Cerita

Suporter, Jalankan Saja Tugas Kalian!

Sebenar-benarnya tugas suporter adalah memberi dukungan ke tim yang dibelanya. Berdiri 90 menit di waktu normal pertandingan, mengguncangkan tribun, juga berteriak lantang memanjatkan chant paling sakral.

Namun kenyataannya tidak sesederhana itu. Ketika dukungan dirasa tidak cukup, aksi lain kerap kali dilakukan. Tekanan terhadap pemain dan pelatih yang dirasa tidak maksimal di lapangan, kritik terhadap manajemen klub yang dirasa tidak bekerja seperti yang diharapkan, dilakukan.

Caranya pun beragam. Mulai dari teriakan di balik pagar tribun, kata-kata kritik yang dibentangkan, menggeruduk kantor manajemen klub, hingga pelemparan, menerobos masuk lapangan, juga pemukulan pelatih pernah terjadi.

Belum lagi boikot yang dianggap cara terakhir menuntut perbaikan tim itu sendiri. tidak jarang tribun tiba-tiba sepi penonton dengan berbagai alasan. Yang paling sering adalah performa di lapangan yang tidak sesuai harapan. Atau juga kekecewaan terhadap manajemen.

BACA JUGA: Aksi Boikot Suporter: Perlu atau Tidak?

Hal serupa yang kini dirasakan tim nasional Indonesia. Beberapa kali berlaga, di berbagai jenjang usia, sebagian suporter setia tim Garuda dengan tegas menyatakan sikap tidak akan hadir mengisi tribun.

Alasannya, kekecewaan kepada federasi yang dianggap bobrok dan menuntut segera terjadi revolusi di tubuh PSSI. Juga menuntut tim nasional untuk lebih berprestasi.

Padahal bila dilihat sekilas, keinginan agar timnas berprestasi dan aksi boikot yang dilakukan adalah dua hal yang berlawanan. Bagaimana pun juga, saat berlaga, para pemain jelas butuh dukungan. Sebenar-benarnya dukungan adalah aksi langsung di tribun-tribun stadion.

Selain bisa membangkitkan semangat dan menjadi tambahan tenanga, kehadiran suporter dalam jumlah besar jelas akan menjadi teror tersendiri bagi lawan.

Seperti yang diungkapkan pelatih kepala U-19, Fakhri Husaini yang juga merasakan aksi boikot suporter. Ia mengaku merasa aneh ketika reaksi terhadap federasi justru mengorbankan dukungan timnas yang sedang berjuang.

“Ada perbedaan yang jelas antara suporter itu mencintai sepak bola atau mencintai PSSI. Kalau mereka mencintai sepak bola, mereka nggak peduli soal organisasi. Buat saya aneh saja, reaksi terhadap federasi terus memboikot tim nasional,” ucapnya dalam salah satu sesi jumpa media usai Garuda Asia berlaga.

BACA JUGA: Untukmu, Alfin Lestaluhu…

Ia juga mengungkapkan, anak asuhnya yang terbilang pemain muda dengan kisaran usia 17 tahun butuh dukungan besar saat berlaga. Kehadiran suporter diharapkannya dapat mendongkrak mental bermain. Sangat disayangkan, anak-anak yang tidak tahu apa-apa harus menjadi korban kepentingan.

Tapi di sisi lain, Fakhri juga mengerti akan apa yang dilakukan sebagian suporter Garuda. Ia memastikan, ada atau tidak ada penonton di balik pagar tribun, ia dan anak asuhnya akan tetap menampilkan permainan terbaik. bahkan ditegaskan, tidak akan berkurang semangat meski tidak ada satu pun penonton yang hadir.

“Tapi buat saya nggak masalah. Ada atau tidak ada penonton, kami akan main seperti yang kalian lihat. Ini saya sampaikan, saya tegaskan bahwa tidak sedikit pun berkurang semangat tim U-19 ini betanding meski tidak ada satu penonton menonton.”

Perlu diingat, apa pun itu, hadir langsung memberi dukungan atau menjalankan aksi-aksi demi sebuah perbaikan, tujuannya tetap sama. Prestasi dan performa tim yang dibanggakan. Tapi sebagai suporter, jangan sampai aksi-aksi yang kalian lakukan justru membuat lupa akan tugas suporter itu sendiri. 

Berdiri 90 menit pertandingan, mengguncangkan tribun, juga berteriak lantang memanjatkan chant paling sakral.