Nasional Bola

Persib Bandung, Medioker, dan Kesuksesan yang Seharusnya Terus Dijaga

Tentu banyak yang terkejut dengan pencapaian Persib Bandung di musim kompetisi kali ini. Dengan acara launching tim yang betul-betul mewah, bahkan sampai menjadi tim pertama yang merekrut marquee player, Persib saat ini hanya berkutat di papan tengah klasemen. Tidak seperti yang mereka tunjukan sebelum musim digelar, di mana mereka terlihat sebagai penantang serius perebutan gelar juara.

Kesulitan untuk memenangkan pertandingan menjadi persoalan utama tim Maung Bandung di kompetisi kali ini. Persoalan utama ini disebabkan oleh banyak permasalahan yang sebelumnya terjadi. Apabila masalah yang ada dianggap terjadi pada musim ini saja, tentu Anda salah besar. Masalah ada tepat setelah Persib Bandung berhasil menjadi juara Liga Super Indonesia setelah puasa hampir selama dua dekade, pada tahun 2014 lalu.

2014 adalah tiga tahun lalu…

Para penggemar Persib mesti menyadari bahwa kesuksesan tim kesayangan mereka menjuari kompetisi nasional edisi terakhir sebelum terkena sanksi dari FIFA adalah tahun 2014 lalu. Menghitung dari tahun 2017 ini, berarti sudah berjalan tiga tahun sejak kesuksesan tim Maung Bandung dimahkotai gelar juara kompetisi level tertinggi sepak bola Indonesia.

Masalah sebenarnya terlihat setelah Persib berhasil menjadi juara. Ada rasa lapar yang hilang dari kubu Persib. Penantian selama hampir dua dekade, dari generasi ke generasi yang lain untuk melihat Persib juara, sudah terselesaikan. Ada kepuasan yang sangat besar didapatkan. Terlihat bahwa ambisi atau impian yang selama ini diidamkan sudah tercapai pada malam itu di Gelora Sriwijaya Jakabaring, Palembang. Rasanya sudah cukup saja melakukan hal tersebut untuk sekali itu.

Rasa cepat puas tersebut terlihat dari tidak banyaknya upaya manajemen untuk mempertahankan gerbong yang kemudian hengkang ke Sriwijaya FC. Padahal, Firman Utina, Achmad Jufriyanto, Supardi Natsir, dan Muhammad Ridwan, adalah pemain-pemain penting yang membawa keberhasilan Persib menjadi juara di tahun 2014. Terlepas apapun cerita yang ada dibaliknya, mestinya Persib bisa menangani situasi ini lebih baik lagi.

Seakan ada rasa tidak masalah ketika para pemain bintangnya pergi, Persib juga melepas Ferdinand Sinaga untuk pergi. Boleh jadi tim beranggapan bisa mengontrak pemain-pemain lain yang memiliki kualitas yang sama. Padahal pengalaman dari para pemain tersebut dibutuhkan untuk berlaga di kerasnya kompetisi sepak bola Indonesia.

Fenomena tersebut merupakan sesuatu yang sangat tidak bagus karena kekompakkan yang sebelumnya sudah ada, justru menjadi hilang. Kepergian para pemain tersebut membuat Persib mesti mengulang lagi seluruh proses pembentukan tim dari awal lagi. Terutama soal chemistry dan kekompakan. Menjadi juara bukan saja soal memiliki pemain dengan komposisi berkelas, tetapi juga soal kekompakan para pemain di dalam sebuah tim.

Rasa cepat puas di tahun 2014 itu kemudian berpengaruh banyak kepada Persib. Klub secara keseluruhan tidak memasang target yang betul-betul visioner. Menjadi yang terbaik bukanlah target yang betul-betul bagus. Secara psikologis maupun dalam aspek kepemimpinan, pencanangan tujuan dan target terbaik haruslah detail dan betul-betul terperinci. Justru kata “jadi yang terbaik” adalah cara lain untuk mengatakan bahwa target tidak terlalu tinggi untuk musim kompetisi kali ini.

Tidak banyak terlihat bagaimana Persib berusaha menjaga atau melakukan maintenance terhadap kesuksesan yang mereka raih di tahun 2014. Yang terjadi justru sisi medioker yang semakin lama semakin kental. Para penggemar bisa jadi sulit untuk mengakui bahwa tim kesayangan mereka diberikan cap medioker. Tapi apa yang terjadi selama dua tahun ke belakang sebenarnya menunjukan hal tersebut. Persib boleh jadi punya nama besar, tetapi mereka bukanlah tim yang benar-benar bagus.

Memiliki marquee player tetapi gestur dari manajemen tidak benar-benar menunjukan tim berkelas. Ketika mengalami rentetan hasil buruk, alih-alih membangkitkan semangat dan mental bertanding tim, manajemen justru mengeluarkan pernyataan bahwa target sudah berubah yaitu agar tidak terdegradasi.

Realistis, tetapi tim besar mana yang berbicara sedemikian pesimis seperti itu?

Terutama soal penanganan media atau sikap kepada publik, yang ditunjukan Persib di musim ini tidak betul-betul menunjukan bahwa mereka merupakan tim berkelas. Bahkan baru-baru ini beredar video rekaman bagaimana seorang pemain menghardik seorang penggemar yang mempertanyakan hasil minor yang diterima oleh tim.

Bisa jadi, karena dalam meraih kesuksesan tersebut, Persib mesti mengalami banyak tahap. Sehingga kesuksesan meraih gelar juara pada tahun 2014 dianggap sudah menjadi pencapaian yang teramat sangat cukup untuk profil klub. Jika memang demikian, rasanya Persib bukanlah Chelsea, atau tim kaya lain dengan nama besar. Bisa jadi, kesuksesan pada tahun 2014 tersebut adalah kisah Cinderella yang sama seperti yang dialami oleh Leicester City pada tahun 2016 lalu.

Author: Aun Rahman (@aunrrahman)
Penikmat sepak bola dalam negeri yang (masih) percaya Indonesia mampu tampil di Piala Dunia