Jose Mourinho menjadi sasaran kritik banyak orang ketika menerapkan taktik defensif saat Manchester United (MU) melawan Liverpool, Sabtu (14/10) lalu. Menurut mereka, manajer The Red Devils tersebut terlalu berhati-hati dan pasif dalam melakukan serangan, hingga berimbas pada jalannya pertandingan yang teramat membosankan. Di situlah masalahnya.
Apa yang Mourinho lakukan sebenarnya adalah bentuk kecerdasan taktikal yang ia miliki. Ia berhasil melakukan adaptasi dengan taktik Liverpool yang menitikberatkan pada kecepatan dan kemampuan ofensif pemain-pemainnya, dan menerapkan skema yang fleksibel dalam laga tersebut.
Memang, permainannya tak sedap dipandang mata, namun, setidaknya, MU berhasil tidak kebobolan oleh trisula Phillipe Coutinho, Roberto Firmino, dan Mohamed Salah yang mematikan tersebut. Sebuah bukti bahwa adaptasi terhadap lawan serta fleksibilitas taktik sangat penting dalam sepak bola.
Variasi taktik dalam sepak bola begitu banyak, dan saat ini, hampir semua skema pada penerapannya sangat kompleks. Meskipun di atas kertas, terlihat bahwa tim A menggunakan formasi 4-2-3-1 dan tim B menggunakan formasi 3-4-3, pada kenyataannya, di atas lapangan dapat berubah baik ketika build-up serangan atau bertahan.
Formasi tersebut hanyalah dasar dari taktik yang diterapkan. Ini menunjukkan bagaimana taktik sepak bola, seharusnya, bersifat fleksibel. Kekakuan pada formasi dasar seringkali berakhir buruk bagi klub yang menggunakannya.
Ambil contoh ketika Arsenal kalah dari Watford di pertandingan Sabtu lalu. Saat itu, The Gunners berhasil mencetak gol terlebih dahulu melalui sundulan kapten mereka, Per Mertesacker. Namun, The Hornets berhasil menyamakan kedudukan melalui eksekusi penalti sempurna dari Troy Deeney, setelah Richarlison terlihat dilanggar oleh Hector Bellerin di kotak penalti Arsenal.
Wenger pun berupaya menambah daya gedor Arsenal dengan memasukkan Jack Wilshere yang lebih ofensif, ketimbang calon pemain yang ia gantikan, Mohamed Elneny. Wilshere sendiri sudah bersiap di pinggir lapangan untuk masuk, namun ia urung masuk karena Laurent Koscielny terlihat limbung akibat cederanya yang belum pulih total.
Di sini kemudian kekakuan Wenger terhadap formasi awal, 3-4-2-1, terbukti merugikan. Koscielny sebenarnya bisa saja digantikan oleh Wilshere, dan skema tiga bek tengah ditambah dua wingback, diubah menjadi empat bek untuk mengakomodir serangan dan menghilangkan miskinnya kreasi serangan Arsenal.
Sayangnya, Wilshere kembali ditarik Wenger ke bangku cadangan, dan Rob Holding-lah, pemain dengan posisi bek sentral, yang menggantikan Koscielny. Akibatnya, Arsenal tak mampu menguasai pertandingan, dan malah kebobolan jelang laga usai. Kekakuan Wenger terhadap skema 3-4-2-1 terbukti berakibat buruk bagi timnya.
Adaptasi sebenarnya menjadi satu paket dengan fleksibilitas, namun akan dijelaskan secara terpisah. Adaptasi taktik adalah bagaimana, secara cermat, menyesuaikan taktik dengan lawan yang dihadapi. Tim-tim besar yang dominan, seperti katakanlah, Barcelona, Real Madrid, dan Manchester City saat ini, tidak merasa perlu untuk melakukan ini.
Namun, bagi klub-klub yang terhitung selevel, atau klub dengan materi pemain yang tidak sedalam lawannya, wajib melakukan adaptasi taktik ini. Memaksakan diri untuk all-out menyerang sesuai filosofi ketika melawan tim dengan kualitas skuat yang lebih dalam, tentu bukan keputusan yang bijak. Begitu juga dengan menerapkan lini pertahanan yang tinggi ketika tahu tim lawan memiliki penyerang dengan kecepatan lari yang kencang.
Adaptasi taktik tentu membutuhkan analisis yang dalam mengenai kekuatan lawan. Namun, jika sudah memiliki data, namun sang manajer bebal untuk menyesuaikan, maka tak heran jika klubnya tidak mampu mengimbangi lawan.
Apa yang dilakukan Mourinho kala melawan Liverpool adalah contoh yang benar bagaimana melakukan adaptasi terhadap kekuatan lawan. Tahu bahwa Liverpool memiliki pelari kencang, serta begitu kuat ketika bermain di Anfield, Mourinho mengatur timnya sedemikian rupa, dan berhasil mencuri poin dari Merseyside. Berlawanan dengan, lagi-lagi, Wenger, yang pulang dengan malu dari Anfield setelah mendapati tim asuhannya dihancurkan dengan skor 4-0. Arsenal sepertinya tidak menyadari bahwa lini depan Liverpool saat itu diperkuat oleh Salah, Firmino, dan Sadio Mane, para jago dribel dan memiliki kecepatan yang mumpuni. Arsenal bermain terbuka, dengan lini pertahanan yang tinggi. Alhasil, dengan mudah trio Liverpool tersebut mengobrak-abrik Sead Kolasinac dan kawan-kawan di lini belakang.
Memang, memiliki satu ciri khas sendiri dapat menjadi identitas dari sang manajer serta timnya sendiri. Meskipun begitu, jika ego terlalu tinggi untuk sekadar mengutak-atik taktik, maka dapat dikatakan manajer tersebut bukanlah manajer top. Yang jelas adalah, sepak bola tidak bisa dimenangkan, jika sang manajer tak mau untuk mengubah skemanya, menyesuaikan dengan kelebihan dan kekurangan yang dimiliki tim sendiri dan tim lawan.
Author: Ganesha Arif Lesmana (@ganesharif)
Penggemar sepak bola dan basket