Kolom

Suporter adalah Nyawa, Bukan Pemburu Nyawa

Seminggu sekali, mereka meninggalkan rumah,
kota ini lenyap, rutinitasnya terlupakan.
Semua yang ada hanyalah bait suci, di stadion.

Di sana, mereka mengguncang saputangannya, menelan air liurnya, menelan empedunya, memakan topinya, membisikkan doa dan kutukan lalu tiba-tiba melepaskan lengkingan,
teriak, lalu melompat seperti kutu sambil memeluk orang asing di sampingnya.

Seminggu sekali, di stadion, hari Minggu sama melankolisnya dengan Rabu Abu.

Eduardo Galeano tak hanya piawai menulis buku, tapi ia jagonya dalam hal menangkap atmosfer stadion lewat kata-katanya. Ketidakmampuannya bermain sepak bola dengan baik plus fanatismenya yang tinggi terhadap olahraga populer Amerika Latin ini, membuat esais Uruguay ini menggambarkan sepak bola sebagai sesuatu yang benar-benar hidup.

“Mereka menelan empedunya, memakan topinya”, adalah jenis kata-kata yang akan sering kamu temukan dalam karya terbaiknya, Soccer In Sun and Shadow. Galeano, saya rasa, yang pertama menciptakan frasa bahwa pekerjaan menjaga gawang adalah perihal kesunyian. Frasa yang kemudian populer dan direproduksi beberapa penulis dan jurnalis sepak bola bahwa posisi kiper sakral tak hanya karena ia menjaga nyawa dari timnya, namun juga karena ia satu-satunya dari sebelas pemain, yang bertempur dengan kesepian.

Penggalan kalimat di awal artikel ini adalah bagaimana kemudian Galeano menuliskan peran suporter bagi sebuah pertandingan sepak bola, terlebih khusus, bagi sebuah kesebelasan. Suporter hadir sebagai nyawa, bukan pemburu nyawa. Kamu akan mudah menemukan bukti dari kalimat Galeano di hidup sehari-hari. 6 tahun di Malang, saya sudah hafal kenapa kemudian jalanan mendadak sepi dan denyut nadi Kota Apel mendadak cenderung melambat. Itu hari di mana Arema bermain.

Kendaraan bermotor memang masih ada, namun tak ramai. Hiruk-pikuk lalu lintas dan bisingnya deru mesin masih menghiasi jalanan kota sejuk itu, namun denyutnya beralih menuju bait suci yang mereka agungkan: stadion. Mereka ke stadion, seperti kata Galeano, untuk mengguncang saputangannya, menelan empedunya, memakan topinya, hingga merapal deretan doa hingga kutukan demi sesuatu yang melekat pada sebagian besar diri mereka.

Untuk konteks ini, Galeano mencontohkan dengan bernas lewat kalimat di dalam buku yang sama, “Saya menemui mereka di jalan dan jarang mereka menyebut ‘kesebelasan saya bermain hari ini’, tapi mereka berkata, ‘kami bermain hari ini’. Mereka tahu mereka pemain nomor dua belas, sama seperti sebelas pemain lain percaya bahwa bermain tanpa ‘si nomor dua belas’ ibarat menari tanpa musik.”

Kalau junjungan saya, Eduardo Galeano, sudah bernubuat seperti itu, siapa saya berani membantah?

Bagi Galeano, suporter adalah nyawa dari sepak bola. Mereka yang, tak hanya datang ke stadion dan membeli tiket, tapi juga memborong pernak-pernik yang dijual oleh klub, mengoleksi seragam tempur mereka tiap musimnya, mengumpat marah kepada tembok dan manusia lain kala tim mereka kalah, hingga merutuki nasib yang terlampau brengsek tiap kali trofi juara melayang dari jangkauan kesebelasan tercinta.

Saya pernah beberapa kali masuk ke Stadion Gajayana di Malang, ketika tak satupun penonton ada di tribun. Sebuah suasana yang lagi-lagi dituliskan Galeano dengan syahdu, “Ketika pertandingan selesai, matahari terbenam begitupun dengan kehadiran para suporter. Bayangan mereka jatuh seiring stadion yang mulai senyap. Lampu mulai padam, stadion dibiarkan kosong, dan suporter kembali pada hidup mereka. Kembali menjadi ‘aku’, bukan ‘kami’.”

Apa yang bisa kamu tangkap dari kalimat yang terasa sendu di atas? Kesedihan? Kehilangan? Melankolia?

Ketiganya mungkin benar, karena seperti mimpi, kata-kata pun kerap multitafsir. Tapi ini menandakan satu hal penting, yang kemudian ditekankan oleh Galeano di kalimat, “Kembali menjadi ‘aku’, bukan ‘kami’.”

Karena tepat ketika peluit akhir berbunyi, segala kebencian, umpatan kekesalan pada suporter lawan, rasa jengah akan kepemimpinan wasit, pekik kemarahan akan performa buruk sebelas perwakilan mereka di atas lapangan, sirna seiring denyut nadi di stadion yang melambat dan berangsur lenyap. Suporter pulang, menyongsong matahari yang terbenam, kembali dalam raga mereka sebagai manusia biasa. Kembali ke rumah, menjemput kehangatan keluarga mereka yang menanti cerita dari sembilan puluh menit yang agung di tribun.

Tak perlu ada nyawa yang hilang di bait suci, karena ribuan orang tersebut adalah ‘nyawa’ dari rumah agung tempat mereka melantunkan beragam doa dan kutukan bagi sepak bola. Permainan yang tak hanya menghidupi raga mereka, tapi juga memenuhi jiwa mereka dengan kebanggaan yang tak melulu bisa ditakar oleh besarnya kontrak sponsor sebuah tim.

Disclaimer: Judul editorial meminjam kutipan dari caption Instagram seorang kawan di akun @gunanski25, yang saya pakai atas seizin beliau

Isidorus Rio Turangga – Editor Football Tribe Indonesia