Cerita

Dilema Suar di Sepak Bola

Flare, suar, cerawat, atau apapun sebutannya, bagi sebagian suporter adalah hal yang menyenangkan. Ketika pijar merah dan asap tebal mengepul, dianggap membuat atmosfer pertandingan menjadi lebih hidup.

Sering kali kehadirannya digunakan untuk memeriahkan suasana sekaligus sebagai simbol dukungan suporter kepada tim kesayangan mereka. Ketika gol tercipta, atau menjelang akhir pertandingan yang berujung kemenangan terlebih dari rival tertentu, sering kali suar dinyalakan. Pun sebagai tekanan terhadap lawan.

Juga sebaliknya, suar bisa digunakan sebagai simbol protes atau ungkapan kekecewaan.

Baru-baru ini di Jakarta, suar memerahkan tribun Stadion Utama Gelora Bung Karno kala Persija Jakarta dan Jakmania berpesta. Malam itu seluruh penonton yang hadir merayakan hari jadi Macan Kemayoran ke-91 tahun. Suar dihadirkan sebagian suporter untuk memeriahkan pesta usai laga.

Berbeda dengan yang terjadi di Stadion Kapten I Wayan Dipta akhir musim lalu. Suar yang membakar tribun diartikan sebagai protes suporter dengan hasil yang tidak sesuai harapan.

BACA JUGA: Serba Kedua di Gelar Juara Bali United

Suar memang seolah begitu akrab dengan sepak bola. Sayangnya, suar yang menghasilkan sebuah cahaya karena pembakaran logam magnesium, tidak sepenuhnya baik bahkan menyimpan bahaya. Suar itu sendiri semula digunakan sebagai sinyal ataupun sebuah kode, sebagai alat penerangan, atau sebagai perlengkapan dalam kemiliteran.

Memiliki sifat tidak bisa padam walaupun disiram air dan mempunyai ketebalan asap yang sangat pekat, kepulan asap tersebut dapat dengan lama bertahan berputar-putar di udara dalam jangka waktu yang lama. Maka suar berguna untuk memberi sebuah tanda apabila terjadi hal-hal bersifat darurat.

Di stadion, selain api yang sangat panas, asap pekat juga berbahaya untuk kesehatan penghirupnya. Juga bisa berakibat jarak pandang yang terbatas. Bahkan ada satu kejadian ketika suar merenggut nyawa.

Awal September 2017 lalu, usai laga persahabatan Indonesia melawan Fiji di Stadion Patriot Chandrabhaga, Bekasi, seorang suporter di tribun timur tewas bersimbah darah, karena terbentur roket suar yang dilontarkan suporter lainnya.

BACA JUGA: Dua Tahun Setelah Catur Yuliantono Meninggal

Dengan segala bahayanya suar menjadi sesuatu yang coba dijauhkan dari sepak bola. Aturan-aturannya juga sudah ada. Mulai dari Kode Disiplin PSSI hingga FIFA Stadium Safety and Security Regulations mengaturnya.

Dalam Pasal 70 ayat (1) Kode Disiplin PSSI, penggunaan suar dikategorikan sebagai tingkah laku buruk yang dilakukan oleh penonton. Untuk itu, klub baik ketika bermain kandang maupun tandang, harus bertanggung jawab. Tidak tanggung-tanggung, denda antara 50 juta hingga 100 juta mengancam.

Tingkah  laku buruk  yang dilakukan  oleh penonton merupakan  pelanggaran disiplin. Tingkah  laku buruk penonton termasuk tetapi tidak terbatas pada; kekerasan kepada orang atau objek tertentu, penggunaan benda-benda yang mengandung api atau dapat mengakibatkan kebakaran (kembang api, petasan, bom asap (smoke bomb), suar (flare), dan sebagainya), penggunaan alat laser, pelemparan misil, menampilkan slogan yang bersifat menghina, berbau keagamaan/religius atau terkait isu politis tertentu, dalam bentuk  apapun (secara khusus dengan cara memasang bendera, spanduk, tulisan, atribut, koreo, atau sejenisnya selama pertandingan berlangsung), menggunakan kata-kata atau bunyi-bunyian yang menghina atau melecehkan atau memasuki lapangan permainan tanpa seizin perangkat pertandingan dan panitia pelaksana.

BACA JUGA: Mengenal Standar Prosedur Keamanan di Stadion Sepak Bola

Sedangkan dalam FIFA Stadium Safety and Security Regulations, tentang suar dimuat Pasal 52 huruf C butir i. Secara jelas suar, kembang api, juga bentuk lainnya menjadi sesuatu yang dilarang.

“The stadium safety and security management team must adopt and enforce a clear policy prohibiting spectators from bringing flares, fireworks or other forms of pyrotechnics into the stadium. This should be clearly stated in the stadium code of conduct.” demikian yang tertulis di sana.

Entah kenapa, meski jelas dilarang, bahkan hukuman terus dijatuhkan, ada saja alasan untuk suar menyala di dalam stadion, terutama di Indonesia. Bahkan muncul ungkapan flare is not crime an also flare not forbid, atau juga no flare no party, kemudian.

Benar suar bukan suatu kriminal, tapi perlu ditekankan penyalaan suar dilarang di sepak bola dengan segala pertimbangannya. Selain mengganggu jalannya pertandingan, juga ada bahaya yang tersimpan.