Editorial

Dua Tahun Setelah Catur Yuliantono Meninggal

2 September 2017 menjadi hari kelabu bagi sepak bola Indonesia. Seorang suporter timnas Indonesia harus meregang nyawa, yang ironisnya, ketika menyaksikan langsung Sang Garuda berlaga di stadion, di kandangnya sendiri. Namanya Catur Yuliantono.

Peristiwa tragis itu terjadi di tribun timur Stadion Patriot Chandrabhaga, Bekasi. Sebuah petasan yang melesat cepat jatuh di tengah kerumunan suporter di area tersebut. Nahas, benda yang dilarang masuk ke stadion itu mendarat di kepala Catur, yang sekejap membuat kepalanya terbakar.

Api menyala, asap mengepul, dan sejumlah teriakan memecah suasana di tengah riuhnya dukungan suporter ke timnas Indonesia. Beberapa orang di dekatnya ada yang melepas jaket untuk memadamkan api, ada juga yang menyiramkan air agar Si Jago Merah tidak menjalar ke sekujur tubuh Catur.

Kejadian berlangsung sangat cepat. Usai api berhasil dipadamkan, warga Duren Sawit, Jakarta Timur, berusia 32 tahun itu, bergegas dilarikan ke rumah sakit. Sayangnya upaya tersebut tak membuahkan hasil. Catur menghembuskan napas terakhirnya dalam perjalanan.

Baca juga: Kalian Bawa Petasan ke Stadion Buat Apa?

Dua tahun setelah kejadian

Kini dua tahun telah berlalu sejak kejadian Catur Yuliantono. Di bulan yang sama, di minggu pertama juga, timnas Indonesia kembali berlaga. Bedanya kalau dulu pertandingannya hanya laga persahabatan lawan Fiji yang jumlah penduduk negaranya tidak lebih besar dari Kabupaten Klaten, besok (5/9) Indonesia bersua Malaysia di kualifikasi Piala Dunia 2022.

Tensi pertandingannya sudah tentu berbeda. Malaysia beda dengan Fiji. Kalau imbang atau kalah lawan Fiji, paling-paling hanya caci maki di media sosial yang beredar, tapi kalau kalah lawan Malaysia di kandang, bisa-bisa GBK diruntuhkan massa dan kerusuhan 22 Mei akan muncul sekuelnya di Senayan.

Rawan bentrok? Sangat. Berbuntut ricuh? Ada potensi. Timbul korban? Jangan sampai. Sekalipun bermain di GBK, stadion termegah di Indonesia dengan lapisan keamanan yang super ketat, suporter tetap harus menahan diri.

Baca juga: Mengenal Standar Prosedur Keamanan di Stadion Sepak Bola

Mengutip pendapat Isidorus Rio, kita tidak melawan musuh di stadion, melainkan menuntaskan hajat demi kesehatan batin. Menonton sepak bola, selain eskapisme dari brengseknya dunia, juga cara terbaik meredakan tekanan hidup.

Stadion bukan tempat berperang untuk menghabisi nyawa lawan, stadion bukan tempat beradu senjata (apapun bentuknya) untuk menggoreskan luka fisik di kubu lawan. Wahai suporter, janganlah kalian membawa apapun benda yang dilarang masuk stadion, demi keamanan bersama.

Tidak hanya di GBK dan tidak harus di saat mendukung timnas saja. Pun di kala mendukung klub jagoan masing-masing.

Percayalah, sudah terlalu banyak orang tua berurai air mata kala mengubur anak tercintanya, yang pamitnya menonton sepak bola, tapi pulang dalam bentuk kabar duka.

Istirahatlah yang tenang, Catur Yuliantono.