Suara Pembaca

Sepak Bola, Medan Perang yang Terpinggir Melawan Arogansi Metropolitan

Sama seperti olahraga lainnya, sepak bola adalah permainan  berkelompok yang terdiri dari 11 orang, setiap orang mempunyai peran satu sama lain dan harus bekerja sama. Satu kelompok akan melawan kelompok lain dalam suatu durasi yang ditentukan untuk meraih kemenangan. Suatu konsep yang lumrah dan bisa ditemukan di olahraga manapun.

Namun,  sepak bola lebih dari sebuah pertandingan yang berjalan 90 menit atau lebih. Kadang, faktor sentimen yang melibatkan emosional suporternya turut menambah tensi pertandingan.  Bahwa sepak bola adalah pertarungan identitas masyarakat lokal klub tersebut melawan kubu lain yang bertolak belakang.

Tentu saja jika kita ingin mengetahui hubungan emosional antara suporter dengan sebuah klub dan kenapa hal itu begitu sangat erat, kita harus flashback di masa ketika klub-klub tersebut didirikan. Klub-klub sepak bola biasanya dibentuk oleh masyarakat lokal atau para pelajar sebagai wadah mereka untuk berolahraga bersama dan menjalin hubungan sebagai suatu komunitas.

Semakin banyak muncul klub olahraga dari waktu ke waktu, membuat pemerintah memutuskan untuk membentuk kompetisi sebagai wadah bagi klub-klub tersebut untuk berkompetisi satu dengan yang lain, yang bisa disebut dengan liga.

Tidak hanya bertujuan untuk berolahraga atau beraktivitas, adanya liga bisa menjadi ajang bagi klub-klub tersebut berkompetisi untuk meraih trofi, hadiah uang, atau prestasi lain setinggi-tingginya.

Baca juga: Wonderkid dan Bayang-bayang Label ‘The Next’

Lalu apa hubungannya suatu klub sepak bola dengan identitas kedaerahan?

Memang terlihat tidak nyambung, namun dari yang sudah kita baca di awal, klub sepak bola didirikan oleh komunitas lokal daerah, dan tentu saja mereka membawa semangat daerah atau komunitas mereka, dan sebagai ajang solidaritas orang-orang lokal mereka sendiri.

Ketika mereka disatukan oleh suatu komunitas, maka akan terjalin suatu ikatan dan rasa persamaan akan sifat kelokalan mereka. Bahkan tidak jarang logo atau badge akan memiliki simbol-simbol yang berkaitan dengan simbol atau segala sesuatu yang ada pada daerah tersebut.

Apa lagi jika suatu klub berkompetisi dan bersaing dengan klub dari daerah lain, maka masyarakat lokal rela menempuh jarak puluhan kilometer dan menghabiskan waktu berjam-jam di perjalanan, demi mendukung klub mereka agar tidak kalah dengan klub lain. Itu semua semata-mata demi harga diri dan martabat daerahnya.

Tentu saja hal itu akan menimbulkan drama apabila suatu daerah bertemu dengan daerah lain yang bertolak belakang atau bisa dibilang rival kedaerahan. Tentu daerah yang satu dengan yang lain mempunyai perbedaan dalam keadaan ekonomi, tabiat penduduknya, bahkan tak jarang soal keberpihakan pada negara.

Baca juga: Istiqomah dalam Mengasuh Atlet

Banyak faktor yang mempengaruhi rivalitas antardaerah, seperti kesenjangan ekonomi, perbedaan watak, atau kultur masyarakat antar kedua daerah.

Yang satu dikenal dengan daerah metropolitan atau perkotaan. Biasanya menjadi pusat nadi perekonomian, dikenal sebagai daerah industri modern dengan beragam fasilitas dan akses yang tertata rapi.  Masyarakatnya dikenal sebagai masyarakat kelas atas dengan segala pendidikan yang tinggi dan gaya hidup royal. Mereka membanggakan kelas sosial dan derajat mereka yang lebih tinggi dan lebih modern.

Sebaliknya derah satunya mempunyai tingkat kesejahteraan ekonomi yang buruk, angka pengangguran yang tinggi., dan kriminalitas yang cukup memprihatinkan. Masyarakatnya mayoritas berasal dari kalangan pekerja atau buruh dan mengandalkan tenaga kasar.  Mereka bekerja di lapangan pekerjaan yang keras seperti pelabuhan atau pabrik, juga tinggal di lokasi yang tidak layak huni.

Tingkat kualitas hidup maupun fasilitas di sana mungkin sangat buruk, namun mereka membanggakan etos dan kerja keras tinggi, serta mental mereka yang tahan banting karena terbiasa hidup susah. 

