Suara Pembaca

Than Quang Ninh FC dan Rasa Bangga Kedaerahan

Di era sepak bola yang bergelut dengan industri, barang kali mudah menyebutkan perlunya cuan dari setiap usaha. Tidak ada yang mau merugi, apa lagi bergerak dengan dalih mencintai klub tanpa harus balas budi.

Tidak semua memang, namun hampir tidak ada. Banyak geraknya, pola dan perilaku, salah satunya adalah memindah kandang seenaknya. 

Sepak bola keadaerahan seakan “dipermainkan” dengan mudahnya. Loyalitas menjadi semu kala segenap jiwa membela suatu klub, esoknya klub tersebut hilang entah ke mana, melebur bersama daerah lain, panji-panji kedaerahan lainnya.

Di Asia Tenggara, baru-baru ini, Hà Tĩnh FC yang baru saja promosi ke V.League 1 adalah hasil pindahan dari Hanoi FC II.

Lalu di Indonesia, tentu tidak perlu dicontohkan. Dari banyaknya relokasi dan pindahnya markas, nama daerah yang seakan diobral, memunculkan satu tanda tanya besar, apakah sepak bola sebagai lambang nasionalitas kedaerahan masih relevan?

Salah satu klub asal Vietnam yang bernama Than Quảng Ninh bisa menjadi alternatif jawaban dari pertanyaan yang bias tersebut.

BACA JUGA: Pertama Kalinya, Vietnam Ekspor Dua Pemain ke Eropa

Suporter Than Quang Ninh FC sedang melakukan Viking Clap | Kredit: thanhnien.vn

Sepak bola atas nama daerah

Dalam peta sepak bola Vietnam bagian Utara, muncul klub-klub tradisional seperti The Cong dan Hai Phong. Seakan tak mau kalah, Provinsi Hong Quang juga mulai berbenah dalam bidang olahraga, khususnya sepak bola.

Terhitung pada April 1956, komite pemuda setempat melakukan seleksi dan membentuk klub dengan nama Đội bóng đá Thanh niên Hồng Quảng atau Klub Pemuda Hong Quang.

Pada tahun 1967, Provinsi Hong Quang dan Provinsi Hai Ninh digabung, menjadi provinsi baru dan lebih luas dengan nama Quang Ninh.

Di sinilah tonggak sejarah sepak bola Quảng Ninh tercipta melalui serangkaian proses panjang. Melalui beberapa rentetan sejarah yang rumit, hingga pada 1990 mereka mendapatkan kesempatan pertama kali berlaga di kompetisi kasta tertinggi, dengan nama baru yakni Công nhân Quảng Ninh atau Quang Ninh Worker Club.

Namun itu hanya bertahan selama satu tahun lantaran edisi 1991, mereka degradasi dan membubarkan diri.

Tahun 1994 klub ini kembali dibangun dengan nama Ha Long Worker Club. Nama diubah, tetapi kandang tetap. Nama worker diusung lantaran kebanyakan pemain pada saat itu adalah pekerja tambang batubara.

Tahun 1996 mereka embali menggunakan nama provinsi dengan nama Quảng Ninh Worker Club. Akan tetapi dikarenakan inkonsistensi dari kasta tertinggi hingga menukik ke kasta ketiga, klub memutuskan mengubah nama yang lebih sederhana, yakni Than Quảng Ninh pada 2004.

BACA JUGA: Bisakah Asia Tenggara Jadi Tuan Rumah Piala Dunia?

Than di sini memiliki arti batubara. Julukan The Hero Miner pun melekat, sebagaimana sejarah klub yang pernah berisikan para pemain sekaligus pekerja tambang. Pun batubara, bagi masyarakat Quảng Ninh merupakan keberuntungan sekaligus “kesialan”.

Sial lantaran kekayaan inilah yang mengundang perselisihan antardinasti di Vietnam. Hidup di alam yang kaya, tapi kebanyakan dari mereka dipeluk mesra oleh kemiskinan dan tindak kejahatan.

Bukan hanya era dinasti saja, hal ini diperparah dengan datangnya Prancis yang hendak merebut area kaya raya tersebut. Prancis membuat Société Francaise des charbonnages du Tonkin (atau disingkat dengan S.F.C.T) dengan tujuan monopoli menggunakan metode eksploitasi kapitalis, feodal dan gaya budak dengan taktik paksaan yang kejam.

Quảng Ninh seakan menjadi kawah candradimuka bagi pencerahan kesadaran kelas saat itu melalui serentetan sejarah panjangnya.

Romantika sepak bola dengan kelas pekerja menghasilkan militansi kuat provinsi ini dengan Than Quảng Ninh FC. Dibuktikan melalui basis suporter bernama CĐV Than Quảng yang rela bersorak, bergembira, mendukung timnya.

BACA JUGA: Le Huynh Duc, Ia yang Bersinar Sebelum Kemunculan Le Cong Vinh

Logo klub dan panji-panji daerah

Klub yang bagus adalah klub yang memiliki perputaran uang yang baik. Uang dapat datang dari mana saja. Di Vietnam, kucuran dana segar bisa datang dari beberapa sumber, yakni pemilik klub, dana daerah (walau tidak semua klub), dan suporter mereka itu sendiri.

Suporter yang akan menghabiskan uang di stadion, membeli merchandise resmi guna menyokong kekuatan finansial klub. Jika dirasa masih kurang, jawaban paling jitu—atau wajib—adalah dari sponsor.

