Piala Dunia 2018

Bisakah Asia Tenggara Jadi Tuan Rumah Piala Dunia?

Kabar ini memang masih berupa rencana, bahkan juga bisa dibilang masih berbentuk angan-angan. Membawa Piala Dunia ke Asia Tenggara, bukan hanya membawa trofinya saja dengan serangkaian acara tur, tapi juga menggelar hajatannya di sisi tenggara Benua Asia. Bisakah Asia Tenggara jadi tuan rumah Piala Dunia?

Melihat kondisi saat ini, menggelar Piala Dunia di Asia Tenggara adalah kemustahilan. Negara tuan rumah tidak hanya harus memiliki stadion bertaraf internasional, tapi juga infrastruktur negara yang memadai untuk memanjakan para turis mancanegara. Di Asia Tenggara yang pembangunannya tidak merata alias mayoritas terpusat di kota besar, ini adalah hambatan terbesar.

Indonesia, Vietnam, dan Thailand, seperti yang diungkap The Straits Times dua hari yang lalu, merupakan kandidat terkuat tuan rumah bersama Piala Dunia 2034. Di belakang mereka ada Malaysia yang masih bimbang, apakah akan ikut menjadi tuan rumah bersama, atau tetap menjadi penikmat saja, sembari mengintip peluang lolos lewat jalur kualifikasi.

Secara perkembangan infrastruktur negara, Indonesia, Vietnam, dan Thailand memang salah tiga negara yang berkembang paling pesat di Asia Tenggara. Memang masih ada Singapura, Filipina, dan Brunei Darussalam, tapi coba dipikir saja: Apa gunanya menggelar Piala Dunia di negara yang tidak peduli dengan Piala Dunia? Sekalipun negara tersebut sangat maju perkembangannya.

Oleh karena itu, Indonesia, Vietnam, dan Thailand adalah “target” yang paling realistis. Setidaknya ada tiga keunggulan yang dimiliki trio calon tuan rumah Piala Dunia tersebut.

Pertama, animo penonton. Ini adalah syarat tak tertulis untuk menjadi tuan rumah Piala Dunia. Negara pemilik hajatan harus negara sepak bola, dengan kultur sepak bola yang kuat, dan minat datang ke stadion yang tinggi. Indonesia, Vietnam, dan Thailand tak diragukan lagi adalah jagonya untuk urusan yang satu ini, di kawasan Asia Tenggara.

Kedua, pengalaman sebagai tuan rumah turnamen sepak bola internasional. Thailand sudah rutin menggelar King’s Cup sejak 1968, Vietnam pernah menjadi tuan rumah bersama Piala Asia 2007 dan 4 kali tuan rumah Piala AFF (sejak bernama Piala Tiger), sedangkan Indonesia tak perlu ditanya lagi. Piala Asia sudah, Piala AFF sudah, SEA Games sudah, dan Asian Games beberapa bulan lagi.

Ketiga, kualitas tim nasional. Walaupun di mata dunia ketiga negara ini bukan negara adidaya sepak bola, tapi potensi untuk tampil mengejutkan itu ada. Minimal, kalaupun mentok di fase grup atau kandas di kualifikasi (jika hanya satu tuan rumah yang lolos langsung), setidaknya ada hasil perjuangan yang bisa dibanggakan.

Untuk poin ketiga itu, Thailand tak diragukan lagi adalah yang terkuat. Pencapaian di Piala AFF dan klub-klub mereka di Liga Champions Asia adalah buktinya. Kalau itu belum cukup, kalian bisa menengok kiprah Thailand kala berjumpa tim-tim raksasa sepak bola. Lawan Belanda mereka hanya kalah 1-3, dan Australia pernah ditahan imbang 2-2 di kualifikasi Piala Dunia 2018.

