Kolom

Kalian Bawa Petasan ke Stadion Buat Apa?

Di laga kedua Timnas U-22 kontra Filipina di SEA Games 2017, jumlah penonton membengkak secara drastis. Bila di laga pertama jumlah suporter tak menyentuh angka 10 ribu, di laga kedua yang berlangsung di malam hari, jumlah suporter meningkat pesat dengan estimasi angka menyentuh angka 10 ribu lebih. Beberapa klaim dari media Malaysia bahkan menyebut ada 15 ribu suporter kala itu di Stadion Shah Alam.

Dan membeludaknya jumlah suporter ini terasa di antrian panjang memasuki stadion. Panitia hanya membuka dua pintu untuk mengakomodasi puluhan ribu suporter yang datang. Keputusan yang aneh dan menyebabkan antrean suporter mengular panjang di Pintu G dan H Stadion Shah Alam. Di tengah-tengah keriuhan antrean, saya menghampiri seorang petugas keamanan.

Kenape ni tak buka cukup gate, bang?”, ujar saya sopan dan sok akrab kepada petugas berbadan besar keturunan India. Dengan peluh masih menetes dan seragamnya yang mulai basah kuyup karena keringat, beliau masih menyempatkan tersenyum dan menjawab, “sebab security kita perketat, kemarin ada suporter Indonesia bawa senjata tajam ke stadion.”

Saya terkejut, raut muka saya menegang, tapi berusaha tenang. Laga pertama melawan Thailand hanya dihadiri tak sampai 50 suporter Thailand. Kenapa gerangan masih ada suporter Indonesia yang melawat ke Shah Alam membawa senjata tajam? Dari petugas, saya tahu kemudian bahwa senjata tajam yang dibawa berupa dua celurit dan satu pisau.

Untuk hal-hal seperti ini, saya terkadang sering kehabisan kata-kata dan mendadak merasa bodoh. Selain dalamnya samudera dan isi hati perempuan, ada satu yang misterius di dunia ini: isi kepala segelintir suporter Indonesia.

Dari senjata tajam hingga petasan

Berkunjung ke stadion, dari tafsir Eduardo Galeano sampai nukilan Darmanto Simaepa, saya rasa tak ada satupun yang menyinggung bahwa kehadiran ke stadion harus seperti bersiap untuk berangkat perang. Kita tidak melawan musuh di stadion, melainkan menuntaskan hajat demi kesehatan batin. Menonton sepak bola, selain eskapisme dari brengseknya dunia, juga cara terbaik meredakan tekanan hidup. Kalau kamu ke stadion membawa senjata tajam hingga petasan, kamu ini mau menonton bola apa bersiap Perang Dunia, bung?

Dari segelintir fakta mencengangkan tentang perilaku suporter yang barbar di stadion, saya rasa mereka-mereka yang masih membawa petasan ke dalam stadion adalah kumpulan monyet-monyet di Galapagos, yang jika merunut pada teori Charles Darwin, mungkin mereka tidak sukses melanjutkan proses evolusi dari monyet menjadi manusia.

Saya masih cukup bisa memahami perilaku ibu-ibu penunggang motor  yang memencet sein belok ke kanan tapi justru belok ke kiri. Atau segelintir orang yang dengan bangga memamerkan kenikmatan memakan rendang dengan kecap. Tapi memahami kelakuan oknum yang membawa petasan ke dalam stadion, rasa-rasanya hal itu hanya bisa dipahami oleh sesama primata saja, misalnya, sesama monyet.

Previous
Page 1 / 2