Editorial

Bersama Pria seperti Luis Rubiales, (Mungkin) Spanyol akan Berjaya (Lagi)

Terkadang, resep sukses suatu negara untuk menjadi juara dunia di sepak bola, tidak melulu soal kualitas teknik pemainnya dan sisi genius sang juru taktik belaka. Ada si pemegang kemudi, ia yang ada di balik layar, merencanakan dengan cermat dan matang, sembari memastikan, setelah generasi juara muncul satu, generasi berikutnya akan mengikuti dan memberi kesuksesan yang konstan.

Mari ambil contoh dari Christian Seifert, CEO Bundesliga, sekaligus Wakil Presiden DFB (Federasi Sepak Bola Jerman) yang menjabat sejak tahun 2005. Orang mengingat hancur leburnya Jerman di Piala Eropa 2000, sebelum kemudian mereka berbenah dengan sangat masif. Sejak 2005, ketika Seifert mulai terlibat di perencanaan akademi dan pengembangan pemain muda di tim-tim Bundesliga, ia mencanangkan proyek ambisius.

Proyek ini yang kemudian memberi suplai banyak pemain muda berkualitas kepada Joachim Löw di Piala Dunia 2010, dengan generasi pemain muda seperti Mesut Özil, Sami Khedira, Jerome Boateng, Toni Kroos, Thomas Müller, hingga sang mutan, Manuel Neuer, muncul ke permukaan.

Empat tahun kemudian, di 2014, fondasi pemain-pemain inilah yang membawa Jerman menjuarai Piala Dunia secara gemilang di Brasil, dengan catatan fenomenal: menghajar si empunya rumah dengan skor akhir 7-1 di semifinal, sebelum mengunci gelar juara dunia lewat gol tunggal sang wonderboy, Mario Götze.

Turnamen ini juga menunjukkan generasi selanjutnya setelah era Özil dan kolega dengan munculnya Mats Hummels, Julian Draxler, Andre Schürrle, Matthias Ginter, Christoph Kramer, hingga Götze sendiri. Skuat juara itu juga masih minus Marco Reus, sang media darling, yang harus absen karena cedera lutut.

Satu bulan setelah kesuksesan di Brasil, Seifert, seperti diwawancarai oleh The Independent, sudah mengingatkan sesuatu kepada khalayak luas, “Skuat ini baru gelombang pertama. Yang berikutnya masih akan datang lagi.”

Dan di 2018, Jerman tampil dengan muka yang lebih baru dan segar. Marc-Andre ter Stegen muncul sebagai penantang utama Neuer, sang mutan, di bawah mistar gawang tim Panser. Joshua Kimmich mekar mewangi ke permukaan dengan status yang tak main-main, “The Next Phillip Lahm”, hingga duo wonderkids, Timo Werner dan Leon Goretzka, yang setahun lalu, bersama Julian Draxler, membantu Jerman menjuarai Piala Konfederasi 2017 dengan mulus.

Jogi Löw memang melakukan sesuatu yang hebat di Brasil, tapi menafikan peran Seifert, tentu lancang betul. Tapi lain Seifert, lain pula Luis Rubiales, presiden baru RFEF yang baru berusia 40 tahun.

Luis Rubiales, presiden terpilih RFEF (Federasi Sepak Bola Spanyol) per Maret 2018, yang diangkat untuk menjabat hingga 2020, menghentak dunia ketika memutuskan memecat Julen Lopetegui, hanya satu hari jelang dimulainya Piala Dunia 2018 dan hanya dua hari sebelum laga perdana La Furia Roja kontra Portugal di pembuka Grup B.

Lopetegui dipecat 22 hari setelah perpanjang kontrak bersama timnas Spanyol hingga 2020, dan hanya sehari setelah memastikan diri kontrak itu batal karena ia diikat Real Madrid sebagai pelatih baru per musim 2018/2019 untuk mengisi kursi yang ditinggalkan Zinedine Zidane.

Rubiales naik ke kursi tertinggi RFEF setelah salah satu orang terkuat di sepak bola dunia dan Spanyol, Angel Maria Villar, yang juga merangkap sebagai pejabat teras FIFA sekaligus presiden RFEF, ditangkap pihak yang berwajib atas dugaan korupsi ketika ia menjabat sebagai presiden di federasi sepak bola Spanyol tersebut.

Langkah pertama Rubiales adalah memperbaiki struktur finansial RFEF, memperketat anggaran, memastikan semuanya keluar dengan teliti dan cermat, agar dosa-dosa masa lalu di rezim Villar tidak terulang dan membuat publik Spanyol merasa skeptis dengan timnas kebanggaan mereka.

Sebagai mantan pesepak bola nasional di negaranya, walau tak pernah merasakan nikmatnya berseragam La Roja, Rubiales tahu tentang pride itu. Di konferensi pers saat memecat Lopetegui, kamu bisa merasakan bagaimana Rubiales layak saya beri sebutan El Fuego (sang api).

Ia tenang, fokus, dan memilih kata-katanya dengan sangat rapi. Ditambah lagi, ia mengucapkan kalimat-kalimat penting dengan nada yang membuatmu merasa bergidik ngeri berada di satu ruangan berdua dengan Rubiales untuk membicarakan pekerjaan.

“Kami tidak mengizinkan siapa pun yang berstatus sebagai pekerja di bawah naungan federasi sepak bola Spanyol untuk memainkan aturannya sendiri. Kami harus membiarkan Lopetegui pergi dengan pesan bahwa tim ini akan dipertahankan dan tidak ada satu orang pun yang bisa dengan seenaknya menjalankan aturannya sendiri di sini,” tegas Rubiales, seperti dilansir oleh Marca.

Kalimat Rubiales disusun dengan sangat rapi dan terstruktur. Pesannya tersampaikan dengan sangat jelas dan seperti api, pesan itu membakar habis karier Lopetegui di timnas. Karier yang seharusnya berumur sedikit lebih panjang, setidaknya hingga Juli 2018, harus kandas lebih prematur.

Saya tidak tahu apakah Spanyol akan baik-baik saja di Piala Dunia kali ini. Saya juga tidak tahu apakah Fernando Hierro, sang caretaker selama di Rusia ini, adalah nama yang mampu mengejawantahkan gaya sepak bola Lopetegui yang membawa mereka lolos dengan gemilang di Piala Dunia 2018. Tapi, Rubiales tahu, kesuksesan mereka nanti di masa depan, (mungkin) akan ditentukan oleh sikap yang ia ambil terkait Lopetegui.

We might look weak now, but we’ll be stronger for it in the long run,” tutup Rubiales di konferensi pers yang terasa sangat personal dan emosional tersebut. Satu hal yang pasti, jika memang Spanyol kemudian sukses di Piala Dunia kali ini, mungkin, kredit terbesar adalah milik sang presiden yang sekilas mirip Lord Voldemort itu. Dan andai gagal, publik di sana tahu siapa nanti kambing hitamnya dan itu mungkin bukan sang presiden, melainkan Lopetegui dan Real Madrid.

Bersama pria seperti Luis Rubiales, seharusnya, Spanyol akan mampu berjaya lagi. Mungkin di Piala Dunia 2018 ini, tapi mungkin juga nanti, di Piala Eropa 2020.