Cerita

Tentang Cap “Juara Settingan” di Liga Indonesia

Bali United baru saja mengunci gelar juara Shopee Liga 1 2019, Senin (2/12) lalu, namun olok-olok “juara settingan” masih saja menggema di berbagai area, baik maya maupun nyata.

Sejak dua musim ke belakang, Bhayangkara FC dan Persija Jakarta sudah lebih dulu merasakan olok-olok “juara settingan” sejak era liga resmi, usai dibekukannya federasi.

Meski bukan liga yang sempurna dan diidam-idamkan, Liga 1 hadir bak oase di tengah gurun ketidakpastian kompetisi. Maka ibarat pipa air yang bocor, lebih baik menutup lubang-lubang berisi olok-olok “juara settingan” di Liga Indonesia, daripada kembali mematikan keran besar yang membuat banyak pencinta sepak bola kehausan.

Jika bicara tentang keadilan, lubang-lubang yang menganga berteriak seolah sang juara telah diatur jauh sebelum liga selesai atau bahkan dimulai, sama banyaknya dengan kotoran-kotoran bernama mafia sepak bola yang menyumbat air yang disalurkan lewat kran besar bernama Liga 1.

Kalau kotoran yang menyumbat itu perlahan sudah dibersihkan Satgas Antimafia Bola meski acap kali tak kasat mata, lantas bagaimana menutup lubang olok-olok “juara settingan” yang tiba-tiba tumbuh subur di benak para suporter Indonesia bak jamur di musim penghujan?

Liga 1 hampir selesai menjalani musim ketiganya. Sejak digulirkan tahun 2017 cerita selentingan soal match acting dan match fixing kerap mewarnai hari-hari pertandingan, dan tak jarang turut memengaruhi persaingan menuju tangga juara.

Menariknya selama dua musim ke belakang, meski sengit hingga game day terakhir, tetap saja juara baru yang ditahbiskan tak lepas dari olok-olok “juara settingan“.

Demi menikmati air jernih yang dikucurkan dari kran besar bernama Liga 1, mereka mulai mengorek-ngorek pipa dan mencari kotoran berupa kejanggalan yang terjadi berulang selama liga bergulir, hingga bermuara ke dua kubu ibu kota yang kebetulan menjadi kampiun, sebelum trofi juara berpindah ke Pulau Dewata.

BACA JUGA: Bau Anyir Gelar Juara Bhayangkara FC

Di 2017, Bhayangkara FC menahbiskan diri sebagai juara era Liga 1 pertama kalinya. Tim yang asal-usulnya kelewat rumit untuk diikuti ini mampu menghasilkan 68 poin. Jumlah poin tersebut sama dengan yang diraih peringkat kedua, Bali United, tapi The Guardians unggul head-to-head dengan Serdadu Tridatu.

Kejanggalan terjadi ketika PT. Liga Indonesia Baru memberikan sanksi ke Mitra Kukar dalam pertemuannya melawan Bhayangkara FC, seminggu sebelum pekan terakhir alias penentuan gelar. Gara-garanya, Naga Mekes memainkan Mohamed Sissoko yang seharusnya absen lantaran menerima akumulasi kartu kuning, dan kemudian dicap ilegal oleh Komisi Disiplin PSSI.

Lewat keputusan Komdis pada 5 November 2017, Naga Mekes dijatuhi hukuman kalah WO dari Bhayangkara FC kendati skor akhir pertandingan berakhir imbang 1-1. Hasil ini membuat Bali United yang tadinya berada di pucuk klasemen setelah menang dramatis di kandang PSM Makassar, terpelanting ke peringkat kedua.

Di 2018, lagi-lagi Mitra Kukar menjadi cameo perebutan gelar juara Liga 1. Jika musim sebelumnya mereka jadi pesakitan sebelum laga penentuan, kali ini Mitra Kukar punya “andil” dalam penentuan juara di kandang Persija Jakarta, Stadion Gelora Bung Karno.

Gol kedua Persija yang dicetak Marko Simic memicu kontroversi, karena sebelumnya para pemain dan ofisial Mitra Kukar menganggap Ramdani Lestaluhu melanggar Yoo Jae-hoon. Tapi, wasit tidak bergeming dengan keputusannya. Tetap gol.

BACA JUGA: Dwigol Marko Simic, Jawaban Untuk Penantian 17 Tahun Macan Kemayoran

Bagaimana dengan Bali United?

Jika bicara persaingan musim ini, Bali United memang tak perlu deg-degan hingga game day terakhir, karena raihan poin mereka sudah kelewat jauh di pekan ke-30, sehingga sulit dikejar oleh Persipura Jayapura dan Borneo FC di peringkat kedua dan ketiga.

