Suara Pembaca

Piala Dunia 2018 di Tahun Politik Indonesia yang Sengit

Piala Dunia tahun 2018 ini amat bertepatan dengan berbagai pemilihan umum di Indonesia. Event empat tahunan ini seolah membuka rangkaian pesta demokrasi terkait pemilihan Bupati, Walikota, Gubernur, Presiden, dan berbagai perwakilan rakyat yang berlangsung hingga tahun mendatang. Meski sama-sama perhelatan akbar, namun sekilas tidak ada hubungan sama sekali di antara keduanya. Yang pertama digelar di Rusia, yang kedua digelar di Indonesia; yang pertama adalah perkara olahraga, yang kedua berkaitan dengan politik. Namun benarkah tidak ada hubungannya?

Pertama, meski secara geografis berjauhan, namun keduanya melibatkan massa yang banyak. Massa yang banyak, bagaimanapun, secara politis menguntungkan. Piala Dunia 2018, meski berjarak 9.312 kilometer dari negeri kita, masih tetap penting untuk insan perpolitikan di Indonesia.

Piala Dunia adalah saatnya, bagi para politisi, untuk tiba-tiba berbicara tentang sepak bola. Kita akan prediksikan bahwa di pertandingan-pertandingan tertentu, siapapun itu yang ingin ikut pencalonan, tiba-tiba tampil mengemuka di publik dalam acara nonton bareng atau menjadi komentator di stasiun televisi.

Setidaknya, satu peristiwa yang mirip pernah terjadi dalam ruang lingkup lebih kecil, yaitu Piala Eropa 2004. Waktu itu final berlangsung pada tanggal 4 Juli dan pemilihan umum Presiden berlangsung sehari kemudian. Final antara Yunani melawan Portugal di salah satu stasiun televisi kemudian menghadirkan sejumlah komentator dadakan dalam bentuk calon Presiden atau Wakil Presiden yang akan dipilih keesokan harinya. Ini merupakan momentum karena dalam semalam, mereka berharap dapat mengubah atau memperkuat persepsi jutaan rakyat Indonesia tentang pilihan politiknya, sembari menunggu final sepak bola Eropa.

Momentum waktu itu sangat tepat, jika tidak bisa dikatakan sempurna. Mungkin saja pemenang pemilu masa itu, Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) dan Jusuf Kalla (JK), memenangkan pemilu oleh sebab komentarnya yang jitu di malam final sepak bola. Mungkin saja ada ratusan ribu pendukung yang sudah siap mencoblos calon lainnya, tiba-tiba berubah sikap oleh sebab karisma Pak SBY dan Pak JK dalam membicarakan sepak bola.

Iya, sepak bola memang mampu menyihir publik, itu sebabnya begitu rentan ditunggangi politik. Kita sama-sama ingat di tahun 1934, di final Piala Dunia yang diselenggarakan Italia, tim tuan rumah, yang masuk final melawan Cekoslovakia, mendapat “dukungan” dari diktator, Benito Mussolini. Italia memang menang 2-1 dan berhak mengangkat trofi Jules Rimet, tapi ada dugaan bahwa Mussolini ada dibalik pemilihan wasit dan mengatur logistik para pemain, agar kemenangannya ini menjadi alat untuk promosi paham fasisme.

Pertarungan El Clasico Barcelona melawan Real Madrid bukan semata-mata perkara dua tim paling elite di La Liga Spanyol. Lebih daripada itu, ada darah Catalunya yang menggelegak dalam diri sebagian pemain Barcelona yang mewakili kaumnya untuk melepaskan diri dari Negeri Matador, yang mana Real Madrid, dalam hal ini, kerap menjadi representasi tempat kediaman Raja Spanyol yang enggan separatisme itu terjadi. Barcelona dan Real Madrid lebih dari sekadar sepak bola akibat menyengatnya aspek politik diantara pendukung kedua belah pihak.

Piala Dunia 2018 ini bisa jadi sangat menentukan juga bagi tahun-tahun pemilu yang akan terjadi di Indonesia tahun ini dan tahun yang akan datang. Kita akan lihat para calon kepala daerah akan mulai menyambangi tempat nonton bareng, menggunakan kostum sepak bola, dan bahkan menjadi komentator. Mungkin ada semacam keyakinan yang aneh bahwa barang siapa bisa bicara banyak tentang sepak bola atau lebih daripada itu, terlihat punya kecintaan terhadap sepak bola, maka akan juga dapat merebut simpati para penggemar salah satu olahraga tertua di dunia ini.

Namun perlu diingat, bagi para politisi yang mau terjun bergelimang sepak bola, untuk memerhatikan betapa kuatnya fanatisme para pendukung sepak bola itu. Ada pepatah yang sumbernya kurang jelas mengatakan, “Orang bisa pindah agama dari Islam ke Kristen, pun sebaliknya; tapi orang tidak bisa pindah dari orang Jawa ke Sunda, pun sebaliknya; dan orang tidak bisa pindah dari pendukung Persib ke Persija, pun sebaliknya, atau Arema ke Persebaya, pun sebaliknya.”

Para politisi ini harus bicara dalam konteks senetral-netralnya agar tidak kehilangan pendukung dari pihak seberangnya. Hati-hati menunjukkan fanatisme pada Rusia, jika tidak ingin pendukung Arab Saudi meninggalkannya; pun sebaliknya. Politisi harus tetap di tengah dan bicara satu ungkapan yang sangat standar, “Semoga yang terbaik akan memenangkan pertandingan.” Aman, bukan?

Iya, aman, tapi dengan berkata seperti itu, kalian sama sekali tidak mengerti sepak bola.