Dunia Afrika

Kesempatan Kamerun Menjadi Raksasa Afrika Sekali Lagi

Dua negara sudah memastikan tempat mereka di partai puncak Piala Afrika edisi tahun 2017 ini. Mesir dan Kamerun mencapai partai final setelah melalui proses yang panjang dan sulit. Banyak pihak memang lebih terkesan dengan upaya Mesir apalagi melihat penampilan luar biasa kiper senior mereka, Essam El-Hadary, yang sudah berusia 40 tahun namun tetap saja mampu mengawal gawang timnya dengan baik. Tapi cerita sang penantang Kamerun pun tidak kalah herois.

Kamerun yang berlaga di Piala Afrika edisi kali ini dianggap sebagai generasi yang terburuk. Delapan penggawa utama tim berjuluk Indomitable Lions tersebut hanya beberapa saat sebelum turnamen di mulai tiba-tiba urung berlaga dengan alasan masing-masing. Tapi kebanyakan menyebut diri mereka tidak terlalu fit untuk berlaga membela negaranya di Piala Afrika. Para pemain tersebut adalah Joel Matip (Liverpool), Alain Nyom (West Brom), Eric Maxim Coupo-Mouting (Schalke 04), Guy N’Dy Assembe (Nancy), Maxim Poundje (Bourdeaux), Andre-Frank Zambo Anguissa (Marseille), Ibrahim Amadou (Lille), dan Andre Onana yang kini memperkuat Ajax Amsterdam.

Pelatih Kamerun, Hugo Bross pusing tujuh keliling karena fenomena ini. Apalagi penyerang Maxim Coupo-Mouting adalah juru gedor utama negara setelah Samuel Eto’o memutuskan untuk pensiun. Keadaan semakin sulit setelah Auerelien Chedjou dan Frank Bedimo tidak bisa dibawa ke Gabon untuk memperkuat negara juara empat kali Piala Afrika ini. Terpaksa, pelatih asal Belgia tersebut memanggil banyak pemain yang minim pengalaman. Dan beberapa diantara mereka masih berusia muda.

Diantara nama-nama yang dipanggil oleh Bross kebanyakan sangat asing bahkan sangat sulit dieja. Mungkin hanya Nicolas Nkolou dan penyerang Vincent Aboubakar yang familiar di telinga publik sepak bola. Apalagi yang terbiasa bermain game simulasi, Football Manager.

Maklum kedua pemain ini memang tercatat memiliki caps paling banyak diantara para pemain lain. Keduanya sudah bermain lebih dari 40 kali untuk timnas Kamerun. Rataan caps pemain lain hanya mencapai 9,7 caps. Tentu hal ini menjadi sesuatu yang mengerikan untuk tim sekelas Kamerun yang pernah digdaya dengan generasi pemain hebat seperti Samuel Eto’o.

Banyak pihak memperkirakan bahwa Kamerun akan terhempas dengan mudah di Piala Afrika edisi kali ini. Apalagi mereka berada satu grup dengan tim tuan rumah Gabon dan tim kuda hitam, Burkina Faso. Tetapi justru yang terjadi adalah Kamerun mampu lolos dari fase grup, bahkan membuat tim tuan rumah Gabon tersingkir. Kamerun mengikuti Burkina Faso yang sudah terlebih dahulu melaju ke babak perempat final.

Perjuangan terus berlanjut. Kamerun sampai mesti bertarung hingga babak adu penalti untuk menaklukan raksasa Afrika lain, Senegal. Semakin heroik cerita perjalanan Kamerun di Piala Afrika kali ini karena eksekusi penalti Senegal yang berhasil dimentahkan oleh kiper Fabrice Ondoa berasal dari bintang tim lawan, Sadio Mane. Langkah Kamerun semakin tidak terbendung ketika mereka berhasil mengalahkan Ghana di partai semifinal dengan skor 2-0. Dan mereka melenggang ke partai final Piala Afrika edisi kali ini menantang Mesir.

Banyak yang menyebutkan bahwa ditinggal para pemain bintang mereka justru menjadi berkah tersendiri. Tim muda Kamerun bermain tanpa ego pemain bintang dan penuh kebanggaan ketika membela negara mereka. Karena setidaknya hal itulah yang memang ingin diterapkan oleh sang pelatih, Hugo Bross, ketika ia pertama kali ditunjuk sebagai pelatih tim nasional negara tersebut pada tahun 2016 lalu.

“Ketika saya pertama datang, saya terpaksa memasukan pemain baru karena ada hampir 10 pemain pergi. Kemudian saya membuat beberapa peraturan internal dan juga soal kedisiplinan. Kami mencoba mengubah mental para pemain. Kini mereka sangat termotivasi dan sangat bangga untuk bertanding mewakili negara mereka. Terlebih lagi semua bergerak solid secara tim. Itu memberikan hasil positif kepada kami,” ujar Bross.

Pujian juga datang dari sang legenda, Roger Milla. Ia menyebutkan bahwa tidak difavoritkan justru menjadi keuntungan tersendiri. Apalagi sebenarnya tim ini dipersiapkan untuk menghadapi Piala Dunia tahun 2018 nanti. Dan Piala Afrika edisi tahun 2019 yang akan digelar di tanah air mereka sendiri.

“Saya pikir awalnya kami bukanlah favorit karena kami adalah tim yang sangat muda,” ungkap Milla. “Kami mempersiapkan tim ini untuk tahun 2018 dan 2019. Namun kini kami sudah mencapai partai final, dan kami akan mencoba untuk menang dan menjadi juara.”

Apabila pada akhirnya Kamerun gagal untuk menambah koleksi gelar juara mereka. Tentu yang patut diingat adalah ada sebuah tim muda yang siap meledak dan menaklukan Afrika sekali lagi. Bahkan apabila diperbolehkan bermimpi lebih tinggi, mereka tentunya ingin mencapai prestasi terbaik di  Piala Dunia 2018 nanti.

Author: Aun Rahman (@aunrrahman )