Ada yang bilang bahwa kekalahan Arsenal dari Watford merupakan gambaran paling sahih perihal sosok Arsene Wenger. Kesalahan pengambilan keputusan seperti selalu mengiringi setiap kegagalan Wenger. Bukan karena lawan yang bermain begitu sempurna, melainkan Wenger yang gagal membaca jalannya pertandingan. Salah satu yang nampak adalah salah mengganti pemain.
Lengas, perih, kekalahan Arsenal hampir selalu diwarnai dengan kesalahan pergantian pemain. Dan yang lebih membuat dada sesak adalah pergantian tersebut bukan untuk keperluan pendekatan cara bermain yang berbeda. Pemain yang masuk tidak mengubah rencana A menjadi rencana B. Namun, mereka yang masuk hanya mencoba menjalankan rencana A dengan pemain yang berbeda dan berharap si pemain akan membuat perbedaan.
Jika dikerucutkan ke musim ini saja, di setiap kekalahan Arsenal, kesalahan itu selalu berulang. Dan untuk satu kasus, nampaknya, Wenger tidak memperhitungkan dampak pergantian pemainnya.
Misalnya ketika Theo Walcott masuk menggantikan Alexandre Lacazette, saat Arsenal dikalahkan Stoke City dengan skor 1-0. Sepanjang menit bermain, Walcott justru “terisolasi” di sisi kanan. Ketika mendapatkan bola, usaha yang nampak adalah usaha berlari melebar dan mencari ruang dan waktu untuk mengirim umpan silang.
Usaha yang tak salah, jika melihatnya di atas kertas saja. Masalahnya adalah, ketika lawan membuat lini pertahanan turun begitu dalam, umpan silang Walcott yang dilepaskan dari tepi garis dapat dengan mudah dibaca. Pun itu kalau Walcott mendapatkan bola dan kesempatan. Sepanjang laga, ia tak mendapatkan suplai bola yang memadai.
Mengapa? Karena masuknya Walcott mengubah cara bermain Arsenal. Lacazette memberikan dimensi yang berbeda, bahkan ketika ia bermain melebar. Pemain asal Prancis ini punya kejelian untuk menerobos barikade lawan. Aksi ini memberikan kesempatan bagi Arsenal untuk memainkan sepak bola satu sentuhan di depan kotak penalti lawan. Bermain lebih cair, Arsenal mendapatkan beberapa kesempatan untuk masuk kotak penalti.
Kekalahan kedua Arsenal diderita dari Liverpool dengan skor mencolok 4-0. Dalam laga ini, Wenger “memaksa” memainkan Alexis Sanchez yang belum sepenuhnya fit. Pelatih asal Prancis ini memutuskan mencadangkan Lacazette yang sebenarnya sudah bermain sangat baik ketika melawan Stoke City.
Hasilnya, Alexis tak bermain dengan ketajaman gerak yang diharapkan. Pemain asal Cile ini justru begitu mudah kehilangan penguasaan dan bahasa tubuhnya juga tak membantu. Pemain yang kontraknya akan berahir pada musim panas 2018 ini terlihat tidak menunjukkan determinasi yang dibutuhkan Arsenal ketika melawan tim yang satu level.
Wenger juga memasukkan Olivier Giroud di tengah usaha Arsenal mengejar defisit gol. Masalahnya adalah, Arsenal sering menderita oleh pressing yang ditunjukkan Liverpool. Serangan balik The Reds membuat sosok Giroud tak menguntungkan dan lebih seperti bermain untuk menggenapi 11 pemain saja. Arah pertandingan tak cocok untuk ciri permainannya.
Kombinasi kesalahan pengambilan keputusan dan pergantian pemain kembali disajikan Wenger ketika Arsenal kalah dari Watford. Kejutan dilakukan oleh Wenger dengan langsung memainkan Danny Welbeck, yang baru saja lepas dari cedera. Wenger justru mencadangkan Mesut Özil yang lebih dahulu pulih.
Yang terjadi kemudian bisa ditebak. Welbeck cedera lagi, dan kali ini bermasalah pada hamstring. Penyerang asal Inggris tersebut digantikan Özil, yang membutuhkan waktu lebih lama untuk “panas” karena baru saja sembuh dari cedera. Pendeknya waktu untu beradaptasi dengan laga, membuat Özil menjadi tidak maksimal.
Mengapa harus mencadangkan Özil dan memilih Welbeck yang sembuh belakangan? Apakah karena sentimen kontrak baru? Jika benar demikian, berarti sikap Wenger adalah sikap anak kecil, yang merajuk karena “mainan kesayangannya” direbut oleh orang lain.
Selain Welbeck, Wenger juga “memaksakan” Laurent Koscielny untuk segera bermain. Padahal, wakil kapten Arsenal tersebut belum tuntas menjalani program penyembuhan cedera Achilles. Jelas, tak ada yang menguntungkan dari sebuah pemaksaan. Koscielny tak bisa menyelesaikan laga dan digantikan Rob Holding.
Di sini, Wenger tak punya nyali untuk berinisiatif merebut kendali permainan. Ia memasukkan Holding yang kondisi jiwanya tidak stabil karena rentetan performa buruk dan Arsenal justru bertahan lebih dalam. Wenger tak punya nyali untuk memasukkan Jack Wilshere guna menambah jumlah pemain di lini tengah dan mencegah Watford di atas angin.
Dan puncaknya adalah ketika Giroud masuk menggantikan Lacazette. Arseblog berpendapat bahwa Lacazette memang tak bermain baik, namun memasukkan Giroud justru memperburuk keadaan. Arseblog menambahkan bahwa Giroud justru seperti bermain sebagai bek kanan tambahan, seiring Arsenal yang menarik diri dan takut dengan tekanan Watford.
Wenger hampir selalu memasukkan Giroud di paruh akhir pertandingan. Namun yang terlihat, Giroud bermain tanpa mengubah sesuatu, kecuali ketika melawan Leicester City. Selebihnya, menit bermain yang dinikmati Giroud hanya sebuah hadiah untuk pemain senior.
Wenger berusaha untuk membuat Giroud “bahagia” dengan memberinya menit bermain. Sebuah usaha yang muncul setelah Giroud memutuskan “bersetia” dengan Arsenal ketika menolak pendekatan Everton. Melawan Stoke, Liverpool, lalu Watford, menit bermain Giroud hanya sebuah usaha Wenger membuatnya tetap “berkeringat”.
Saya tidak bilang bahwa Giroud adalah pemain yang buruk. Namun, jika memang ingin memberi Giroud menit bermain, mengapa tidak menduetkan dirinya dengan Lacazette? Ubah cara bermain, ubah sudut pandang. Jadilah kreatif dan bernyali. Ambil risiko untuk sebuah perubahan. Selama ini, Wenger seperti bermain di dalam kotak egonya yang seperti tanpa batas.
Wenger seperti lupa bahwa segala keputusannya pasti memberi dampak. Sejauh ini, selalu dampak negatif, alih-alih positif. Proses menjadi lebih baik bukan hanya sebatas mengganti dari 4-2-3-1 menjadi 3-4-2-1 dan berharap semuanya langsung baik-baik saja.
Sepak bola semakin dinamis dan adaptasi intens bisa menjadi kunci. Jika Wenger selalu salah mengambil keputusan, salah memercayai egonya, mau sampai kapan virus medioker bersemayam di tubuh ringkih Arsenal?
Author: Yamadipati Seno (@arsenalskitchen)
Koki Arsenal’s Kitchen