Kolom

Thierry Henry: Lahirnya Sang Raja

Thierry Henry

Titik Balik

Masa-masa awal bersama Arsenal diwarnai dengan kegagalan mencetak gol di delapan pertandingan. Dan pada akhirnya, ia membuka keran golnya bersama Arsenal di pertengahan September. Bermain di The Dell, kandang Southampton waktu itu, Henry bermain sebagai pemain pengganti. Ia hanya butuh delapan menit untuk akhirnya memuaskan dahaga gol. Tendangan melengkung ke arah tiang jauh, yang pada akhirnya menjadi ciri khas, gagal ditepis Paul Jones, kiper Soton.

Henry kembali tak menjadi pilihan utama kala Arsenal bermain di Liga Champions menghadapi AIK Solna. Ia menjadi pemain pengganti lagi, dan kali ini ia merancang satu asis untuk gol Suker dan membuat satu gol untuk menutup skor menjadi 3-1. Namun, meski bermain bagus di dua pertandingan, komparasi dengan Anelka masih saja didengungkan jurnalis.

“Ia masih saja membuang peluang, yang mana Anelka pasti bisa membuatnya menjadi gol,” tulis The Times. Memang, Henry sempat membuang peluang emas dari jarak dekat. “Jika kami tak menang, saya merasa sudah mengecewakan semua orang,” ungkapnya selepas pertandingan Liga Champions.

Empat bulan, 17 pertandingan, dan hanya dua gol. Situasi semakin memburuk untuk Henry. Saat itu, Henry masih sering dimainkan di sisi lapangan. Wenger ingin Henry belajar bersabar dan berlatih menemukan timing yang tepat untuk berlari masuk ke kotak penalti. Sebuah ilmu yang kelak membuatnya begitu berbahaya di depan gawang lawan.

“Pelatih memang ingin saya bermain lebih ke tengah. Tapi artinya saya harus berlatih menemukan timing untuk berlari dengan cara yang benar-benar berbeda. Proses itu butuh waktu,” kenangnya.

Titik balik bagi karier Henry terjadi bukan ketika ia mencetak gol atau berkontribusi secara langsung. Tertanggal 25 November 1999, Arsenal menjamu Nantes dalam tajuk UEFA Cup. Sebelumnya, Arsenal gagal lolos dari fase penyisihan grup Liga Champions dan harus bermain di babak ketiga di kompetisi kasta kedua Eropa yang sekarang bernama Europa League. Saat itu, Arsenal sudah unggul satu gol dan waktu tinggal menyisakan 10 menit. Henry masuk menggantikan Freddie Ljungberg. Henry memang tak bisa memutus kesengsaraan gagal mencetak gol. Namun, Henry tampak sangat “hidup”. Dari 20 menit waktunya bermain, ia membuat begitu banyak peluang. Ia bermain dari sisi kiri dan begitu berbahaya ketika menusuk masuk ke tengah. Henry menemukan timing-nya.

20 menit yang ajaib, dan Wenger tak membuang momen untuk memainkan Henry sejak awal. Tiga hari setelah melawan Nantes, Arsenal melawan Derby County. Wenger menduetkan Henry dengan Dennis Bergkamp untuk kali pertama. Henry menyambut kesempatan itu dengan sangat antusias. Ia tahu ini kesempatannya untuk membuktikan kepada dirinya sendiri bahwa ia bisa bermain sebagai striker. Ia tak ingin lagi mengecewakan siapa pun lagi, terutama Wenger, yang selalu mendukungnya, sekaligus “ayah spiritual”-nya.

Ketika Henry ditarik keluar di menit 72, Highbury menghadiahinya standing ovation. Baru dua menit pertandingan, Dean Sturidge membobol gawang Arsenal. Di tengah tekanan, Henry menyeret Arsenal untuk bangkit. Sembilan menit kemudian, Henry menyamakan kedudukan. Dan enam menit setelah turun minum, Henry mencetak gol kemanangan dengan ketenangan yang mengagumkan.

Keesokan harinya, The Times menggambarkan gol Henry sebagai “gol klasik yang indah”. Henry menyebutnya sebagai “gol seorang striker” dan Wenger menegaskannya sebagai “sebuah awal”.

Pada hari yang sama, Anelka menolak bermain ketika Madrid menghadapi Celta Vigo. Ia mengaku tengah cedera lutut, yang mana banyak orang tak percaya. Empat bulan bersama Madrid, Anelka gagal mencetak gol. Catatan buruk yang berlanjut hingga 26 Februari. Setelah laga melawan Derby yang menjadi titik baliknya, Henry mencetak delapan gol dari 10 pertandingan. Tak ada lagi yang membuat komparasi dirinya dengan Anelka.

Tujuh musim kemudian, Henry menjadi pusat dominasi Arsenal. Dari seorang anak muda yang tengah terpuruk, menjadi pembunuh di depan gawang. Masa-masa itu, di tengah pergantian milenium, the making of the king, seorang raja telah lahir. Ia ditempa masa-masa sulit. Didekorasi dengan keraguan dan cibiran. Semua hal negatif menjadi bekalnya menempa baju baja. Yang ia kenakan dengan kebanggaan. Menjadi raja, dan satu-satunya, King Henry, yang bertahta di Highbury.

Disclaimer: Tulisan ini ditulis ulang dari artikel Joe Brewin yang berjudul, “Year Zero: The making of Thierry Henry (Arsenal, 1999/2000)”.

Author: Yamadipati Seno (@arsenalskitchen)