Dunia Lainnya

14 Oktober, Berpulangnya Sang Penyihir

Pada Piala Dunia 2002 yang diselenggarakan di Korea Selatan dan Jepang, tim nasional Prancis datang sebagai salah satu unggulan utama. Hal ini dikarenakan status juara bertahan yang mereka sandang plus keberadaan pemain-pemain bintang nan hebat dalam diri Fabien Barthez, Youri Djorkaeff, Lilian Thuram, dan Zinedine Zidane.

Namun seperti yang kerap disinggung banyak pihak, sepak bola bukan matematika yang segalanya serba pasti. Sepak bola memiliki banyak faktor kejutan yang tak rasional dan membuat siapa saja membelalakkan mata. Kondisi seperti ini pula yang dialami tim Ayam Jantan saat mereka memulai kampanyenya di Piala Dunia 2002.

Bertempat di Stadion Seoul, Prancis yang tergabung di Grup A bersua tim debutan asal Afrika, Senegal, pada partai pembuka kejuaraan tersebut. Sejumlah pengamat menyebut dengan penuh keyakinan jika pertandingan ini akan berjalan mudah untuk Zidane dan kawan-kawan.

Namun seperti yang sama-sama kita ketahui, laga yang dihelat pada tanggal 31 Mei 2002 itu berjalan rumit bagi anak asuh Roger Lemerre. Mereka kesulitan mencetak gol walau punya banyak peluang emas.

Sampai akhirnya, ketidakmampuan Prancis mengonversi peluang yang mereka dapatkan dihukum tuntas oleh Senegal pada menit ke-30. Pergerakan El Hadji Diouf di area kanan pertahanan Prancis tak bisa diantisipasi barisan belakang Les Bleus. Penyerang bernomor punggung 11 tersebut lantas mengirim umpan ke depan gawang Prancis yang sukses dimanfaatkan oleh Papa Bouba Diop untuk mengubah papan skor.

Sial buat Prancis, gol Diop itu tak berhasil mereka samakan hingga wasit Ali Bujsaim dari Uni Emirat Arab meniup peluit panjang. Les Bleus pun harus menerima kekalahan mengejutkan itu dengan lapang dada sementara Senegal justru berpesta dengan pencapaian apik tersebut.

Akan tetapi, kejutan dari Senegal tidak berhenti sampai di situ karena pada laga-laga selanjutnya, performa prima tetap sanggup mereka tunjukkan. Denmark dan Uruguay yang menjadi rival di Grup A berhasil mereka tahan imbang dengan skor 1-1 serta 3-3.

Mengoleksi lima poin, Diouf dan kolega duduk sebagai runner-up Grup A di bawah Denmark serta berhak lolos ke fase 16 besar. Bagi siapa pun, penampilan cemerlang Singa Teranga ini jelas tak terduga.

Terlebih, ketika mentas di 16 besar melawan Swedia, Senegal kembali menghadirkan cerita indah tak terperi. Gol cepat Henrik Larsson di menit ke-11 berhasil disamakan oleh Henri Camara pada menit ke-37. Skor imbang 1-1 itu bertahan sampai waktu normal habis.

Pada babak perpanjangan waktu, usaha yang dipelihatkan Senegal ternyata lebih keras ketimbang Swedia. Keadaan itu pula yang akhirnya membuat Camara kembali mencatatkan namanya di papan skor usai menjebol gawang Blågult dengan golden goal di menit ke-104. Singa Teranga pun berhak lolos ke perempat-final.

Berhadapan dengan Turki di babak 8 besar, dongeng indah yang ditorehkan Senegal di tanah Asia akhirnya tamat. Golden goal Ilhan Mansiz di menit ke-94 menyudahi perlawanan heroik Diouf dan kawan-kawan. Meski begitu, kisah gemilang yang Senegal catat di Piala Dunia 2002 tak akan lekang oleh zaman dan bakal diingat sebagai salah satu momen terbaik di kancah sepak bola.

Selain para pemain, ada satu sosok yang namanya melambung karena prestasi tersebut. Dialah Bruno Metsu, pelatih berkebangsaan Prancis yang menjadi nakhoda Senegal di Piala Dunia perdananya itu. Performa yang ditunjukkan Senegal kala itu sungguh memunculkan kesan impresif di benak pencinta sepak bola.

