Kolom

Thierry Henry: Lahirnya Sang Raja

Terkadang, mereka yang ditakdirkan menjadi sang raja harus melewati masa-masa percobaan. Mereka harus menderita, kehilangan kepercayaan, dan direndahkan. Thierry Henry, melewati segala ujian, dan memenuhi takdirnya untuk menjadi “sang raja.”

**

Ia datang ke Arsenal dengan status juara dunia. Namun, status itu tak membantunya, ia tengah terpuruk. Henry datang ke Highbury di usia 22 tahun, dan awal yang lamban membuat kapasitasnya dipertanyakan.

Suatu pagi sebelum berangkat ke London Colney, ia sudah mengambil keputusan bahwa sebuah perubahan harus dilakukan. Ia tak mau bermain lagi sebagai striker, dan meminta Arsene Wenger memainkannya sebagai pemain sayap. Ia merasa tak akan ada yang protes dengan keputusannya. Bukan juga para suporter yang terlanjut kecewa kepadanya. Henry pun sudah tak peduli, lantaran kepercayaan dirinya yang sudah lebih dahulu runtuh. Patrick Vieira sering membuat lelucon dari kebiasaan Henry membuang peluang. Lucu dan menyegarkan. Namun sebenarnya, lelucon itu menyakiti hatinya.

Lagipula, ia sukses ketika bermain sebagai pemain sayap. Ia adalah sosok winger yang liar dan berteknik. Ia sukses bersama AS Monaco dan timnas Prancis ketika bermain sebagai sayap. bahkan ketika di Juventus, ia juga bermain sebagai pemain sayap. Ia sudah telanjur dikenal sebagai seorang pemain sayap. Ketika tiba di tempat latihan, ia berubah pikiran. Mengurungkan niatnya untuk berbicara dengan Wenger tentang keputusannya untuk tak mau lagi bermain sebagai striker. Ia akan mencobanya, setidaknya, sekali lagi.

Thierry Henry (kanan) bersama Arsene Wenger saat resmi hijrah ke Arsenal pada Agustus 1999.

Sosok tua bermata elang

Arsene Wenger sudah yakin akan memainkan Henry sebagai striker sejak kali pertama menghubunginya untuk bergabung bersama Arsenal. Agustus 1999, The Gunners memecahkan rekor pembelian pemain termahal, 11 juta paun untuk mendatangkan Henry dari Juventus. Beberapa bulan sebelumnya, di tengah penerbangan dari Italia menuju Paris, Wenger sudah berbicara kepada Henry tentang kemungkinan transfer. Waktu itu, pelatih berkacamata tersebut menegaskan kepada Henry bahwa, “Kamu hanya buang-buang waktu dengan bermain sebagai pemain sayap. Kamu itu striker.”

Sebenarnya, Wenger sudah sejak lama ingin memboyong Henry ke Inggris. Tepatnya ketika Henry akan meninggalkan Monaco. Sayang, Juventus lebih kuat secara ekonomi. Sekitar 30 menit sebelum kesepakatan antara Monaco dan Juventus terjalin, Wenger menghubungi Henry. Sayang, 30 menit tak cukup untuk mengintervensi kesepakatan kedua klub. Wenger adalah orang yang menemukan bakat Henry sejak masih di akademi Monaco, bahkan memberinya kesempatan debut di usia 17 tahun. Meski bermain sebagai winger, Henry sudah menunjukkan ketajamannya.

Bagi Wenger, Henry sudah nampak seperti striker kala itu. Monaco sendiri sudah punya striker yang sangat tajam masa itu dalam diri Sonny Anderson. Jadi Henry (terpaksa) lebih banyak bermain di sisi lapangan. Di balik kacamata tebalnya, Wenger sudah menetapkan buruannya: memboyong Henry ke Arsenal dan menjadikannya penyerang.

