Suara Pembaca

Salah Kaprah Penerapan 4-3-3 di Timnas Indonesia

Sepak bola adalah olahraga dinamis. Selalu ada perubahan di tiap lini, baik dari segi aturan hingga segi strategi. Banyak faktor yang melatarbelakangi perubahan tersebut.

Dari sisi strategi misalnya. Satu dekade silam, sepak bola dunia selalu berkiblat pada gaya permainan kick and rush ala timnas Inggris. Sebuah permainan yang mengandalkan akurasi umpan panjang dan kecepatan dari pemain sayap untuk menusuk.

Namun semua itu berubah ketika timnas Spanyol muncul dari balik badai. Tim dari pesisir laut Mediterania ini secara mengejutkan berhasil memenangkan dua Piala Eropa dan satu Piala Dunia, masing-masing di tahun 2008, 2010, dan 2012.

Selain menjuarai turnamen, tim Matador juga membawa sebuah ide strategi yang cukup revolusioner, tiki-taka. Permainan pendek dari kaki ke kaki ini menjadi ciri khas bagi La Furia Roja di sepanjang turnamen.

Tiki-taka juga membawa sebuah perubahan baru. Pola permainan ini mengubah pakem strategi yang awalnya 4-4-2 menjadi 4-3-3. Mengubah peran dua sayap pragmatis menjadi dua winger cepat untuk menemani striker tunggal, dan menarik satu penyerang untuk melengkapi trio lini tengah dengan mobilitas tinggi.

Baca juga: 1 Juli 2012: Hat-trick Generasi Emas Spanyol

Sebuah strategi yang saat ini seakan menjadi pakem baru di dunia sepak bola, termasuk sepak bola Indonesia.

Di sepak bola Indonesia sendiri formasi ini dipopulerkan oleh Indra Sjafri ketika timnas U-19 yang ia asuh di tahun 2013 berhasil memenangi kompetisi AFF U-19. Kala itu formasi 4-3-3 dengan Evan Dimas, Zulfiandi, dan Hargianto menjadi pusat permainan dengan Ilham Udin Armaiyn, Maldini Pali, dan Muchlis Hadi Ning Syaifullah sebagai juru gedor pertahanan lawan.

Formasi 4-3-3 yang diadaptasi dari permainan tiki-taka ini cukup fleksibel di tangan Indra Sjafri saat itu. Evan Dimas yang berdiri sejajar dengan tiga gelandang tengah lain, terkadang juga dapat mengambil langkah di belakang ujung tombak dan mengubah formasi menjadi 4-2-3-1.

Ketika bertahan pun formasi ini kembali berubah menjadi 4-5-1 demi menambah jumlah pemain yang ada di tengah. Sebuah formasi yang bisa dibilang terbaik bagi permainan tim Indonesia yang mengandalkan kecepatan dan mobilitas tinggi.

Formasi ini pula yang menjadi dasar dari filosofi permainan yang ingin dikembangkan oleh federasi kita, Filanesia. Sebuah pola strategi yang mengombinasikan umpan-umpan pendek dengan umpan panjang yang cepat untuk mendobrak pertahanan lawan.

Sudah banyak tim di Shopee Liga 1 2019 yang menggunakan formasi ini. Persebaya Surabaya, Barito Putera, hingga PSM Makassar saat ini menggunakan formasi dan pola permainan ala Filanesia.

Namun alih-alih bersinar, tim yang menggunakan pola 4-3-3 ini justru seperti tak mampu mengembangkan pola permainannya. Malah tim dengan formasi 4-4-2 gaya lama dan gaya main ala kick and rush yang ingin ditinggalkan, menjadi menguasai liga saat ini, yakni PS TIRA-Persikabo dan Madura United. Lantas mengapa tim dengan formasi yang lebih modern ini justru gagal bersinar?

Jika membandingkan dari segi permainan antara tim Spanyol dan tim Indonesia, mungkin bisa dibilang ada sebuah salah kaprah terhadap penerapan formasi 4-3-3. Formasi ini sebenarnya menuntut semua pemain tengah agar memiliki mobilitas tinggi dan mampu membangun serangan dari sisi manapun. Tiga pemain tengah yang dipasang pun mempunyai kemampuan transisi yang amat baik.

