Cerita

1 Juli 2012: Hat-trick Generasi Emas Spanyol

1 Juli 2012 menjadi hari yang tidak akan dilupakan para pencinta sepak bola di Negeri Matador, Spanyol. Tepat di hari ini, tujuh tahun lalu La Furia Roja sukses mencatatkan diri sebagai peraih Piala Eropa back to back. Seantero negeri layak merayakan hat-trick yang dicatat generasi emas Spanyol di milenium baru.

Kisah manis itu berawal usai Spanyol menggetarkan Eropa lebih kurang sedekade silam. Mendiang Luis Aragonés yang memegang kemudi La Furia Roja sejak 2004, membuat perubahan signifikan dengan menampilkan gaya bermain tiki-taka ala Barcelona ke dalam timnas.

Hasilnya terlihat sejak kualifikasi Piala Dunia 2006 yang mana Spanyol tak terkalahkan sepanjang kualifikasi meski harus gugur lebih cepat di turnamen sesungguhnya, di babak 16 besar oleh negara yang kemudian melangkah ke final, Prancis. Namun, Aragonés baru menuai hasil dua tahun kemudian di stadion Ernst-Happel di kota Wina, ibu kota Austria.

Tampil tanpa cela di babak grup, Spanyol melaju ke final usai mengandaskan Italia lewat babak adu penalti di perempat-final dan kembali bertemu Rusia, lawan yang sejatinya sudah mereka taklukkan, di semi-final. Ada kisah unik di semi-final dimana timnas Spanyol mengganti kostum tandang mereka berwarna kuning menjadi lebih cerah.

Selidik punya selidik, Aragonés-lah hyang meminta hal tersebut karena percaya akan takhayul karena baginya warna kuning akan membawa sial. Dengan kostum yang warnanya lebih mirip saus mustard ketimbang kuning tersebut Spanyol sekali lagi meluluhlantakan Rusia 0-3 sebelum bersua Jerman di final.

Baca juga: Beragam Takhayul di Sepak Bola Asia Tenggara

Di akhir kisah, sebiji gol Fernando Torres ke gawang Jens Lehmann membuat La Furia Roja memenangkan gelar Eropa. Spanyol di bawah Luis Aragonés tampil tanpa cela, mereka berhasil menjadi juara Eropa kedua tanpa kalah sejak babak grup, mengikuti jejak Prancis di 1984.

David Villa yang dinobatkan sebagai top skor dan Xavi Hernandez yang diberi penghargaan pemain terbaik turnamen pun menjadi pelengkap pesta Piala Eropa 2008, yang kebetulan soundtrack-nya diisi oleh penyanyi kelahiran Madrid, Enrique Iglesias.

Tiki-taka yang membius dunia

“Dibawa Aragonés, disempurnakan Del Bosque,” seperti itulah keberadaan tiki-taka dan kedigdayaan La Furia Roja meski harus berganti nakhoda dari mendiang Luis Aragonés ke Vicente del Bosque. Sempat dipermalukan Swiss di pertandingan pembuka Grup H dengan skor tipis 0-1, Sergio Ramos dan kolega kemudian melaju kencang dan tak terkalahkan hingga partai puncak.

11 Juli 2010, dalam pertandingan yang kemudian dikenang dengan julukan Battle of Johannesburg karena tensi dan gengsi antar kedua negara, gol tunggal Andres Iniesta di menit ke-116 membawa Spanyol meraih gelar juara dunia pertama dari tangan negara yang pernah mereka duduki, Belanda.

Namun jika Tribes berpikir bahwa magis tiki-taka hanya ampuh di tanah Afrika, nyatanya kamu salah besar. Bukan hanya La Furia Roja yang kemudian perkasa di tahun 2010-an. Sepak bola Spanyol juga kembali menunjukkan tajinya dengan duopoli Barcelona dan Real Madrid. Bahkan Los Merengues yang tak identik dengan tiki-taka pun mondar-mandir memenangkan trofi Liga Champions hingga musim 2017/2018 lalu.

Berkat penampilan apik sedekade ke belakang, para pemain Spanyol juga jadi komoditi impian klub-klub seantero Eropa. Publik terpukau dengan para penyihir mungil seperti David Silva, Juan Mata atau Santi Cazorla yang menyihir Inggris sejak tahun 2010. Di tanah Jerman dan Italia, duo eks striker Real Madrid, Raul Gonzalez, dan Alvaro Morata sempat punya masa-masa yang indah di kota Gelsenkirchen-Schalke dan Turin.

Trofi Piala Eropa 2012 menjadi trofi pamungkas bagi La Furia Roja, mengingat semakin merosotnya performa timnas di tiga edisi kompetisi berselang, Piala Dunia 2014, Piala Eropa 2016 dan Piala Dunia 2018 lalu.

Baca juga: Ketika Tiki-Taka Spanyol Menaklukkan Piala Dunia 2010

Spanyol kembali bertemu Italia di laga final, Gli Azzurri berhasil menahan seri Spanyol di pertandingan pembuka dengan skor 1-1. Keduanya pun berhasil lolos dari Grup C dengan Spanyol sebagai juara grup dan Italia membututi di belakangnya dengan marjin 2 poin.

Spanyol berhasil membalas dendam 6 tahun lalu saat mereka bersua Prancis di perempat-final. La Furia Roja kemudian mengandaskan mimpi tetangga mereka, Portugal, untuk kembali berlaga di final Piala Eropa sebelum bersua Italia yang di lain jalur juga mengandaskan mimpi Jerman kembali ke final.

63.000 pasang mata di Stadion Olimpiade di kota Kiev menjadi saksi La Furia Roja membabi-buta kala David Silva, Jordi Alba, Fernando Torres, dan Juan Mata mengoyak jala Gianluigi Buffon. Di sisi lain Iker Casillas yang tampil untuk ke-100 kalinya bersama timnas Spanyol berhasil mencatatkan nirbobol.

Publik setidaknya akan mengenang generasi emas Spanyol yang menutup hat-trick gelar mereka dengan pesta gol, mereka telah berhasil membuktikan bahwa meski bertubuh mungil dengan tiki-taka mereka mampu membius para lawannya hingga tak berkutik di lapangan.

Lantas, akankah timnas Spanyol kembali berjaya suatu saat nanti? Perlukah seorang jenius sekaliber Pep Guardiola yang menangani La Furia Roja untuk kembali membawa trofi ke negeri para Matador?