Nasional Bola

Perihal Flare dan Ketertiban Suporter di Indonesia

Laga persahabatan antara timnas Indonesia U-22 melawan timnas Myanmar akan berlangsung Selasa 21 Maret 2017 di stadion Pakansari, Cibinong, Bogor, Jawa Barat. Pertandingan ini adalah satu dari serangkaian laga uji coba timnas Garuda Muda jelang tampil di SEA Games 2017 Agustus depan di Malaysia.

Selain itu, laga lawan Myanmar ini adalah laga pertama bagi pelatih timnas U-22 yang baru, Luis Milla. Para pecinta sepak bola pastinya  menunggu-nunggu seperti apa taktik permainan yang diterapkan pelatih asal Spanyol ini. Satu lagi, para suporter tim Merah Putih juga ingin melihat aksi pemain naturalisasi yang baru saja tiba di Indonesia, Ezra Walian.

Sebagai pecinta sepak bola, tentunya kita berharap laga besok Hansamu Yama dan kolega bisa menampilkan yang terbaik. Dan diharapkan juga para suporter bisa bersatu, bersuka cita mendukung tim nasional. Intinya, bisa tertib. Tidak mau, kan, timnas bertanding tanpa penonton?

Seperti yang dimuat di situs resminya, PSSI menyerukan pada awak media untuk mensosialisasikan larangan penggunaan flare selama pertandingan berlangsung. Jika kita masih ingat, saat ajang AFF 2016, Indonesia sempat terkena sanksi gara-gara penggunaan flare di stadion Pakansari saat semifinal. Tidak cuma Indonesia, negara peserta AFF lain seperti Thailand dan Vietnam juga mengalami hal yang sama.

Sebenarnya, flare itu apa? Banyak orang yang mengira flare itu kembang api. Flare bisa didefiniskan sebagai pyrotechnique yang menghasilkan cahaya atau api yang lebih lama, namun tanpa disertai ledakan. Awalnya flare digunakan untuk keperluan militer, yaitu sebagai alat penerangan yang bisa berfungsi dimanapun saat kondisi darurat. Bahkan tidak padam sekalipun di air.

Lalu, bagaimana ceritanya flare ada di stadion sepak bola? Banyak yang mengkaitkan penggunaan flare di stadion ini dengan munculnya para perusuh atau hooligans di Eropa. Sekitar beberapa tahun terakhir memang stadion kurang ”hidup” kalau tidak ada yang menyala terang. Trennya memang penjualan flare ini naik walau penjualnya semakin sedikit.

Parahnya lagi, ada kebanggaan kalau bisa membakar flare walau dilarang. Terkesan pemberani dan kreatif, apalagi jika yang berlaga adalah dua tim dengan rivalitas sengit.

Pada 10 Agustus 2014 Persija sempat dijatuhi hukuman oleh Komisi Disiplin (Komdis) PSSI saat para suporternya menyalakan flare saat berlangsung laga ”El Classico” melawan Persib Bandung di stadion Gelora Bung Karno, Senayan, Jakarta. Akibat ulah suporter ini, manajemen klub harus membayar dengan sebesar 75 juta rupiah.

Sebenarnya flare sendiri tidak dilarang. Bahkan dalam aturan FIFA yang berkaitan dengan Security Check, flare tidak termasuk dalam benda yang dilarang masuk stadion. Yang lebih ditekankan adalah larangan membawa minuman beralkohol.

Flare tidak dilarang selagi tidak digunakan untuk mengganggu jalannya pertandingan dan membahayakan keamanan pihak lain. Saat kompetisi Liga Indonesia tahun 2012, pemain Persiba Balikpapan, Iqbal Samad, menjadi korban ledakan petasan saat timnya melakoni laga derbi melawan Persisam Samarinda di Samarinda.

Kabar baiknya adalah budaya flare di Indonesia belum mencapai taraf brutal. Dalam artian, mereka sudah sadar akan aturan. Hal ini dikemukakan Menteri Pemuda dan Olahraga (Menpora) Iman Nahrowi yang menyaksikan  laga uji coba Persebaya melawan PSIS Semarang di Gelora Bung Tomo, Minggu 19 Maret 2017. Laga sempat dihentikan tiga kali karena ulah suporter menyalakan flare. Saat diminta dimatikan, para suporter pun langsung mematikannya.

Semoga para suporter bisa tertib besok saat laga Indonesia melawan Myanmar berlangsung. Kalau suporter tidak tertib, yang rugi tidak hanya mereka sendiri, namun juga tim yang kita dukung. Mari menjadi suporter tertib!

Author: Yasmeen Rasidi (@melatee2512)