Persib Bandung memang kalah dari tuan rumah PSM Makassar akhir pekan lalu, tapi, ada yang sedikit menarik dari bagaimana Hariono bermain malam itu. Walau sudah turun di 21 laga Persib musim ini di Go-Jek Traveloka Liga 1, bila Anda cermat, Hariono tidak pernah benar-benar main sebagaimana mestinya sepanjang musim ini.
Sebelum gol Febri Hariyadi, kamu perlu melihat bagaimana Hariono mengawali serangan Persib dari bawah. Melepas umpan vertikal sederhana ke depan menuju Michael Essien dan membuka pertahanan PSM dengan satu umpan simpel. Essien sudah satu hingga dua meter di depan blocking gelandang-gelandang PSM dan mampu leluasa mengirim umpan matang ke Febri yang berlari masuk dari sayap kanan lalu mencetak gol.
Pertanyaannya, kenapa kemudian Persib menurun dan kebobolan dua gol lalu kalah? Apakah Hariono kembali tak maksimal?
Seperti sisi misterius siapa sebenarnya pelatih kepala Persib saat ini, peran Hariono pun cukup misterius musim ini. Kedatangan banyak sekali gelandang dengan posisi bermain yang mirip dengannya, membuat pemain gondrong berusia 32 tahun ini kurang maksimal. Ia memang masih rutin bermain, catatan 21 laga adalah buktinya. Namun, Hariono tak pernah benar-benar bermain bagus secara rutin.
Di laga PSM, bobroknya sistem gelandang dan pembagian peran di lini tengah Persib tampak menganga. Hariono yang turun di menit awal bersama Kim Kurniawan pontang-panting mengawal gelandang jangkung PSM, Willem Jan Pluim. Belum lagi, Juku Eja punya gelandang tangguh seperti Rizky Pellu serta pemain asing asal Belanda lain, Marc Klok. Tapi, dibanding ketiga gelandang PSM, tiga gelandang tengah Persib malam itu punya kualitas tak kalah baik.
Selain Hariono dan Kim, ada Essien di lini tersebut. Yang menjadi masalah, terkadang, ketiganya hampir selalu salah posisi dan penempatan saat fase bertahan. Kim merapat ke Hariono dan Essien hanya beberapa meter di depan keduanya. Yang membingungkan, penugasan ketiganya dalam fase bertahan Persib ini sebenarnya bagaimana? Essien memang sejak awal liga sudah diplot sebagai gelandang serang, namun Persib lupa, sepanjang kariernya, eks kapten timnas Ghana ini adalah gelandang bertahan murni, kecuali di Chelsea di mana dia bermain sebagai gelandang box to box.
Di Persib, pembagian peran itu tidak ada, sama seperti tidak adanya kejelasan siapa sebenarnya pelatih kepala Maung Bandung. Kim berlarian mengejar Pluim, dan ketika gelandang jangkung asal Belanda tersebut lepas dari adik ipar Irfan Bachdim tersebut, Hariono segera menutup untuk mengejar Pluim. Sekilas, terdengar hebat karena dua gelandang Persib melakukan marking terhadap satu pemain PSM. Namun, dua pivot yang bersamaan menjaga Pluim membuat banyak lubang menganga di lini tengah Persib.
Walau tak berimbas langsung, seharusnya ini menjadi pertanyaan. Coba tengok rekaman pertandingan dan lihat dengan jelas di situasi gol Zulkifly Syukur, ada hampir empat pemain PSM berdiri di depan pertahanan Persib dan lini tengah yang kosong. Empat pemain berdiri bebas, bung!
Malfungsi Hariono
Bukan Djajang Nurdjaman, bukan pula Herrie Setiawan dan Emral Abus, yang mampu memanfaatkan fungsi Hariono di lapangan musim ini. Memakai double pivot bukan hal baru bagi Hariono. Yang menjadi hal baru, tak ada lagi Firman Utina dan Makan Konate di tim Maung Bandung sekarang.
Dedi Kusnandar dan Kim bukan pemain buruk, apalagi Raphael Maitimo. Masalahnya, dari semuanya, tak ada yang mampu bermain maksimal untuk menyokong Hariono. Kenapa harus Hariono? Jawabnya: karena di setiap tim juara, selalu ada gelandang bertahan murni yang berfungsi dengan baik.
Dari Claude Makelele hingga N’Golo Kante, dari Patrick Vieira hingga Casemiro, semuanya berfungsi dengan baik karena peran dan fungsinya jelas. Mereka merebut bola, sederhana saja, melakukan umpan ke depan, mengawali serangan pertama dari lini tengah. Hal ini yang tidak bisa dilakukan Hariono, bukan karena ia tidak mampu, tapi karena tak ada dukungan dari sistem yang ada di Persib.
Ambil contoh dari laga terakhir, ketika pemain yang diboyong dari Deltras Sidoarjo ini turun bersama Kim. Kim, ketika Persib mengawali serangan, hampir selalu berada berdekatan dengan Hariono. Sialnya, jarak mereka berdua dengan Essien dan sisi sayap sangat jauh. Gol pertama Febri mungkin menunjukkan kejelian Hariono melepas umpan kunci ke Essien, tapi situasi tersebut bukan terjadi karena kebetulan, namun perlu pemosisian pemain yang jelas. Hariono bukan Andrea Pirlo yang mampu menjangkau sepertiga akhir lini serang Persib dengan presisi yang bagus.
Di tim juara tahun 2014, ada Firman Utina yang mampu membantu Hariono mengalirkan bola ke atas. Firman, seorang playmaker yang sedikit turun ke dalam, membantu kerja Hariono dengan jangkauan umpannya yang memang baik. Tapi, tak bisakah Dedi Kusnandar melakukannya seperti Firman? Tentu saja bisa. Masalahnya bukan bisa atau tidak bisa, tapi apakah sistem ini dilatih di latihan Persib?
Hariono dibutuhkan secara taktikal, murni sebagai gelandang bertahan, sebagai sang pemain nomor 6. Memutus serangan lawan, memastikan kehadirannya di lini tengah terasa bagi lawan dengan tenaga dan mesinnya yang bekerja maksimal. Ini yang tak pernah bisa dipahami pelatih Persib saat ini baik pelatih asli, pelatih freelance, dan pelatih bayangan sekalipun.
Kedatangan Essien, Maitimo, hingga mentasnya anak muda seperti Ahmad Basith dan Gian Zola di tim utama, harusnya menjadi momen terbaik bagi Hariono untuk mendapat tandem yang tak kalah berkualitas ketika ia bermain di tim terbaik Persib tahun 2014 lalu. Ini bukan upaya mengulik romansa belaka, ini murni upaya mendedah malfungsi taktik yang dilakukan Persib sepanjang musim ini.
Untuk menutup artikel, ucapan legendaris Zinedine Zidane kepada Florentino Perez, sesaat setelah ia menjual Makelele ke Chelsea, mungkin akan terasa pas bagi situasi Hariono di Persib, “Kenapa menghias mobil Bentley dengan lapisan emas ketika Anda kehilangan mesinnya?”
Hariono memang tidak dijual seperti Makelele, namun ia mesin yang tak bekerja maksimal di sistem yang ada. Upaya manajemen Pangeran Biru mendatangkan banyak bintang musim ini nyatanya hanya upaya menghias diri belaka dan mengabaikan sosok pemain gondrong bernomor punggung 24 itu.
Ingat bung, Mas Har adalah koentji!
Author: Isidorus Rio Turangga (@temannyagreg )
Tukang masak dan bisa sedikit baca tulis