Analisis

Memangnya Untuk Apa Sih Piala Presiden di 2019?

Piala Presiden menjadi salah satu turnamen tak resmi yang digulirkan sejak 2015. Kehadirannya pun banyak menuai pro dan kontra, mulai dari ajang mengisi kekosongan kompetisi kini Piala Presiden jadi turnamen mewah meski hanya sekadar turnamen pra-musim. Lalu, apa gunanya mengadakan Piala Presiden di 2019?

Mari mengingat kembali awal bergulirnya kompetisi ini kurang lebih empat tahun lalu. 30 Agustus 2015 kurang lebih pada pukul 16.00 WITA presiden Joko Widodo melakukan eksebisi sepak-mula di stadion Kapten I Wayan Dipta untuk membuka Piala Presiden edisi perdana.

Kala itu turnamen yang digagas oleh Mahaka Sports and Entertainment itu dibentuk untuk mengisi kekosongan kompetisi pasca berhentinya QNB League 2015 yang kala itu menjadi akar permasalahan federasi sepak bola Indonesia dengan pemerintah yang mengakibatkan PSSI dibekukan oleh badan sepak bola tertinggi dunia, FIFA.

Unik memang, jika melihat dari judulnya ‘Piala Presiden’ seharusnya digagas oleh pemerintah, yang padahal kala itu pemerintah sendiri –melalui BOPI (Badan Olahraga Profesional Indonesia) atas perpanjangan tangan Kementerian Pemuda dan Olahraga– ikut campur dalam masalah rumah tangga federasi dan salah satu produknya yakni QNB League.

Namun kini setelah masalah PSSI dan FIFA selesai, setelah tak ada lagi intervensi pemerintah di sepak bola Indonesia nyatanya Piala Presiden tetap tak hilang. Sejak 2017 ia hadir sebagai turnamen pra-musim yang memiliki konsep mewah.

Padahal sejarahnya trofi bernama ‘Piala Presiden’ adalah trofi bergilir yang diberikan kepada pemenang liga kasta tertinggi sepak bola Indonesia bersama trofi yang mereka menangkan musim tersebut. Sangat disayangkan jika kini sebutan Piala Presiden hanya untuk turnamen pra-musim saja.

Baca juga: Poin-Poin Penting yang Perlu Diperbaiki oleh Panitia Piala Presiden 2019

Tahun ini Piala Presiden kembali hadir dengan segudang masalah. Di tengah panasnya tahun politik yang kebetulan bertepatan pula dengan Pemilu Presiden, turnamen kali ini bahkan memiliki urgensi dan prioritas yang lebih ketimbang kompetisi lainnya yang diatur oleh federasi.

Sekalipun memiliki visi dan misi yang jelas seperti transparansi keuangan, memastikan tidak adanya match fixing dan lain sebagainya boleh dibilang jadwal Piala Presiden 2019 yang akan dilangsungkan 2 Maret sampai 12 April seolah terkesan dipaksakan, karena nyempil di tengah bergulirnya Piala Indonesia 2018/2019 dan menjelang sepak mula Liga 1 2019.

Belum lagi dengan adanya dua klub Indonesia yang berlaga di kompetisi Asia, bahkan para peserta Piala Presiden berlomba-lomba memasang target tinggi menjuarai kompetisi pra-musim ini seolah Piala Presiden masuk dalam agenda resmi federasi saja.

Kritik lainnya juga tertuju pada venue pertandingan yang tahun ini dipusatkan di pulau Jawa. Pihak penyelenggara memilih Bandung, Bekasi, Sleman, Magelang dan Malang sebagai tuan rumah di babak grup.

Di Piala Presiden 2018 lalu venue pertandingan tak terpusat di pulau Jawa saja. Jika memang cita-cita penyelenggara adalah menghidupkan perekonomian lewat sepak bola, mengapa Tenggarong dan Gianyar yang tahun lalu menjadi tuan rumah tak lagi dipilih?

Baca juga: Jadwal Penyisihan Grup Piala Presiden 2019

Lebih baik tak perlu ada Piala Presiden di 2019!

Sepak mula Piala Presiden 2019 sudah dilakukan di stadion Si Jalak Harupat, Soreang, Bandung Sabtu (2/3) sore lalu, pertandingan di Grup A yang dihuni Persib Bandung, PS TIRA Persikabo, Persebaya Surabaya, dan Perseru Serui pun sudah tersaji. Terlambat sudah menyerukan kampanye memboikot turnamen ini baik di dunia nyata maupun media sosial.