Namun bukan berarti olok-olok “juara settingan” pergi begitu saja dari hadapan Stefano Lilipaly cs. karena cibiran tersebut datang dengan dalih jarak poin antara ketiga tim yang cukup besar yakni 16-17 poin.

Di atas kertas baik Bali United dan dua juara Liga 1 sebelumnya tak dapat dinafikan menyuguhkan permainan bagus dan konsisten setiap pekannya, sehingga di atas lapangan mereka layak disebut yang terbaik.

Bhayangkara FC di bawah asuhan Simon McMenemy mampu bermain konsisten, Simon pun mampu memenangkan sebuah reli panjang alih-alih sebuah sprint, dengan gaya bermain pragmantis tapi tetap mampu menghasilkan tiga poin di akhir pertandingan.

Bhayangkara FC di tahun 2017 bukan tim yang bagus-bagus amat. Dari produktivitas gol mereka bahkan kalah dari Persipura yang berada di peringkat keenam atau Bali United, tim terproduktif di Liga 1 2017. Tapi, mereka jarang kehilangan poin krusial.

Mungkin semboyan “tiga poin atau tidak sama sekali” menjadi salah satu yang mereka anut, karena jumlah pertandingan seri The Guardians sepanjang musim hanya dua laga.

BACA JUGA: Herman Dzumafo Epandi dan Bagaimana Bhayangkara FC Memaksimalkan Kemampuannya

Sementara di 2018,  Stefano ‘Teco’ Cugurra meski timnya dicap selalu diuntungkan karena banyaknya penundaan jadwal pertandingan, harus diakui ia mampu membantu pemainnya tetap fokus menghadapi tiap pekan.

Sama seperti Bhayangkara FC, Persija Jakarta mungkin bukan tim terproduktif di liga tahun lalu, namun di tangan pelatih asal Brasil tersebut penantian 17 tahun terbayarkan.

Lantas bagaimana dengan Bali United musim ini? Banyak faktor yang memengaruhi kehebatan Serdadu Tridatu setidaknya hingga akhir pekan ke-30. Stefano Lilipaly cs. merupakan tim yang paling sedikit kebobolan yakni hanya 28 kali, pun mereka mampu memanfaatkan keangkeran Stadion Kapten I Wayan Dipta dengan status tak terkalahkan sejauh ini.

Belum lagi kehebatan Teco yang mampu menyulap para pemain yang sudah dicap uzur untuk kembali menemukan performa terbaiknya. Jika musim lalu ia berhasil mengangkat performa Maman Abdurrahman, kini Teco berhasil membuat Leonard Tupamahu bermain beringas seperti masa jayanya saat gondrong dulu.

BACA JUGA: ‘Menghidupkan’ (Lagi) Karier Maman Abdurrahman, Pekerjaan Terbaik Teco Cugurra di Persija Jakarta

Kerja keras para pemain dan pelatih Bali United di atas lapangan juga dibarengi performa baik manajemen di luar lapangan. Mulai dari menghidupkan kembali duet Ilija Spasojevic -Paulo Sergio dan mendatangkan kembali bek favorit Teco, Willian Pacheco.

Lalu di luar lapangan, Bali United juga gencar melakukan manuver. Contohnya, melepas saham ke publik, renovasi besar-besaran kompleks Stadion Dipta dengan megastore, taman bermain, kafe, dan lain-lainnya.

Lantas, apakah benar Bali United bukan juara settingan?

Kata setting atau ‘pengaturan’ menurut KBBI berarti proses, cara, atau perbuatan mengatur. Bali United dalam upayanya menapaki tangga juara memang berproses, dari akuisisi sampai sebesar sekarang. Tapi apakah dalam perjalanannya ada praktik ilegal atau tidak, perlu ditelisik lebih dalam, ketimbang sekadar melayangkan tudingan.

Lagi pula untuk mencari klub yang “bermain mata” itu sama saja mencari orang yang menjalankan praktik pesugihan atau santet. Tidak kasat mata, sehingga perdebatan akan selalu ada.

Jadi, lebih etisnya kita menyerahkan semua proses pada yang pihak berwenang, daripada melanggengkan olok-olok “juara settingan“. Kalau kita yakin ada tindakan tersebut, laporkanlah! Jangan hanya percaya pada cuitan beberapa influencer sepak bola di dunia maya, yang secara tak sadar memanfaatkan gaduhnya sepak bola Indonesia.

Dan satu lagi wahai para suporter. Jika nantinya tim kalian sendiri terindikasi sesuatu yang mencurigakan, maukah kalian berlapang dada melaporkannya?