Runtuh

Dua minggu sebelum ulang tahunnya yang ke-22, Henry tiba di Arsenal. Ia datang dengan sebuah tantangan. Saat itu, The Gunners tengah dalam suasana tak menyenangkan setelah kepergian Nicholas Anelka ke Real Madrid dengan dana 23 juta paun. Tahun itu, Arsenal tengah berusaha mengisi posisi pendulang gol yang ikonik itu.

Sebelum kedatangan Henry, sebenarnya Arsenal sudah membeli satu striker. Ia adalah pahlawan Kroasia di Piala Dunia 1998, Davor Suker. Namun, Henry yang pasti akan memikul beban itu. Beban dibanding-bandingkan dan harus menggantikan Anelka, yang sama-sama berdarah Prancis. Henry dan Anelka sebenarnya berteman baik. Namun hubungan keduanya sedikit unik. Sejak di Clairefontaine, Anelka dipandang lebih berbakat ketimbang Henry. Berkat Anelka pula, Henry didemosi ke skuat Prancis U-21. Jadi, menggantikan posisi juniornya yang berbakat di Arsenal tentu sebuah situasi yang bisa membuat perus mulas.

Henry menunjukkannya ketika meladeni sesi wawancara di awal-awal minggu bersama Arsenal. ia gelisah dan tak nyaman dengan sikap jurnalis yang membandingkan dirinya dengan Anelka. Wenger menangani situasi itu dengan caranya sendiri. Ia ingin Henry bangkit dengan caranya sendiri. Alih-alih menenangkan, Wenger justru “mencambuk” Henry dengan komentarnya.

“Jika tak ingin dibanding-bandingkan, sebaiknya kamu di rumah saja! Jika ingin menjadi pemain besar, kamu harus menunjukkannya di lapangan. Henry punya kualitas untuk menjadi sebagus Nicholas (Anelka). Henry lebih mudah membaur dengan kawan-kawannya ketimbang Nicholas. Ia akan selalu bekerja keras untuk tim ini!”

Tapi memang, kepercayaan diri Henry sudah telanjur runtuh. Masa-masa singkat bersama Juventus sangat mengecewakan. Kegagalan yang menghantui, menutup bakat dirinya. Ia bergabung di pertengahan Januari 1999 ketika Si Nyonya Tua terpuruk di posisi 10 dengan catatan 18 gol dari 17 pertandingan. Juventus sangat membutuhkan pemain yang rajin mencetak gol, dan Henry menyandang beban itu. Ia dibeli ketika Juventus masih dilatih Marcello Lippi. Namun ketika ia datang, Lippi sudah dipecat.

Pengganti Lippi adalah Carlo Ancelotti. Di bawah asuhan Ancelotti, Henry bermain sebagai starter sebanyak 12 kali dari 14 pertandingan. “Di lima atau enam pertandingan, saya tak mencetak gol atau membuat asis. Butuh waktu untuk menyesuaikan diri dengan sistem baru. Kami bermain dengan 3-5-2, yang mana saya tidak terbiasa. Tapi saya bisa beradaptasi dan bermain lebih baik,” ungkap Henry kepada FourFourTwo.

Meski menegaskan bahwa ia sudah berusaha bermain lebih baik, pada kenyataanya, Henry gagal total. Padahal, ekspektasi di pundaknya begitu berat. Betul, ekspektasi tersebut lahir bukan tanpa alasan. Meski masih muda, ia sudah bermain di semifinal Liga Champions, menjuarai Ligue 1, dan menjadi juara dunia bersama Prancis. Ekspektasi, ditambah keraguan kepada diri sendiri adalah beban yang ia bawa ketika datang ke Inggris.

Keraguan kepada diri sendiri juga merupakan menjadi tanda keengganan bermain sebagai striker di Arsenal. “Saya harus kembali belajar seni menendang bola,” ungkapnya menggambarkan beratnya situasi yang dihadapi.

“Meski berstatus juara dunia, saya bukan siapa-siapa. Dan itu sebuah kebenaran. Saya belum membuktikan diri bersama Arsenal. Jadi, siapa saya berani jemawa?” ungkapnya.

Previous
Page 1 / 2