Sementara itu, Vietnam saat ini sedang menggiatkan pembinaan usia dini. Timnas U-20 mereka sudah menembus Piala Dunia U-20 di Korea Selatan 2017, Pemuda-pemuda itu memang diproyeksikan untuk tampil di Piala Dunia 2030-an, sesuai yang diharapkan Ryan Giggs ketika menangani akademi sepak bola Vietnam.

Lalu bagaimana dengan Indonesia? Tak perlu banyak prediksi atau hitung-hitungan matematis. Berdoa saja, semoga kompetisi domestik dan pembinaan usia dini bisa lebih teratur, sehingga bermuara ke terbentuknya tim nasional yang berkualitas. Amiinn

 

Stadion Utama Gelora Bung Karno

Permasalahannya….

Indonesia, Vietnam, dan Thailand punya peluang untuk menjadi tuan rumah Piala Dunia 2034, sesuai jatah Asia menggelar turnamen tersebut. Akan tetapi, ada permasalahan yang harus segera diselesaikan sebelum mengajukan bidding, dan sayangnya itu adalah persoalan elementer.

Masalah keamanan jadi tajuk utama. Khusus di sepak bola Asia Tenggara, Indonesia, Vietnam, dan Thailand dikenal memiliki basis suporter yang rawan tercipta kerusuhan. Itu belum ditambah isu keamanan negara, jika Indonesia belum bersih sepenuhnya dari ancaman terorisme, Vietnam belum bisa mengatasi cyber crime yang marak terjadi, dan Thailand belum menyembuhkan “wabah” copet jalanan mereka.

Persoalan kedua adalah stadion. Dengan kapasitas minimal 45.000 untuk fase grup sampai perempat-final, dan sebagian besar harus beratap, akan banyak stadion-stadion di Indonesia, Vietnam, dan Thailand yang butuh perombakan besar. Masalahnya, jumlah stadion yang perlu dirombak juga akan sangat banyak.

Di Vietnam tidak ada satupun stadion yang mencapai kapasitas 45.000 penonton. Stadion Nasional Mỹ Đình hanya berkapasitas 40.000, sedangkan Stadion Cần Thơ yang dapat menampung 44.000 orang, sama sekali tidak beratap dan tentunya butuh perbaikan sana-sini agar sesuai dengan standar Piala Dunia.

Kemudian di Thailand, hanya ada Stadion Rajamangala yang sesuai persyaratan Piala Dunia, sedangkan tiga stadion besar lainnya seperti Chang Arena, Stadion Tinsulanon, dan Stadion Thammasat akan butuh penambahan kapasitas kursi dan pembangunan atap stadion.

Lalu bagaimana dengan Indonesia? Jika berbicara soal stadion, negara kita tercinta ini justru lebih unggul ketimbang Vietnam dan Thailand. Selain Stadion Utama Gelora Bung Karno (SUGBK) yang tersohor itu, Indonesia juga bisa menggunakan stadion-stadion megah di Kalimantan seperti Stadion Aji Imbut, Stadion Palaran, Stadion Batakan, atau Stadion Papua Bangkit yang diperkirakan akan menyaingi kemegahan SUGBK.

Batas akhir bidding tuan rumah Piala Dunia 2034 adalah tahun 2026. Artinya, masih ada 8 tahun lagi untuk merayu FIFA agar Piala Dunia bisa dimainkan di Asia Tenggara, dan jika terpilih, maka 8 tahun berikutnya akan menjadi masa-masa krusial untuk membuktikan kesiapan menggelar turnamen akbar empat tahunan ini, yang saat itu sudah menganut format 48 tim.

Tapi ingat, jalan menuju impian tuan rumah Piala Dunia 2034 tidak akan mudah. Selain harus memastikan kesiapan diri sendiri, Asia Tenggara juga akan mendapat saingan dari negara raksasa Asia. Cina contohnya, atau Jepang dan Korea Selatan lagi jika berminat, bisa juga Australia apabila berniat membalas kekalahan bidding di Piala Dunia 2022.