Bermain di level amatir, Vardy tak menemui kesulitan berarti dengan mampu mengemas 66 gol dari 106 pertandingan. Di sela-sela menjadi pesepak bola, Vardy juga melakukan pekerjaan kasar sebagai buruh pabrik. Hal itu ia lakukan hanya demi mencukupi kebutuham hidupnya.
Tak jarang, pekerjaan kasar yang ia lakukan justru membuatnya cedera. Punggung adalah area yang paling sering Vardy rasakan sakitnya karena tak sekali dua kali saja penyerang gesit ini menggendong dan mengangkat barang-barang berat.
Sadar akan potensinya di lapangan hijau, ia pun memutuskan untuk fokus bermain bola. Tahun 2011 adalah titik balik karier Vardy. Bermain bersama Fleedwood, pemain yang kini memiliki nilai pasar 16 juta euro tersebut mampu mencetak 31 gol dari 36 penampilan yang ia mainkan.
Sontak pada tahun 2012 Leicester City pun menyodorinya kontrak profesional dan membuka peluang baginya bermain di kasta kedua Liga Inggris.
Musim 2013/2014 Leicester City mampu keluar sebagai juara Divisi Championship dan memastikan diri promosi ke kasta teratas sepak bola Inggris pada musim berikutnya.
Vardy terlibat dalam kesuksesan The Foxes kembali ke kasta atas dan sejak saat itu keberkahan pun seperti menghujaninya. Semua kesengsaraan dan penderitaan pada masa muda Vardy seolah terbayar.
Melalui usaha keras, Vardy mampu mentas di Liga Inggris, dari kasta ke-tujuh ia terbang ke kasta nomor satu, liga terbaik di tanah Eropa.
Vardy meraih juara Liga Inggris bersama Leicester City, lalu dirinya berhasil memecahkan rekor van Nistelrooy. Tak sampai di situ, ia juga menjadi bagian skuat Inggris di Piala Eropa 2016 Prancis dan kini dirinya menjadi top skor EPL di usia yang tak lagi muda, 33 tahun.
Vardy seolah membuka jalan bagi pemain amatir tak putus mimpi. Ketenaran Vardy memang terbilang telat karena ia mendapatkan itu di usia yang sudah menginjak 28 tahun.
Namun siapa sangka, di usia 33 tahun ia tetap jadi striker kelas satu. Nampaknya usia hanyalah angka untuknya. Jamie Vardy, mantan kuli yang terbang tinggi.