Lihat saja Barcelona atau Real Madrid. Gelandang yang mereka gunakan semua adalah pekerja keras. Casemiro, Luka Modric, dan Toni Kroos di lini tengah Los Merengues semua memiliki daya jelajah tinggi dan visi bermain cemerlang.

Bandingkan dengan di Indonesia. Tiga pemain tengah yang digunakan di Tim Garuda mayoritas terdiri dari satu gelandang bertahan dengan peran pemotong rumput, satu gelandang tengah sebagai pengatur tempo, dan satu gelandang sebagai pembangun serangan di belakang striker. Ketiga gelandang ini, di Indonesia terlalu fokus terhadap satu peran yang ia emban.

Lihat saja sebagian besar gelandang tengah di Indonesia. Hariono misalkan. Pemain Persib Bandung ini jelas salah satu breaker terbaik di Indonesia saat ini. Tapi lihat kemampuannya membangun serangan. Jelas dia termasuk di bawah rata-rata untuk pemain tengah.

Baca juga: Hariono: Malfungsi Taktik dan Mesin yang Tak Bekerja Maksimal

Sementara di posisi gelandang serang, lihatlah Damian Lizio di Persebaya Surabaya. Dia nyaris tak berkontribusi apapun ketika Persebaya Surabaya bertahan. 

Tiga pemain tengah di lapangan ini bisa dibilang terkekang dengan peran yang harus ia emban. Padahal dalam formasi 4-3-3, pemain tengah dituntut untuk selalu bergerak.

Banyak ruang yang terbuka ketika formasi ini digunakan, seperti ruang antara winger dan fullback. Oleh karena itu daya jelajah tinggi dibutuhkan untuk melindungi tiap ruang yang terbuka. Selain itu kemampuan membangun serangan yang baik dari ketiga pemain tengah tentu akan memudahkan pemain depan untuk menciptakan peluang berbahaya.

Selain hal tersebut, satu alasan yang membuat tim di Indonesia masih gagal menerapkan formasi ini adalah transisi. Transisi dari bertahan ke menyerang, bisa dibilang kita luar biasa. Dengan kecepatan yang menjadi ciri khas permainan di negeri ini, serangan balik mungkin adalah senjata utama kita mencetak gol. Tapi transisi dari menyerang ke bertahan, mengerikan.

Dalam skema serangan balik, sering kita lihat terjadi duel tiga pemain bertahan melawan empat pemain menyerang. Breaker dan dua center back yang tak ikut menyerang terpaksa harus menghadapi sosok gelandang serang dan tiga pemain depan.

Fullback yang kerap dipasang membantu penyerangan lebih sering telat menutup ruang yang ia tinggalkan. Dua pemain tengah yang harusnya terus bergerak untuk menutup ruang kosong pun seperti lupa tugasnya ketika menyerang. Situasi ini membuat tim menjadi lebih mudah dibobol dari serangan balik.

Baca juga: Transisi Buruk Persib, Virus yang Menular

Arema FC dan Persib Bandung adalah contoh sempurna dari buruknya transisi ini. Hampir semua gol yang bersarang ke gawang Singo Edan adalah hasil dari buruknya transisi fullback mereka yang berhasil dimanfaatkan sayap cepat musuh. Sementara Persib, buruknya pressure lini tengah mereka ketika serangan balik sempat membuat mereka menderita kekalahan memalukan 4-0 melawan Persebaya Surabaya.

Mungkin dari semua tim yang menggunakan strategi ini, hanya PSM Makassar yang berhasil menerapkannya dengan baik. Dengan adanya dua gelandang dengan visi permainan dan kualitas bertahan yang baik sekelas Marc Klok dan Rizki Pellu, membuat seluruh area di lini tengah mereka dapat terlindungi dari serangan balik.

Tentu ini menjadi evaluasi bagi seluruh pelatih. Memainkan formasi menyerang 4-3-3 terkadang bukan jaminan menang, tapi justru menjadi bumerang bagi tim mereka, apabila pelatih serta pemain salah kaprah terkait penerapan formasi 4-3-3 ini.

 

*Penulis merupakan seorang mahasiswa Institut Teknologi Bandung yang gemar menganalisis sepak bola Indonesia. Bisa dihubungi di ID LINE: achmzulfikar