Membicarakan tentang The Invincible di Asia Tenggara, semua mata akan menuju ke tiga tim, yakni Johor Darul Ta’zim asal Malaysia dan dua sisanya klub Thailand, Muangthong United serta Buriram United.
Hampir saja hal itu bertambah menjadi empat, kala Svay Rieng FC membuat jagad sepak bola Asia Tenggara riuh dengan peluangnya menjadi The Invincible pertama, dalam buku sejarah sepak bola Kamboja.
Bak belum diberkati dan diberikan izin oleh semesta, setelah tak terkalahkan dalam 25 laga dan menyisakan satu laga tersisa, Svay Rieng justru takluk dari Nagaworld FC dengan skor 2-1.
Sebenarnya Svay Rieng masih berpeluang jadi klub pertama Kamboja yang meraih double winner, melalui ajang Hun Sen Cup 2019. Namun lagi-lagi rekor itu harus pupus setelah Boeung Ket memenangkan laga dengan drama adu penalti.
Kehebatan Svay Rieng FC terselip di antara nama-nama besar seperti Phnom Penh Crown dan Boeung Ket dalam lini masa sejarah sepak bola Kamboja. Dua nama terakhir telah malang melintang di Piala AFC dan Mekong Club Championship.
Bahkan Boeung Ket pernah menjadi runner-up Mekong Club Championship, saat dilindas raksasa Thailand, Buriram United, pada 2015 silam.
Minim pengalaman di kancah kontinental, bukan berarti juara C-League 2 ini dikatakan anak baru. Tim ini lahir berbarengan dengan memanasnya hubungan politik antara pihak kerajaan dan Hun Sen dalam memperebutkan tampuk kekuasaan Kerajaan Kamboja.
Tepatnya pada tahun 1997, Svay Rieng FC lahir dengan nama Royal Sword yang dibawahi langsung oleh Police Military General Commander pada saat itu, Sao Sokha. Ia juga merupakan mantan pengawal dan penasihat pribadi Perdana Menteri Kamboja, Hun Sen.
Memang, dalam sejarah sepak bola kamboja, sistem liga yang pertama berlangsung pada tahun 1965, jauh dari tahun lahirnya Svay Rieng FC. Namun, pada tahun tersebut, kebanyakan tim yang berpartisipasi dalam liga adalah tim perwakilan dari institusi negara, misalnya Ministry of Commerce yang mewakili Kementerian Perdagangan, dan Ministry of Transports dari Kementerian Transportasi.
Terhitung sedari tahun 1982-1999, hanya Kampong Cham yang berhasil memenangkan liga atas nama sebuah daerah, dan lainnya adalah dominasi tim hasil menyusui institusi negara.
Baru pada tahun 2000-an, banyak klub lahir dengan mengatasnamakan daerah beserta nama sebuah perusahaan yang menggandeng mereka.
Contohnya Nagacorp FC (pada 2005 berubah jadi Nagaworld) di bawah naungan Nagacorp. Lalu ada Samart United yang digandeng Samart Communications, kelak berubah jadi Phnom Penh Crown.
Di sinilah terdapat dua masa kelahiran tim sepak bola Kamboja, yakni institusi dan industri. Sedangkan Royal Sword lahir di masa ketika gencarnya tim-tim beralih dari institusi ke industri.
Jika sepak bola terlalu kasar untuk dikatakan sebagai kuda politik oleh para elite Kamboja, maka kata yang tepat adalah sepak bola menjadi lahan basah untuk menarik simpati masyarakatnya.
Mulai dari sang pangeran, Norodom Ranariddh, dengan Khmera Keila yang sempat bersinar dan menjadi idola masyarakat. Serta Perdana Menteri Hun Sen yang bekerja sama dengan FFC, PSSI-nya Kamboja.
Mereka membuat sebuah turnamen resmi bertajuk Hun Sen Cup atau The Samdech Akka Moha Sena Padey Decho Hun Sen Cup. Tak hanya sebatas itu, Hun Sen juga mulai menyiarkan pertandingan timnas Kamboja secara langsung di halaman Facebook-nya.
Ketika politik dan industri mulai mengendus keuntungan dari geliat sepak bola Kamboja, ditambah masyarakatnya yang juga mencintai olahraga ini, maka tahap selanjutnya adalah perlombaan dalam membangun pondasi tim dengan baik.
Singkatnya, mereka mulai berkiblat ke sepak bola yang lebih profesional. Agar tidak melulu berkutat pada kekuasaan dan pundi-pundi dolar, tapi juga prestasi harus berbanding lurus dan bijaksana.
Mengikuti jejak kebanyakan tim lainnya, pada tahun 2007 di bawah arahan presiden klub yang baru, Royal Sword mengubah namanya menjadi Preah Khan Reach FC (PKR FC), dengan mencanangkan berbagai tujuan yang lebih terarah.
Salah satunya adalah diakui FFC agar bisa ikut berkompetisi dalam ajang resmi liga naungan federasi. Di tahun yang sama, permohonan izin diterima dan PKR FC diperbolehkan mengikuti liga strata kedua dalam urutan hierarki sepak bola Kamboja.
Masih di tahun yang sama, PKR FC berhasil promosi ke C-League setelah melakoni tujuh pertandingan tak terkalahkan di divisi dua. Mereka bersama Moha Garuda FC berhak mengarungi C-League edisi 2008.
Setelahnya, PKR FC konsisten di liga teratas, namun tetap dalam bayang-bayang Phnom Penh Crown, Nagaworld, dan Boeung Ket. Mereka berhasil meraih juara dalam Hun Sen Cup sebanyak empat kali dan C-League sebanyak dua kali.
