi The Eagles, namun performanya di masa uji coba tersebut sudah cukup meyakinkan Steve Coppel, manajer Crystal Palace saat itu. Di musim pertamanya, Wright mendapatkan peran sebagai supersub.
Meskipun kerap kali tampil dari bangku cadangan, ia mampu mengakhiri musim dengan menjadi top skor kedua Palace di musim itu. Bertahan selama enam tahun di klub asal London Barat tersebut, Wright berhasil menjadi sosok legenda, mencetak 90 gol dari 225 kompetisi yang ia jalani, dan dinobatkan menjadi Player of The Century Crystal Palace.
Di awal musim 1991/1992, Wrighty direkrut oleh salah satu klub raksasa Inggris, Arsenal, dengan biaya 2,5 juta paun, harga yang memecahkan rekor rekrutan klub saat itu. Di bawah penanganan George Graham yang kala itu menjadi manajer Arsenal, ayah angkat dari mantan pesepak bola timnas Inggris, Shaun Wright-Phillips ini mampu tampil menggila.
Baca juga: Shaun Wright-Phillips dan Kepahitan yang Terjadi dalam Hidupnya
Selama empat musim di bawah asuhan Graham, Wright mampu menjadi top skor Arsenal dan satu kali menjadi top skor liga. Sayangnya, kala Graham terkena skandal di tahun 1995 dan berujung pada pemecatannya, Wright tampak tak kerasan berada di bawah asuhan manajer baru, Bruce Rioch.
Ia bahkan sempat meminta untuk dimasukkan ke daftar jual, namun untungnya, ia berubah pikiran. Nasib memihak pada Wright setelah Rioch hanya bertahan selama satu musim. Memasuki musim 1996/1997, Arsene Wenger datang dan merevolusikan sepak bola tak hanya di Arsenal, namun juga di Inggris.
Kala itu, Wright yang sudah berusia 33 tahun, tentu merasa khawatir berkat tibanya manajer baru yang tak terkenal. Namun, berkat metode diet dan latihan Wenger yang modern, Wright mampu tetap tajam, dan bahkan menjadi top skor sepanjang masa Arsenal hingga ujung kariernya dengan 185 gol di semua kompetisi, rekor yang kemudian dipecahkan oleh Thierry Henry.
Di awal musim 1998/1999, ia kemudian mengakhiri perjalanannya bersama The Gunners dan memulai lembaran baru bersama West Ham United. Wright sempat berpindah klub beberapa kali, sebelum akhirnya pensiun di tahun 2000 bersama Burnley.
Kesempatan kedua telah dibuktikan oleh Wright kala ia masih berkarier sebagai pesepak bola, namun selepas ia pensiun, ia kembali mengalami kegagalan. Dilansir dari Mirror, ia mengatakan bahwa ia sempat kehilangan delapan rumah dan dinyatakan hampir bangkrut selepas cerai dengan istri pertamanya.
Ia menambahkan bahwa buruknya nasihat keuangan yang ia terima kala sedang kaya-kayanya menjadi pesepak bola adalah penyebab dari menumpuknya hutang yang ia harus bayar di masa tuanya. Meskipun begitu, lagi-lagi ia mendapatkan kesempatan kedua. Kariernya sebagai penggiat media, baik sebagai pemandu acara teve, maupun pundit di radio, terhitung sukses.
Wright juga mengatakan bahwa kisah rumah tangga barunya bersama istri keduanya, Nancy, terhitung sukses karena ia menyatakan bahwa ia sangat bahagia bersamanya. Kisah Ian Wright ini patut menjadi contoh, bahwa usaha tidak akan mengkhianati dan kesempatan kedua itu selalu ada bagi yang menginginkan.
Author: Ganesha Arif Lesmana (@ganesharif)
Penggemar sepak bola dan basket