Eropa Inggris

Apakah Arsene Wenger Sudah Mati Rasa?

Kekalahan dari Watford (15/10) terasa lebih menyakitkan dibandingkan segala kekalahan-kekalahan Arsenal di paruh awal musim ini. Uniknya, kekalahan dari tim yang sama di paruh akhir musim lalu, yang membuat posisi Arsene Wenger sebagai pelatih kembali digoyang. Sebuah kebetulan yang menyedihkan?

Musim ini, Arsenal sudah kalah dari Stoke City dan Liverpool. Dua kekalahan, yang tentu saja megesalkan, masih lebih bisa “diterima” ketimbang ketika kalah tipis dari Watford. Kekalahan dari Warford menunjukkan semua kelemahan Arsenal, terutama penyakit menahun yang seperti tak ada jalan solusinya.

Ketika kalah dari Stoke dan Liverpool, skuat Meriam London masih bisa memberikan perlawanan. Dan yang paling penting, dari dua kekalahan tersebut, Arsenal tahu apa yang perlu dilakukan ketika tengah tertinggal. Sangat menyedihkan ketika sudah kalah, sekaligus kehilangan jati diri sebagai manusia yang bertarung di sebuah kompetisi.

Saya menyebutnya sebagai penyakit menahun, yang bersemanyam di tubuh lelaki renta keras kepala, yang enggan dibawa berobat karena takut penyakitnya diketahui banyak orang. Dan yang lebih menyedihkan, si lelaki renta ini seperti tak bisa lagi merasakan apa yang salah dengan tubuhnya. Apakah ia sudah mati rasa?

Soal daya juang

Sudah sejak beberapa tahun terakhir, anggapan bahwa Arsenal bukan skuat yang tangguh terbangun dengan sempurna. The Gunners bisa bermain cantik, ketika melawan tim yang levelnya jauh di bawah mereka. Namun ketika bertemu lawan yang sepadan, atau lebih kuat, Arsenal seperti anak balita yang dipermainkan oleh orang-orang dewasa.

Arsenal dapat dengan mudah dirisak oleh lawan yang bermain dengan determinasi tinggi. Arsenal akan dapat dengan mudah menurunkan lini pertahanannya ketika lelah dirisak. Sebuah aksi menutup diri, tak tahan dengan tekanan lawan, bahkan oleh mereka yang seharusnya bisa dikalahkan Arsenal.

Seperti ucapan Troy Deeney selepas mengalahkan Arsenal. Pemain asal Inggris ini menyebut bahwa skuat Arsenal seperti tak punya cojones, tak punya nyali. Deeney memandang pemain-pemain bertahan Arsenal sangat mudah digertak. Ketika mental sudah runtuh, Deeney menegaskan bahwa Watford dapat dengan mudah menekan Arsenal.

Deeney juga merujuk kepada aksi Wenger yang menyalahkan penalti kontroversial yang didapat Watford sebagai alasan kekalahan Arsenal. Wenger menyebutnya sebagai sebuah skandal. Jika merunut waktu ke belakang, Arsenal memang sering menderita penalti yang kontroversial. Namun masalahnya, ketika kalah, Wenger dapat dengan mudah menjadikannya sebagai satu-satunya sebab kekalahan Arsenal.

Wenger seperti alpa dengan jalannya babak pertama, dan situasi ketika Laurent Koscielny diterik keluar digantikan Rob Holding dan Mesut Özil masuk. Daya juang Arsenal seperti ambruk, tak lagi menunjukkan determinasi untuk memenangi pertandingan. Ingat, Koscielny ditarik sebelum penalti kontroverial itu terjadi.

Ketika Watford gentian terus menekan, Arsenal dapat dengan mudah menurunkan lini pertahanan. Sebuah aksi yang tidak bijak mengingat sejak saat itu, Arsenal kehilangan insiatif di lini tengah karena kalah jumlah pemain.

Mengapa justru mengganti Koscielny dengan Holding, alih-alih Jack Wilshere? Mengapa Wenger tak mau memperjuangkan kembali kendali lini tengah dan mencoba “bermain aman”? Sebuah sikap yang naif, yang selalu ia tunjukkan ketika situasi berubah tak menguntungkan. Aksi bingung yang dilakukan Wenger seperti menegaskan kata-kata Deenney: Arsenal tak punya nyali!

Konsistensi dan cara bermain

Terhitung kira-kira 10 tahun terakhir, Arsenal tak pernah konsisten di Liga Primer Inggris. Kelolosan ke Liga Champions sudah dianggap sebagai prestasi. Ketika tim-tim rival TENGAH melakukan revolusi dan performanya menurun, level Arsenal pun masih di bawah mereka. ketika tim-tim rival SELESAI melakukan revolusi, Arsenal semakin jauh tertinggal.

Level yang dimaksud bukan hasil kemenangan atas rival ketika saling bertemu. Tetapi, level yang dimaksud adalah daya tahan menghadapi kompetisi yang panjang. Chelsea musim lalu misalnya, ketika hasil buruk membuat mereka dapat langsung berbenah, mengubah skema, dan pendekatan cara bermain.

Chelsea hanya butuh paruh awal musim untuk mengidentifikasi masalah dan memperbaikinya. Wenger membutuhkan 10 tahun untuk BERANI MENCOBA skema yang benar-benar baru bagi dirinya. Perbedaan yang menggambarkan kekerasan kepala mantan pelatih AS Monaco tersebut. Sebuah gambaran menyedihkan bahwa inkonsistensi seperti disambut dan dirayakan.

Gejala tersebut pun merambat ke cara bermain Arsenal. Ketika tak stabil sebagai tim, tak disiplin menjaga ruang ketika transisi bertahan, Wenger tak melakukan perubahan. Ia bertahan dengan “cara bermain yang sama”, ketika tengah mencoba “skema baru”. Cara bermain yang sama? Ya, cara bermain yang penuh ketidakdisiplinan dan memberikan ruang kepada lawan seluas-luasnya.

Apakah Wenger tidak sakit hati melihat timnya sendiri bermain seperti ini selama BERTAHUN-TAHUN? Apakah titik rasa sakit di dalam dirinya sudah mati? Apakah bangunan logika di dalam dirinya sudah tergusur sepenuhnya oleh harga diri yang terlalu sundul langit?

Ya, Wenger semakin tinggi hati, keras hati. Pembaca masih ingat salah satu pernyataan Wenger setelah kalah oleh Watford di paruh akhir musim lalu terkait kontrak baru? Wenger berkata bahwa ia tak mau memperpanjang kontraknya bersama Arsenal, jika ia merasa tak dicintai dan diinginkan lagi. Lelaki tua itu tengah merajuk.

Yang terjadi justru Wenger menyandera masa depan Arsenal dengan memperpanjang kontraknya. Wenger menyandera masa depan Arsenal dengan gembok berlogo inkonsistensi.

Melihat Arsenal bermain dengan tingkah buruk yang identik, selama puluhan tahun, Wenger seperti tak mau membuka dirinya untuk perubahan. Kekalahan yang identik, lagi dan lagi, seperti tak pernah menyentuh syaraf niat di dalam dirinya untuk segera berbenah.

Melihat fakta tersebut, tentu timbul pertanyaan, apakah Wenger sudah mati rasa? Ia seperti orgasme dengan segala “siksaan” ke diri sendiri. Mengapa, Arsene?

Author: Yamadipati Seno (@arsenalskitchen)
Koki Arsenal’s Kitchen