Suara Pembaca

Soal Etika, Sepak Bola Spanyol Ternyata Sama Saja dengan Indonesia

Dalam ajang Piala Dunia 2018, Spanyol boleh mendaku diri sebagai salah satu calon kuat peraih gelar negara penguasa sepak bola. Fakta bahwa perjalanan tim Matador hampir tanpa cela dengan catatan 14 kemenangan, 6 kali imbang, tanpa sekalipun menelan kekalahan di bawah asuhan Julen Lopetegui adalah alasannya. Bukan salah mereka untuk membusungkan dada sebagai salah satu tim terkuat saat ini karena kenyataan memang berbicara.

Sepak bola Spanyol di level klub juga tak kalah adidaya. Dua kejuaraan antarklub di Eropa dikuasai oleh tim asal Spanyol. Belum lagi beberapa pemain juga bersinar bersama klub yang berkancah di luar Spanyol musim ini. Soal sumber daya pemain untuk ajang Piala Dunia kali ini, sungguh bukan sebuah masalah bagi tim Matador.

Bayangan era kejayaan dari 2008 hingga 2012 menjadi faktor lain sebagai pemacu semangat. Selama kurun waktu lima tahun tersebut, Spanyol benar-benar menjadi kekuatan besar sepak bola di mata dunia. Zaman di mana Iker Casillas, Carles Puyol, Xavi Hernandez, Andres Iniesta, serta Fernando Torres masih berada pada puncak karier mereka.

Usai kemenangan besar yang membuat Italia mati kutu di Olympic Stadium, Kiev, pada final Piala Eropa 2012, Spanyol terpuruk langsung terpuruk pada ajang akbar selanjutnya. Pada Piala Dunia 2014, mereka terhenti di fase grup setelah dikandaskan Belanda dan Cile. Spanyol dikritik karena masih memainkan beberapa pemain yang dianggap kariernya mendekati senja, salah satunya seperti Casillas.

Sadar akan hal itu, tentu melakukan regenerasi bukan menjadi masalah bagi Spanyol. Mereka tidak akan pernah kekurangan talenta. Saat Spanyol berada di puncak kejayaan, mereka sudah menyiapkan generasi Thiago Alcantara dan David de Gea yang menaklukkan dua kali turnamen Piala Eropa U-21 pada tahun 2011 dan 2013.

Pembinaan pemain muda yang berlangsung secara berkesinambungan membuat tim ini tak akan kehilangan fondasi permainannya. Permainan umpan pendek dari kaki ke kaki yang dikombinasikan dengan cairnya pertukaran posisi akan tetap menjadi ciri khas tim ini.

Tak hanya di timnas usia muda, pada level klub pun penyemaian bibit-bibit pemain juga berjalan apik. Walaupun tak dipakai di klub utama, pemain-pemain tersebut diimpor ke liga lain sebagai produk yang berkualitas. Dengan segala sumber daya yang ada, masalah terakhir hanya tinggal bagaimana menyatukan pemain-pemain tersebut dalam bingkai tim nasional Spanyol di level senior.

“Kaisar yang bijak merundingkan rencana, panglima yang hebat melaksanakannya,” ujar Sun Tzu, ahli strategi perang nan masyhur asal Cina. Dalam konteks sepak bola, pelatih adalah seorang kaisar dan pemain-pemainnya merupakan panglima serta prajurit-prajuritnya. Dengan segala prajurit yang mumpuni, timnas Spanyol membutuhkan seorang pelatih berkompeten sebagai kaisar yang merundingkan rencana permainan.

Pertanyaannya, bagaimana dengan pelatih Spanyol kali ini?

Keputusan Julen Lopetegui untuk menangani Real Madrid selepas Piala Dunia betul-betul menjadi sebuah akar permasalahan. Ia dianggap tidak punya etika untuk menghormati kontrak yang selayaknya dilakukan oleh seorang profesional. Lopetegui meneken kontrak dengan klub raksasa Spanyol tersebut hanya berselang tiga minggu setelah ia setuju untuk menangani timnas Spanyol hingga tahun 2020.

Hal tersebut tak ayal membuat federasi sepak bola Spanyol, RFEF, berang. Apalagi menurut kabar yang santer beredar, Lopetegui baru meminta izin kepada pihak RFEF hanya lima menit sebelum dirinya diumumkan sebegai pelatih Real Madrid. Tanpa ampun, Luis Rubiales, presiden RFEF, langsung mengambil sikap dengan memecatnya hanya dua hari sebelum pertandingan perdana Spanyol pada Piala unia 2018 melawan Portugal yang baru saja berakhir imbang 3-3 pagi tadi (16/6).

Soal etika untuk pamit dan meminta izin, Antonio Conte dan Louis van Gaal lebih baik. Antonio Conte yang pada tahun 2016 masih berstatus sebagai allenatore timnas Italia, mengumumkan kepindahannya ke Chelsea dua bulan sebelum Piala Eropa 2016 dimulai. Sementara itu, van Gaal yang masih menduduki kursi pelatih kepala Negeri Kincir Angin kala itu, memutuskan untuk menangani Manchester United sebulan sebelum timnas Belanda berlaga di Piala Dunia 2014. Keduanya pamit dengan baik kepada timnas masing-masing. Tak heran, federasi sepak bola Italia dan Belanda memberikan lampu hijau untuk mereka.

Kelakuan Lopetegui tak ubahnya beberapa insan sepak bola Indonesia. Di negara ini, kabar pemain pergi begitu saja dari tim seolah menjadi warta yang sudah biasa. Beberapa benar-benar tidak pamit lalu tiba-tiba terlihat di klub lain. Sebagian lain pamit dengan alasan keluarga atau tuntutan pekerjaan lain, namun beberapa minggu berselang sudah mengenakan seragam klub yang berbeda.

Kasus paling baru datang dari Cristian Gonzales. Gonzales dianggap melanggar kontraknya dengan Madura United setelah meninggalkan tim dan memilih bergabung dengan PSS Sleman. Walaupun sempat muncul secercah penyelesaian, tetapi hingga kini masalah tersebut masih berlarut-larut. Tak hanya pemain, musim lalu Perseru Serui sempat kehilangan pelatih mereka, Yusak Sutanto, di tengah kompetisi. Yusak mendadak meninggalkan tim setelah Perseru Serui kalah dari Bali United.

Sialnya, di Indonesia, kasus-kasus tersebut tidak pernah menjadi pelajaran. Hampir di setiap awal atau pertengahan musim cerita yang serupa tapi tak sama terulang kembali dengan pelaku yang berbeda. Bukannya digunakan sebagai contoh buruk agar tak lagi diulang, cerita tersebut seolah-olah malah memberikan pembenaran perilaku tersebut karena terlalu sering terjadi sehingga dianggap biasa. Jika sepak bola Spanyol tidak menjadikan kasus Lopetegui sebagai pelajaran, berarti memang benar soal etika sepak bola Spanyol tak ada bedanya dengan Indonesia.