Maka jangan heran bila daerah metropolitan dan daerah pinggiran saling membenci dan memandang rendah satu sama lain. Masyarakat metropolitan mempunyai stereotype bahwa masyarakat pinggiran sebagai orang-orang yang berpendidikan rendah, rakyat jelata, dan kampungan.

Sebaliknya, masyarakat pinggiran memandang masyarakat kota sebagai orang-orang yang arogan dan hidup dalam segala kenyamanan dan tidak peduli pada kaum di bawahnya, sehingga menganggap mereka orang-orang yang lembek mentalnya dan tidak mengerti kesulitan dalam hidup.

Jika dua kelompok yang berbeda dan tidak menyukai satu sama lain ini dipertemukan dalam suatu pertandingan sepak bola, maka bisa dipastikan para pendukung akan mendukung klub yang mewakili kota mereka secara habis-habisan agar tidak kalah dari rival mereka.

Tentu saja bisa dibayangkan tensi antara pendukung yang memanas bahkan sebelum pertandingan dimulai. Chant-chant menggemuruh tentang kebencian terhadap masing-masing lawan yang saling bersahut-sahutan, koreo atau banner yang dibuat sedemikian mengerikan dengan ukuran raksasa yang bertujuan menjatuhkan mental lawan, juga flare yang menambah riuh suasana, seakan kedua klub tidak sedang bermain sepak bola tetapi dalam medan perang, bahkan sampai terjadi kericuhan jika emosi yang meledak-ledak tidak tertahankan lagi. 

Bahkan di era internet sekarang, psywar atau perang urat syaraf mulai muncul di sosial media sebagai bentuk teror terhadap tim lawan kapan pun dan di mana pun. Maka, tak heran sampai kepolisian sampai turun tangan dengan unit yang berjumlah ratusan untuk mencegah hal-hal yang tidak diinginkan saat pertandingan.

Juga bagaimana kita bisa melihat respon media massa meliput dan mengekspos segala sesuatu mengenai pertandingan itu hingga dibuat dalam topik khusus dan dimuat di halaman depan. Bisa dibayangkan suasana yang bukan seperti pertandingan olahraga lagi, tetapi seperti medan unjuk rasa besar-besaran.

Baca juga: Sinar Redup Lucas Piazon, Sang Kaka Baru

Sudah banyak sekali rivalitas antara dua tim sepak bola yang dilatarbelakangi berbagai identitas kedaerahan. Seperti rivalitas antara Juventus dan Napoli, yang dilatarbelakangi kebencian antara daerah selatan Italia (Napoli) yang terkenal akan kriminalitas yang tinggi juga buruknya keadaan ekonomi di sana, dengan daerah utara (Juventus) yang terkenal dengan kemakmuran daerah  dan kuatnya industri otomotif yang disokong oleh FIAT.

Atau juga Le Classique, bermula dari kebencian penduduk kota pelabuhan dan pekerja Marseille yang diwakili klub Olympique Marseille, lawan orang-orang Paris yang diwakili klub ibu kota Paris Saint-Germain (PSG) yang dianggap arogan dan borjuis.

Juga jangan lupakan salah satu duel paling terkenal sekaligus politis antara Real Madrid yang merupakan wajah kerajaan Spanyol sekaligus kota Madrid, melawan FC Barcelona yang mereprentasikan Katalunya. Tidak perlu dituliskan di sini untuk menggambarkan panasnya derbi jika terjadi antara daerah pusat negara melawan daerah yang mencoba membebaskan diri dari negara asal petenis Rafael Nadal tersebut. 

Kata identitas, menurut kamus Merriam-Webster, mempunyai arti sebagai ciri khas suatu individu atau kelompok.  Dengan kata lain bahwa identitas adalah suatu ciri khas yang dimiliki dan ada untuk membedakan tiap individu atau kelompok dengan yang lain.

Setiap daerah maupun penduduknya mempunyai identitasnya sendiri-sendiri, dan tentu saja para penduduk kota, dengan solidaritas yang tinggi akan menjaga identitas dari daerah mereka agar tidak dipandang sebelah mata oleh yang lain.

Kembali, itu semua demi harga diri, dan melalui sepak bola-lah, rivalitas antardaerah tersebut bisa terjaga turun temurun tanpa takut tergerus zaman dan globalisasi. Karena itulah, cerita-cerita sepak bola tidak akan selesai setelah 90 menit waktu normal. Pertandingan tidak hanya tentang yang terjadi di lapangan hijau.

 

*Penulis adalah seorang desainer grafis asal Yogyakarta. Bisa dihubungi di akun Twitter @pradipta_ale dan Instagram @pradiptale untuk melihat karya.