Suara Pembaca

Bahasa Sebagai Pemicu Gesekan Antar-Suporter di Yogyakarta

Sikap saling ejek antar-kelompok suporter sebenarnya sudah menjadi hal yang jamak terjadi di sepak bola Indonesia. Salah satu konflik antar-suporter yang menarik untuk dibahas adalah konflik antara PSIM Yogyakarta dengan PSS Sleman.

Keduanya memiliki jumlah massa yang sama–sama besar dan menahbiskan dirinya sebagai tim yang terbaik di Jogja. PSIM datang dari wilayah kotamadya terkenal dengan kelompok suporternya yang bernama Brajamusti (Brayat Jogja Mataram Utama Sejati), sementara datang dari wilayah kabupaten Sleman, PSS dengan pendukung setianya, Slemania dan BCS (Brigata Curva Sud).

Sebenarnya konflik antara kedua kelompok suporter di Jogja ini pertama kali terjadi di Sleman pada 2001. Ditengarai oleh sikap suporter Sleman yang mengusir kelompok suporter dari Mataram (PSIM) dan melempari kelompok tersebut sehingga memicu konflik–konflik lainnya antara kedua kelompok tersebut.

Menurut pendapat Ibn Khaldun, konflik merupakan sesuatu yang tidak berdiri sendiri, artinya konflik mempunyai sifat kausalitas di sampingnya, begitu pula dengan konflik yang dialami oleh kedua kelompok suporter ini.

Baca juga: Wahai Suporter, Proteslah dengan Cerdas!

Salah satu faktor paling mendasar yang melatar belakangi konflik ini ialah strata sosial dari kedua tim yang berbeda. Bila dilihat dari segi letak munculnya tim PSIM, bisa disebut sebagai perlambang dari keningratan kraton, sedangkan PSS yang datang dari lingkup kabupaten, bisa menjadi lambang semangat masyarakat di luar lingkungan kraton.

Faktor lain sebagai pemanas laga kedua tim adalah adanya istilah khusus bagi pertandingan kedua tim ini yang disebut derbi. Tentu saja pemberian istilah ini menjadikan kedua tim harus saling “membunuh” ketika berlaga, sebagai pembuktian siapa tim paling kuat di Jogja.

Dalam derbi ini, sedikit kesalahan tentu saja dapat menyulut kerusuhan antar-suporter yang mendampingi timnya berlaga,. Itu terbukti dari pertandingan yang digelar di Stadion Maguwoharjo pada tanggal 29 April 2014. Semenjak awal memang atmosfer pertandingan yang mempertemukan kedua tim terasa mencekam akibat nyanyian–nyanyian dari kedua kelompok, yang menunjukan kebenciannya antar satu kelompok dan lainnya.

Lirik-lirik dalam nyanyian tersebut biasanya berisi kata-kata yang dianggap terlalu kasar seperti Brajamusti Asu (anjing), Slemania dibunuh saja, atau kata-kata lain yang lebih kasar kadang tercipta spontan saat pertandingan sedang berlangsung.

Baca juga: Tentang Fanatisme Fans Sepak Bola

Pada dasarnya kedua kelompok suporter ini memiliki lagu-lagu dengan lirik yang santun dan tujuannya menjatuhkan mental lawan, adalah melalui kreativitas yang dimiliki oleh masing-masing kelompok. Tapi memang tak bisa dimungkiri bahwa terkadang kata-kata tersebut sengaja dimunculkan oleh beberapa oknum yang tidak bertanggung jawab.

Dampaknya adalah memicu konflik yang lebih besar lagi antara kedua kelompok suporter ini. Bila sudah terjadi, tentu tugas pihak keamanan yang menjadi lebih berat, sebab konflik yang ada bukan antar-kelompok dengan individu melainkan kelompok dengan kelompok.

Selain melalui nyanyian-nyanyian, konflik antara kedua kelompok suporter ini dapat dilihat melalui beberapa mural atau coretan-coretan vandal di lingkungan stadion maupun titik-titik yang dianggap strategis oleh kedua kubu tersebut.

Bahkan tak jarang bagi pengguna media sosial dapat menjumpai ejekan-ejekan antara kedua suporter ini, seperti data yang penulis dapat melalui salah satu akun Instagram yang lebih condong mendukung kesebelasan PSS Sleman.

Baca juga: Persepsi ‘Harus Menang’ yang Menyesatkan

Dalam unggahan akun tersebut, ada sebuah kalimat yang berbunyi “mendukung sebuah tim kebanggaan itu dari hati, bukan warisan simbah”. Kalimat itu jelas ditujukan kepada kelompok Brajamusti, sebab tim PSIM yang berdiri pada tahun 1929 mempunyai kelompok suporter yang lebih tua pula, dan menurut sebuah tradisi sepak bola bahwa seorang ayah akan secara turun temurun mewariskan semangat dan kecintaannya pada sebuah tim kepada generasi selanjutnya.

Ada pula beberapa bentuk yang lebih kasar seperti sebuah nyanyian yang khusus ditunjukan untuk memancing kerusuhan oleh pihak pendukung Super Elang Jawa yang liriknya sebagai berikut:

“Slemania beraksi, walau panas terik matahari, berjuta kali super Elja beraksi bagiku itu langkah pasti. Hari – hari esok adalah milik kita PSS jadi juara Ligina, gegap gempita anak Slemania demi kejayaan Yogyakarta, marilah kawan, mari kita nyanyikan, sebuah lagu… Brajamusti Asu!”