Dan pada tahun 2013, mereka menambahkan nama provinsi sebagai kebanggaan tim, menjadi Preah Khan Reach Svay Rieng FC, atau yang biasa disebut dengan Svay Rieng FC. Nama itu seperti keberuntungan lantaran di tahun yang sama, mereka mendapatkan gelar liga untuk yang pertama kali.
Melangkah ke tahun 2019, tim ini seakan bertransformasi menjadi kekuatan baru sepak bola Kamboja. Target mereka tidak hanya domestik, namun juga kontinental.
Tujuan mereka jelas, yakni berharap lolos fase gugur melawan Master 7 dari Laos dan berhak menempati satu tempat di Grup G Piala AFC 2020 bersama Bali United, Ceres Negros dan Thanh Quang Ninh.
Hadirnya kembali Mekong Club Championship setelah terakhir digelar pada tahun 2017, mempertemukan tim-tim dari negara yang dilintasi Sungai Mekong.
Itu berarti kompetisi ini akan diikuti oleh Lao Toyota juara Lao Premier league, Chiangrai United juara Thai League 1, Hanoi FC juara V.League 1, dan Shan United sebagai juara Myanmar National League.
Ditambah hadirnya ASEAN Club Championship yang dibawahi langsung oleh AFF dan digelar dua tahun sekali. Svay Rieng FC harus melewati babak play-off sebelum masuk dalam fase grup.
Menuju Piala AFC 2020
Persiapan dilakukan dengan pemusatan latihan di Malaysia selama beberapa minggu. Alasannya beragam.
Pertama adalah memberikan pengalaman kepada para pemainnya ketika harus pergi ke luar negeri dan menyesuaikan diri dengan cepat.
Kedua, Malaysia dianggap lebih maju dan memilih Kuala Lumpur dengan kondisi metropolitan dan gairah suporternya yang jauh berbeda dari kondisi Svay Rieng yang merupakan perbatasan antara Kamboja dan Vietnam. Kawasan ini relatif sepi penonton.
Hasil dari uji coba itu tidaklah main-main. Dari tiga laga, mereka memenangkan semuanya dengan skor 4-3 melawan Terengganu FC, menang 2-1 atas Felda United, dan Selangor FA dihajar 4-0.
Christopher Grant dalam wawancaranya bersama Goal menyebutkan bahwa ia akan membawa tim ini ke dalam tahap yang lebih tinggi lagi.
Ia menyadari bahwa Svay Rieng FC tidak sebesar Phnom Penh Crown, pun anggaran mereka yang juga terbatas. Namun, ada beberapa hal pokok yang mereka garis bawahi, setidaknya ada tiga hal, yakni;
Pertama, Grant tidak hanya mengandalkan strategi konvensional, tapi juga akan melibatkan statistik dan informasi analitis dari tiap lawan yang akan dilawan, baik sebelum pertandingan dan evaluasi setelahnya.
Kedua, pengawasan transfer pemain secara ketat dan mendukung secara penuh akademi mereka. Ada 10 pemain yang bermain di timnas Kamboja, dengan empat pemain yang menjadi tulang punggungnya. Pun Soeuy Visal yang didapuk menjadi kapten Svay Rieng FC adalah kapten timnas Kamboja pula.
Svay Rieng FC memiliki beberapa kelas usia dalam sepak bola di Provinsi Svay Rieng, yakni U-18 dan U-16. Semua diperhatikan laiknya tim senior mereka. Saat jeda kompetisi pun mereka terus diberikan menu uji coba, sama dengan senior mereka yang pergi ke Malaysia.
Di usia bawahnya, mereka mendirikan sekolah sepak bola dengan biaya per minggunya 2,50 USD atau setara Rp34 ribu.
Ketiga, Grant mengutarakan bahwa hubungan baik dengan pemilik klub, Dy Vichea, adalah salah satu kunci kesuksesannya. Ditambah Dy adalah orang yang paham sepak bola, sehingga membuat Svay Rieng memiliki arah yang jelas.
BACA JUGA: Kembalinya Kesaktian Pendekar Cisadane
Dikutip dari Goal, ia mengatakan, “Terkadang kita harus melawannya sedikit untuk mendapatkan apa yang kita inginkan, tetapi dia umumnya menerima ide-ide kami.”
Tampak berlebihan kalau tulisan ini menyebutkan Svay Rieng adalah pemacu libido hasrat sepak bola Kamboja yang lebih terstruktur. Tidak melepas politik dan industri, namun menggandeng dua hal ini jadi sebuah tatanan baru meraih “sesuatu”. Tidak hanya dalam level tim saja, namun juga tim nasionalnya.
Sepak bola Kamboja dan Svey Rieng-nya memang bukanlah sebuah utopi yang pantas dijadikan kiblat bagi tumbuh kembang sepak bola Indonesia. Namun, terkadang kita sibuk mendongak melihat ke atas, memperhatikan surga yang telah absolut dan bergerak secara ritmis.
Padahal, sesekali melihat ke bawah itu perlu. Melihat sesuatu yang sedang berproses, belajar bersama dan memahami satu hal bahwa kemajuan dapat diperoleh melalui upaya sedari gerakan akar rumputnya, para jajaran elitd dan orang-orang yang memiliki kepentingan di dalamnya. Tabik!
*Penulis adalah penggemar sepak bola Asia Tenggara, dengan diary pribadi di pukulrata-sepakbola.blogspot.com. Bisa disapa di akun twitter @gustiaditiaa