Tahun 1975 adalah tahun yang “sibuk” bagi Vietnam. Setelah April yang panjang dan penuh sejarah, masyarakat melakukan kegiatan seperti apa adanya.
Tak terkecuali di sebuah pelabuhan yang kian sibuk sebagai pembuka pintu gerbang utama Vietnam Utara dan Selatan. Sebuah pelabuhan bernama Cang Sai Gon beroperasi apa adanya, hiruk pikuk perkapalan seperti biasanya.
Menariknya, di dalam kesibukan sebuah dermaga, lahir sebuah tim sepak bola bernama Câu lạc bộ bóng đá Cảng Sài Gòn atau Pelabuhan Sai Gon FC. Mereka adalah para buruh kapal yang dibuatkan sebuah kesebelasan oleh Nguyen Thanh Su, mantan pemain bola yang bekerja di pelabuhan tersebut.
Ia ditugaskan untuk membentuk sebuah tim bola di pelabuhan itu. Tim ini didirikan oleh semangat-semangat yang berlandaskan rasa bersama, satu nasib, dan sama-sama dari kalangan buruh pelabuhan.
Di awal perjalanannya tidak ada latihan yang intensif, karena para pemain sibuk bekerja untuk bongkar muat kapal, menjadi teknisi listrik kapal, dan nakhoda kapal. Sepak bola bukanlah komoditi utama bagi mereka, hanya sumber hiburan dalam melepas lelah.
Namun, dengan adanya tuntutan pekerjaan utama yang mereka miliki, terbentuklah karakter kuat di tim ini berupa rasa disiplin yang tinggi.
Melangkah jauh hingga medio tahun 1980, tim ini belum memiliki tempat latihan, padahal mereka mengikuti berbagai kompetisi di Selatan. Namun secara mengejutkan pada tahun 1976, mereka mampu menjadi juara dua di Cửu Long Cup.
Kompetisi tersebut adalah pagelaran yang dibuat oleh Provinsi Cửu Long sebagai hasil bentukan provinsi baru saat itu. Mereka berlatih di sekitaran lapangan kampus, berbagi dengan masyarakat umum.
Kekalahan di final Cửu Long Cup menjadi pemecut mereka untuk jadi lebih profesional. Upaya ini dimulai dengan mencari pemain berpengalaman, yang meluangkan waktu sebagai pemain sepak bola juga.
Cara ini langsung membuahkan hasil berupa juara tingkat provinsi bagian Selatan dari tahun 1977 hingga 1979. Cang Sai Gon pun menjadi raksasa Selatan.
Tahun 1980 merupakan tonggak sejarah besar sepak bola Vietnam. Dulu kompetisinya belum bernama V.League, tapi bernama A1. Kompetisi ini menjadi gerbang persahabatan antara tim-tim Utara dan Selatan yang sebelumnya berkompetisi secara kedaerahan.
Dengan sistem kompetisi dibagi menjadi 3 grup, pemuncak klasemen masuk ke babak final dan peringkat terakhir degradasi. Cang Sai Gon pun turut hadir, bersama dengan 10 perwakilan dari Selatan dan 8 klub dari Utara. Termasuk dua raksasa Utara, yakni The Cong dan ĐSVN.
A1 edisi 1980 diadakan di Selatan. Menurut laporan The Thao Vietnam, tidak ada tensi tinggi di bangku penonton. Para penonton bersuka cita menyaksikan para pemain hebat dari Utara, yang sepak bolanya terkenal lebih maju saat itu.
Sepak bola babak kedua: Industri
Klub-klub Utara terbiasa dengan “subsidi negara”, karena itu peran negara sangat besar. Ideologi komunisme yang dianut Vietnam menghapuskan ekonomi swasta yang dianggap ilegal. Klub-klub Selatan pun perlahan menerapkan sistem ini sejak tahun 1976.
Namun, dampaknya buruk. Negara mendistribusikan barang berdasarkan sistem kupon, sehingga barang-barang menjadi langka, dan upah pekerja juga dikonversi menjadi makanan.
Ketika masa subsidi roboh pada tahun 1987, satu per satu tim-tim sepak bola Utara yang kebanyakan mengekor kepada instansi ikut terjatuh dan kekuatannya mengendur di A1.
Beda halnya dengan klub-klub Selatan yang dapat beradaptasi dengan sistem baru ini. Sebut saja Cong Ho Chi Minh City FC, dan tentunya Cang Sai Gon. Bahkan, Cang Sai Gon pernah berpartisipasi dalam pentas Asia pada tahun 1995 dan 1999. Persaingan antara Utara, Selatan dan Tengah pun berjalan simbang.