Dari lirik di atas dapat dianalisis bahwa selain menyemangati pemain di lapangan, para pendukung tidak lupa untuk tetap menebar teror bagi kelompok lain atau menjatuhkan mental para pemain lawan di lapangan agar lebih mudah untuk dibobol gawangnya oleh tim kebanggaanya, juga sebagai pemancing emosi kelompok suporter lawan dalam memulai sebuah tindakan kerusuhan.

Baca juga: Kalau Karbitan Memangnya Kenapa?

Penggunaan bahasa yang sederhana dan gamblang ditujukan untuk membuat seisi stadion bergemuruh dengan nyanyian–nyanyian yang mampu membakar semangat juga dengan bumbu–bumbu seperti lirik nyanyian di atas menjadikan sebuah pertandingan sepak bola lebih menarik.

Bahasa sebagai salah satu unsur kebudayaan dalam ranah sepak bola terutama dalam konflik yang berkembang di dalamnya. Sebab secara sadar atau tidak, konflik yang terjadi antara kedua kelompok suporter di atas maupun kelompok–kelompok lain di Indonesia biasanya dengan mudah tersulut oleh penggunaan bahasa yang provokatif dari oknum-oknum.

Oleh sebab itu dalam perkembangannya, penggunaan bahasa yang lebih santun sangat ditekankan oleh kedua kelompok suporter ini. Misalnya pada kelompok Brigata Curva Sud, mereka membangun kekompakan di tribun dengan tujuan untuk membakar semangat bermain para penggawa tim Super Elang Jawa. Caranya dengan membuat nyanyian yang tidak menjatuhkan atau bernada rasis.

Itu dapat dirasakan saat ini ketika nyanyian–nyanyian dari kelompok BCS mampu membakar semangat para pemain maupun memukau setiap penonton yang datang menyaksikan PSS Sleman berlaga.

Baca juga: Bentrok Suporter, Kriminalitas Terbalut Rivalitas

Cara yang sama pun ditunjukan oleh Brajamusti. Mereka menciptakan banyak nyanyian dan menghilangkan nada-nada rasis dalam setiap aksinya mendukung kesebelasan yang didukungnya. Sebagai bentuk totalitas dalam memberikan dukungan kepada tim yang dibelanya, tanpa harus mencederai persatuan yang ada dan menjadi simbol di Jogja.

Dengan semangat tersebut, jelas bahwa sebenarnya munculnya nyanyian yang bersifat provokatif ini tidak datang dari keseluruhan kelompok, melainkan datang dari oknum-oknum yang tidak bertanggung jawab.

Kelompok suporter ini juga mengembangkan beberapa koreografi dalam mendukung timnya bertanding sebagai harapan dengan kreativitas yang mereka ciptakan membawa hasil yang baik bagi tim yang sedang bertanding.

Pada dasarnya bila melihat perkembangan zaman sekarang, tindakan-tindakan provokatif yang dilakukan untuk memecah belah hubungan antara kedua kelompok suporter ini sudah mulai berkurang, sebab masing–masing pihak sudah mulai meninggalkan cara-cara lamanya dalam bersaing dengan musuh bebuyutannya.

Meskipun belum sepenuhnya hilang, namun cara yang lebih baik ditunjukkan oleh kedua pihak dalam menjaga rivalitasnya di lapangan. Misalnya bersaing dalam hal kreativitas dukungan kepada tim kebanggaan masing–masing maupun dengan hal-hal yang lebih positif lainnya.

Baca juga: Sepak Bola Indonesia Harus Belajar dari Bulu Tangkis

Kini konflik-konflik yang terjadi kebanyakan datang dari para suporter yang baru mengenal atmosfer panas di antara keduanya, sehingga masih ada gesekan-gesekan yang terjadi meskipun sudah ada upaya untuk mempersatukan kedua belah pihak tersebut.

Dimulai dari jargon yang mulai di kampanyekan oleh beberapa orang untuk mempersatukan semua elemen suporter di Jogja, seperti adanya tagar yang menjadi viral di beberapa sosial media. Contohnya #penakseduluran yang berarti lebih nyaman menjadi saudara.

Ini menjadi contoh pendewasaan sikap dari kelompok masing–masing masing untuk kemajuan sepak bola di Jogja maupun tagar #1DIY1 yang menjadi semacam harapan bagi setiap kalangan suporter di kota Kota Gudeg agar untuk ke depannya konflik–konflik yang tidak diinginkan tidak lagi terulang.

Pertandingan hanya berlangsung 2 x 45 menit di atas lapangam, selebihnya semua adalah satu saudara yang berjuang bersama–sama dalam memajukan sepak bola Indonesia.

Baca juga: Klub Juga Harus Aktif Mengatur Tingkah Laku Suporternya

Mengutip salah satu pendiri kelompok Hooligans tim Chelsea FC, Headhunters, dalam karya Franklin Foer berjudul Memahami Dunia Lewat Sepak Bola, Alan Garrison mengajukan sebuah pertanyaan eksistensialis tentang hooliganisme sepak bola modern,

“Jika tawuran sepak bola tidak lagi terjadi di stadion, maka apakah hal itu bisa dikatakan sebagai tawuran sepak bola?”

Mungkin penambahan kutipan tersebut diharapkan menjadi refleksi bagi seluruh kelompok yang menamakan dirinya suporter sepak bola di Indonesia, yang masih sering berbuat kerusuhan di luar stadion dan menyadari bahwa yang dilakukannya tersebut bukanlah ciri seorang suporter sepak bola.

 

*Penulis bisa dijumpai di akun Twitter @kalarabu