Lama bersembunyi di ketiak Vinacomin, dengan logo klub yang mengadopsi logo perusahaan, pada tahun 2016 pihak klub memutuskan untuk mengubah hal-hal yang dianggap sepele, tapi dapat mengubah hal besar yang dinamakan semangat kedaerahan.

Dilansir dari The Thao, pergantian logo ini memiliki dua maksud, menarik lebih banyak investor agar tidak melulu berpangku tangan pada Vinacomin, juga menghargai CĐV Than Quảng dengan nasionalisme daerah. 

Hal ini berdampak baik. Nuansa baru seperti manajemen tim dan pemain-pemain hebat pun masuk. Sekaligus, banyaknya pinangan sponsor yang melihat bahwa klub ini memiliki masa depan yang baik.

Derasnya kucuran dana pun berimbas baik seperti renovasi Cẩm Phả Stadium yang semula berkapasitas 8.700, kini menjadi 16.000. Tribun utama pun dibuat tiga lantai. Dilansir dari The Thao, pembangunan ini menelan biaya sekitar VND 163 miliar.

Stadion Than Quang Ninh | Kredit: The Thao

Sepak bola kedaerahan

Hal-hal yang mencatut nama sebuah daerah, panji-panji kebangaan daerah, dan beberapa nama yang membuat klub tersebut dikenal bermukim di suatu tempat, akan membuatnya disakralkan beberapa orang.

Contohnya logo klub yang mengambil dari lambang provinsi, atau stadion yang mencatut nama pahlawan daerah. Sepak bola menjadi tataran kompleks ketika industri juga mengambil bagian yang kuat di dalamnya. 

Seperti sebuah perputaran yang berlangsung selamanya, di mana klub tetap harus hidup, industri berlangsung sehat, pun panji daerah tidak ternoda.

Bukankah itu yang ideal? Namun, pada kenyataannya, ketika kita mencari sesuatu yang ideal, malah yang ada kita semakin menjauhi sebuah definisi ‘yang ideal’ tersebut.

Di Vietnam kebanyakan klub mengambil logo sesuai dengan apa yang sponsor inginkan. Contohnya Hanoi FC, ketika masih dinafkahi oleh T&T, dari 2006 sampai 2010 memiliki logo yang sama persis dengan perusahaan tersebut.

Begitu pun dengan CLB SHB Đà Nẵng dengan gamblangnya memakai logo SHB—sponsor utamanya—di tengah logo klub mereka.

Juga entah sudah berapa kali Nam Định FC berganti logo berbarengan ketika sponsor baru datang menyapa mereka.

Tentu hal ini ada plus minusnya, alih-alih jika dilihat hal ini semacam monopoli sepak bola daerah. Hal ini tentu sesuai dengan kesepakatan dari pihak klub dan sponsor.

Durasi, besar kecilnya dan berbagai catutan dalam kontrak pun dapat menjadi catatan baik bagi si klub. Nah, jika hal ini terjadi di Indonesia, bagaimana?

Ketika klub di negara kita kebanyakan mengadopsi lambang provinsi, adanya kesepakatan pihak sponsor yang ingin memasukkan logonya dalam klub malah akan membuat masalah baru yang berkaitan dengan kedaerahan.

BACA JUGA: Polemik Nama Klub Indonesia: Antara Histori dan Materi

Sebenarnya tidak hanya sebatas logo. Di Vietnam bahkan nama klub pun dapat berubah sesuai dengan kucuran dana yang diberikan oleh pihak sponsor.

Sebut saja CLB SHB Đà Nẵng yang disisipi nama SHB di mana itu merupakan nama perusahaan yang bergerak di bidang perbankan. Juga ada Dược Nam Hà – Nam Định yang memuat nama perusahaan farmasi.

Dulu juga ada Hanoi T&T. Imbuhan belakangnya itu bukan merupakan intimidasi terhadap lawan sebagaimana Dynamo yang melekat pada klub-klub Rusia, melainkan itu adalah nama sebuah perusahaan investasi dan perbankan.

Satu hal yang terpenting, namun kadang disepelekan, yakni kandang klub. Di sepak bola era industri, merupakan hal yang diwajarkan mengingat keuntungan adalah yang utama. Daerah dengan basis massa yang banyak, riuh dan militan, menjadi target utama.

Namun, tentu ada pihak yang kecewa, yakni para suporter klub sepak bola tempat itu semula berasal. Bayangkan saja bagaimana rasanya minggu kemarin datang ke stadion dan mendukung, esoknya klub tersebut sudah berada di pulau seberang nun jauh di sana.

Than Quảng Ninh sebisa mungkin tidak boleh melupakan dari mana ia berasal. Dari semua yang kini mereka pijak, ada para pejuang—para pendahulunya—yang memperjuangkan eksistensi klub di daerah Quảng Ninh.

Dengan sokongan suporter yang selalu ada, pemilik klub yang tidak memikirkan cuan dan “kuda tunggangan politik” melulu, menghargai panji-panji kedaerahan dan merawat masa lalu yang penuh perjuangan, rasanya klub ini memang pantas masuk peta kekuatan baru di sepak bola Vietnam.

Bersiaplah Ceres-Negros, Svay Rieng, dan Bali United di Grup G Piala AFC 2020!

 

*Penulis adalah penggemar sepak bola Asia Tenggara, dengan diary pribadi di pukulrata-sepakbola.blogspot.com. Bisa disapa di akun twitter @gustiaditiaa