Kolom

Joey Barton, Adiksinya Pada Anarki dan Mengapa Dia Tetap Dicintai

Apa yang pertama kali ada dalam benak saat mendengar nama Joey Barton?

Sikap tak kenal aturan di dalam dan luar lapangan mungkin jadi jawaban mayoritas. Faktanya, Barton memang tak bisa dipisahkan dengan kebrutalan yang dilakukannya sejak memulai karier profesional di Manchester City pada 2002 silam. Namun, di antara banyak hal anarki yang membuatnya seakan ketergantungan, Barton juga dikenal sebagai pesepak bola paling jujur dalam beropini.

Lahir di Huyton, Liverpool, hari ini 34 tahun lalu, latar belakang keluarga Barton memang cukup memprihatinkan. Anak pertama dari empat bersaudara ini sudah harus menyaksikan getirnya kehidupan setelah orang tuanya berpisah saat dirinya baru berusia 14 tahun. Sempat digadang-gadang bakal jadi atlet rugbi berbakat, Barton malah memilih sepak bola sebagai jalan hidupnya. Pilihannya tak salah, meski diwarnai beragam kejadian kontroversial.

Setelah menjalani serangkaian penampilan debut pada akhir musim 2002/2003, dia mendapat hadiah kontrak berdurasi satu tahun dari manajer City kala itu, Kevin Keegan. Benih kebrutalan hadir tak lama berselang. Pada laga Piala FA melawan Tottenham Hotspur, April 2004, Barton menerima kartu merah pertamanya atas insiden janggal: memprotes keras wasit saat jeda babak pertama dilangsungkan. Meski demikian, dia mengakhiri musim dengan status pemain muda terbaik The Citizens.

Musim 2004/2005, kebrutalan mulai terlihat dalam diri Barton. Pertama, dirinya memicu perkelahian antarpemain setelah dituduh mengait kaki lawan pada pertandingan yang sebenarnya cuma bertajuk uji coba pramusim. Jika itu belum cukup, malam Natal 2004 diwarnai dengan insiden penekanan rokok pada mata pemain muda City, Jamie Tandy, yang membuat Barton didenda setara enam pekan gajinya.

Setelahnya, karier Barton tak bisa lepas dari kebrutalan, mulai dari menabrak pejalan kaki di Liverpool pada pukul 2 dinihari, hingga kekerasan yang dilakukannya terhadap suporter muda Everton saat tur bersama The Citizens di Thailand. Pemain yang berposisi sebagai gelandang bertahan itu sempat menjalani terapi, tapi malah semakin menjadi-jadi.

Previous
Page 1 / 2