Tetapi coba kita hela napas sejenak dan pikirkan kembali bahwa sepak bola Indonesia akan baik-baik saja tanpa adanya Piala Presiden di 2019. Memangnya untuk apa sih Piala Presiden di 2019? Jika kompetisi ini hadir dengan segudang masalah memang lebih baik yak perlu ada Piala Presiden di 2019!

Yang pertama tentu dengan tidak adanya Piala Presiden maka kompetisi resmi federasi dapat digulirkan tanpa adanya perubahan jadwal. Piala Indonesia yang telah merampungkan babak 16 besar misalnya, bisa dengan tenang menggulirkan babak 8 besarnya di waktu penyelenggaraan Piala Presiden.

Atau yang lebih penting lagi adalah menggelar sepak mula Liga 1 2019 dan Liga 2 2019 lebih cepat dari yang dianjurkan, yakni selepas Pemilu yakni bulan Mei (untuk Liga 1) dan Juni (untuk Liga 2).

Hal ini jelas merujuk pada liga-liga di sejumlah negara di Asia Tenggara yang sudah melangsungkan sepak mulanya di awal tahun 2019. Toh jika nantinya ada agenda Pemilu, liga dapat libur sejenak sebelum dilanjutkan kembali di bulan Mei dan/atau Juni.

Baca juga: Piala Emas Bang Yos, Ketika Pra-Musim Tetap Serius tapi Santai

Coba hitung saja, tenggat waktu lebih kurang satu bulan penyelenggaraan Piala Presiden dapat digunakan untuk mencicil enam pekan pertandingan Liga 1 2019 dengan pengandaian ada game week di tiap akhir pekannya.

Yang jadi pertanyaan, jika Piala Presiden 2019 dapat digulirkan dan tentu ada izin keramaian dari pihak Kepolisian dan lain-lain disetujui, kenapa untuk menggulirkan liga tidak bisa? Kenapa dengan visi-misi yang jelas dari pihak penyelenggara Piala Presiden tak langsung diaplikasikan ke dalam liga musim ini?

Tentu dengan semua berita negatif yang belakangan beredar di masyarakat, para pencinta sepak bola nasional sangat jelas menginginkan liga yang bersih, yang transparan keuangannya, yang bebas dari isu match fixing dan lain-lain.

Yang kedua adalah memberi istirahat cukup bagi dua klub yang berlaga di kompetisi Asia, Persija Jakarta dan PSM Makassar. Alih-alih membuat mereka keletihan dengan jadwal yang mereka hadapi, alangkah baiknya tidak semua klub dipaksakan bermain di kompetisi pra-musim yang tahun ini diiming-imingi total hadiah Rp 50 miliar tersebut.

Para pesepak bola bukanlah robot atau sapi perah yang harus terus-menerus digenjot fisik dan mentalnya di dalam kompetisi yang teramat panas. Apalagi bagi pemain asing, turnamen pra-musim seperti Piala Presiden ini kerap jadi vonis bagi mereka untuk lolos atau tidaknya dikontrak oleh klub.

Baca juga: Daftar Panjang Korban Pra-Musim Liga 1 2018

Di Eropa sendiri kompetisi atau tur pra-musim yang kompetitif seperti International Champions Cup atau Premier League Asia Trophy menuai banyak kritik. Sebab sudah sewajarnya waktu pra-musim digunakan untuk persiapan tim, pelan-pelan dan bertahap, demi menghadapi musim baru.

Klub-klub yang sudah terlanjut ikut pun menjalani pertandingan demi pertandingan dengan santai, bahkan menjadi sarana yang cocok untuk para pemain muda unjuk gigi atau para pemain baru beradaptasi dengan tim. Namun anomali di Indonesia unik, tak jarang para pemain justru batal dikontrak karena tak memuaskan di turnamen pra-musim.

Seharusnya para pemain masih bisa berlibur sambil berlatih di pra-musim, tak terlalu dipusingkan dengan target yang dipasang oleh manajemen. Ah, apalagi Piala Presiden hanya turnamen pra-musim untuk tim-tim elite saja. Maka jadilah klub-klub di divisi bawah yang mengharapkan berkah pra-musim seperti pada umumnya tak kebagian uji coba.

Rasa-rasanya ada sesat berpikir dalam mengelola turnamen pra-musim di Indonesia dalam beberapa tahun ke belakang. Pada akhirnya semua pihak akan terjerat dalam lingkaran setan bahwa: “semua pertandingan harus dimenangkan, semua piala harus direbut.” Jadilah Piala Presiden sebagai turnamen pra-musim yang terlalu kompetitif.

Ya, This is Indonesia, Sir!