Sepak bola di Vietnam menjadi lahan basah bagi pemodal. Hal ini menjadi begitu menggiurkan bagi mereka yang melihat sepak bola dari sisi non-hiburan. Berinvestasi guna mendapatkan profit demi profit adalah yang terjadi selanjutnya.
Di Vietnam sendiri, liga secara profesional mulai berdiri pada edisi 2000 bernama V.League dengan berbagai regulasi baru. Salah satunya diperbolehkan mengontrak pemain asing.
Memasuki periode baru ini, Cang Sai Gon yang belum juara lagi setelah tujuh tahun membuat sejarah dengan menjuarai V.League edisi 2001.
Menurut penuturan Phạm Tấn dalam surat kabar The Thao Van Hoa, dalam artikelnya yang berjudul Sepak Bola Kota Ho Chi Minh: Mundur 10 Tahun! menyebutkan bahwa Cang Sai Gon berubah nama menjadi Port Saigon. Sepak bola Vietnam saat itu memang memasuki masa peralihan bernama sepak bola perusahaan.
Di musim berikutnya Port Saigon degradasi dengan menduduki peringkat dua terbawah, dan di tahun 2003 mereka berbenah. Dengan masuknya pemodal terbesar Thép Miền Nam (Baja Selatan) sebanyak 72 persen dan Cang Sai Gon sebesar 25 persen, nama klub pun berubah lagi menjadi Thép Miền Nam-Cang Sai Gon.
Dengan perubahan nama dan modal yang mengucur deras, Thép Miền Nam-Cang Sai Gon hanya butuh satu tahun ntuk kembali naik kasta. Bisa dikatakan bahwa tim ini adalah salah satu yang beralih ke model profesional, walau prestasi mereka fluktuatif.
“Kapal Perang Merah” bernama Ho Chi Minh City FC
Berlanjut ke tahun 2008, tahun itu adalah bencana bagi Thép Miền Nam-Cang Sai Gon. Tim yang dibangun dari pemain-pemain kelas pekerja dan nama besar pelabuhan ini harus berkutat dengan “penyakit” yang kebanyakan dialami oleh klub sepak bola modern, yakni krisis finansial.
Berbagai cara pun dilakukan untuk menyelamatkan tim, hingga memasuki sebuah babak baru. Akhirnya disepakati tim ini menjadi milik bersama dalam balutan panji daerah Ho Chi Minh City.
Keputusan ini dipilih lantaran Cang Sai Gon selaku Pelabuhan Saigon sudah tidak bisa mendanai. Jika nama Ho Chi Minh City FC (selanjutnya: HCMC FC) digunakan dan dikelola oleh pemerintah daerah, dapat membuka gerbang besar bagi sponsor lain untuk masuk. VN Steel, sebuah perusahaan industri baja milik negara, adalah satu contohnya.
Akan tetapi, beberapa pihak menyesalkan pilihan ini. Bagi mereka, nama Cang Sai Gon adalah aspek spiritual sepak bola kedaerahan yang tidak hanya mewakili Ho Chi Minh City saja, melainkan Selatan dan Vietnam secara keseluruhan.
Bahkan, di awal berdirinya, pihak klub membutuhkan para pemandu sorak guna menciptakan suasana ramai di stadion yang tak kunjung ramai seperti biasanya.
Tahun 2009 mereka degradasi dan seakan mengikuti arus gelombang yang diciptakan sendiri dengan berganti logo, sponsor, dan lainnya. Klub ini pun dianggap berbeda oleh para suporternya. Bagi mereka, nama besar adalah hal-hal sakral yang melekat. Ketika semua itu berubah, apa yang bisa dikenang?
Kini, sepak bola tidak akan pernah kembali seperti dahulu kala, ketika para pekerja pabrik menendang bola dengan gembira.
Kini, menikmati sepak bola harus ditebus dengan uang. Memperoleh pemain hebat pun juga membutuhkan fulus sebagai pelicin agar negosiasi berjalan mulus. Seakan membeli sebuah kejayaan, sepak bola menjadi asing bagi “pemilik sesungguhnya”.
Di tahun 2018, tim ini mendapat julukan Red Battleship, dengan mencoba menarik kepercayaan massa bahwa tim ini adalah Cang Sai Gon dengan sejarah gemilang di belakangnya.
Dengan logo baru, kembali menghargai tradisi perkapalan dan nama besar sebuah kelas pekerja pelabuhan, menyimpulkan satu hal penting bahwa setelah memperjuangkan sejarah, terkadang perjuangan tersebut harus berlanjut dengan cara merawatnya.
*Penulis adalah penggemar sepak bola Asia Tenggara, dengan diary pribadi di pukulrata-sepakbola.blogspot.com. Bisa disapa di akun twitter @gustiaditiaa