Sebelum menangani Senegal, nama Metsu tentu kurang dikenal publik karena awal karier kepelatihannya lebih banyak dihabiskan bersama klub-klub papan bawah di Liga Prancis, mulai dari Lille, Sedan, hingga Valenciennes.

Tapi di tahun 2000, Metsu mengambil keputusan yang agak mengejutkan dengan memilih untuk berpetualang di belantara Afrika. Guinea menjadi negara pertama yang dibesutnya kala itu. Namun nahas, sejumlah permasalahan yang ditemuinya di sana membuat Metsu tak betah dan memilih untuk menyudahi masa baktinya secara prematur.

Selepas itu, Metsu mendapat tawaran dari asosiasi sepak bola Senegal (FSF) untuk menukangi Singa Teranga. Sadar bahwa Senegal bukan kekuatan utama di kancah sepak bola Afrika, satu-satunya janji yang diucapkan Metsu kepada FSF hanyalah membawa tim barunya itu memainkan sepak bola yang lebih baik.

Meski kerap dilanda masalah kedisplinan pemain, Metsu sukses mengubah wajah sepak bola Senegal di mata dunia. Selain mengantar Singa Teranga menembus perempat-final Piala Dunia 2002, pelatih yang lahir pada 28 Januari 1954 itu juga sanggup membawa Diouf dan kolega lolos ke babak final Piala Afrika 2002. Sayangnya, di partai penentuan mereka harus mengakui keunggulan Kamerun via adu penalti dengan skor 3-2.

Berkat pencapaian-pencapaian hebatnya bersama Senegal, Metsu dianggap sebagai pahlawan oleh masyarakat dari negeri yang terletak di bagian barat Afrika tersebut. Akan tetapi, perjalanan karier lelaki yang dijuluki Si Penyihir Putih oleh media-media lokal itu juga diakhirinya pada tahun 2002.

Dirinya lantas mencoba peruntungan dengan melatih beberapa klub dan tim nasional di kawasan semenanjung Arab, utamanya di Arab Saudi, Qatar, dan Uni Emirat Arab. Beberapa prestasi pun berhasil diukirnya di sana seperti menjuarai Liga Uni Emirat Arab dan Liga Champions Asia bareng Al Alin, jadi kampiun Liga Qatar bersama Al Gharafa, dan meraih gelar Piala Teluk dengan timnas Uni Emirat Arab.

Karier Metsu yang cukup gemilang sebagai pelatih harus disudahinya medio Oktober 2012 silam. Hanya beberapa bulan usai ditunjuk menjadi pelatih Al Wasl, Metsu didiagnosa menderita kanker usus besar yang mengharuskannya untuk istirahat total dan menjalani sejumlah perawatan.

Usai berjuang selama hampir satu tahun, tepat pada 14 Oktober 2013, pria berambut gondrong yang telah menjadi mualaf dan punya nama lain Abdou Karim Metsu tersebut menghembuskan nafas terakhirnya di sebuah klinik yang ada di Coudekerque-Village, kota kelahirannya di Prancis bagian utara.

Kepergian Metsu ditangisi oleh masyarakat Senegal, sebab mereka merasa telah kehilangan salah satu pahlawan terbaiknya. Kala prosesi pemakamannya dilakukan di ibu kota Senegal, Dakar, ada ribuan pelayat yang hadir termasuk Presiden Senegal dan para mantan anak asuhnya di timnas Singa Teranga.

Dalam percaturan sepak bola dunia, nama Metsu tentu tak seharum Carlo Ancelotti, Pep Guardiola, ataupun Jose Mourinho. Namun segala pencapaian yang berhasil dibukukannya bersama Senegal, telah menghadirkan satu kesan yang luar biasa di dalam memori penikmat sepak bola.

Beristirahatlah dengan tenang, Penyihir Putih.

Author: Budi Windekind (@Windekind_Budi)
Interista gaek yang tak hanya menggemari sepak bola tapi juga american football, balap, basket hingga gulat profesional