Sepak bola memang permainan antara sebelas orang melawan sebelas orang di lapangan. Dengan bola dan gawang sebagai sasaran, tapi masih ada orang-orang lain di luar lapangan yang sama-sama berjuang demi satu tujuan. Kemenangan.
Jika nomor 9 identik dengan penyerang tajam, nomor 10 identik dengan pemain dengan kemampuan di atas rata-rata, sedangkan nomor 7 dan 11 adalah sayap cepat dan lincah, maka nomor 12 identik dengan suporter setia.
Di banyak klub, sebagai contoh Persija Jakarta, nomor 12 tidak pernah lagi digunakan oleh mereka yang berjuang di lapangan. Di beberapa klub lain nomor 12 juga telah didedikasikan khusus untuk suporter mereka. Orang-orang yang sama-sama berjuang demi kemenangan dari balik pagar-pagar tribun stadion.
Wajar memang bila suporter mendapat kehormatan menjadi pemain ke-12. Perjuangan mereka untuk menggapai kemenangan tidak kalah penting dari sebelas pemain di lapangan. Mungkin apa yang dilakukan pemain ke-12 tidak akan bisa menentukan hasil akhir permainan, tapi tidak jarang hasil akhir permainan dipengaruhi oleh apa yang mereka lakukan.
Saat pemain bermandi peluh berlari ke sana-ke mari menggiring bola ke arah gawang, mereka yang bediri di balik pagar juga tidak kalah lelah menjalankan peran. Gerakan atraktif hingga suara lantang dikumandangkan demi memberi energi kemenangan. Saat pemain di lapangan rela berjuang hingga bercururan darah, pemain ke-12 bahkan tidak jarang harus bertaruh nyawa.
Baca juga: Suporter adalah Nyawa, Bukan Pemburu Nyawa
Bagi pemain profesional sepak bola adalah pekerjaan. Perjuangan mereka di lapangan memanglah perjuangan untuk hidup mereka. Berbeda dengan pemain ke-12 yang tidak jarang jusru kehilangan pekerjaan karena sepak bola. Tidak jarang kehidupan mereka korbankan.
Bukan hanya waktu dan tenaga, uang tidak sedikit sering kali dikeluarkan pemain ke-12 untuk berjuang bersama-sama demi kebanggaan. Mengutip perkataan Anies Baswedan yang menyebut tidak ada yang lebih ikhlas dari suporter sepak bola, apapun mereka lakukan hingga perjalanan jauh ditempuh dengan sumber daya pribadinya.
Terus bernyanyi dan memberi dukungan positif saat 90 menit permainan, dan menemani ke mana pun klub kebanggaan berlaga demi janji setia tidak akan membiarkannya berjuang sendirian, adalah takdir pemain ke-12.
Sayangnya, meski terbiasa sama-sama berada di balik pagar tribun yang sama, ada saja mereka yang alih-alih memberi dukungan pada kebanggaan tapi lebih sibuk memberi teror pada lawan. Bukan semangat yang dinyanyikan lantang, lebih sering hinaan yang mereka teriakan.
Tidak sebatas itu saja, hingga keluar pertandingan teror-teror itu tidak jarang melampaui batas. Dari mulai ujaran kebencian yang bertebaran, hingga penyerang banyak dilakukan.
Baca juga: 120 Menit di Surajaya, Salah Siapa?
Padalah sejatinya energi positif yang dikirim dari balik pagar lah yang menguatkan sebelas pemain di lapangan dan secara otomatis akan melemahkan lawan, bukan sebaliknya.
Rasanya orang-orang seperti itu tidaklah pantas disebut pemain ke-12, karena pemain ke-12 adalah suporter yang datang dengan kecintaan dan berangkat dari ketulusan. Bukan mereka yang digerakkan oleh kebencian.
Sebab, takdir pemain ke-12 adalah terus bernyanyi dan memberi dukungan positif, serta menemani ke mana pun kebanggaan berlaga, demi janji setia tidak akan membiarkannya berjuang sendirian.