Suara Pembaca

Derita Blunder: Moacir Barbosa dan Andrés Escobar

Blunder dalam sepak bola biasa terjadi. Bintang paling terkenal hingga para pemain dadakan sepak bola di lapangan kampung pernah melakukannya. Yang membedakan hanyalah sejauh mana penerimaan akan blunder yang terjadi.

Beberapa blunder bisa dihapuskan. David Beckham merasakan itu. Ia dicela setelah blunder kartu merah melawan Argentina pada Piala Dunia 1998. Namun semua berubah terutama setelah Beckham meloloskan Inggris ke putaran final Piala Dunia lewat gol tendangan bebas ke gawang Yunani.

Roberto Baggio begitu sial ketika tendangan penaltinya melesat di final Piala Dunia 1994. Setelah itu kariernya tak lagi melesat. Tiga klub terbesar Italia, Juventus, AC Milan dan Internazionale, tak berhasil memaksimalkan potensi hebat Baggio. Demikian pula karier di tim nasional yang tak lagi gemilang seiring usia kehadiran para pemain muda. Kesalahannya seolah “diampuni” setelah menghabiskan sisa karier di Brescia dengan gemilang.

Zinedine Zidane lebih beruntung karena sundulan ke dada Marco Materazzi di final Piala Dunia tak terlalu mengganggu kehidupannya. Padahal ia mendapat kartu merah karena ulahnya itu dan berdampak Prancis gagal menjadi juara dunia. Zidane pensiun lalu bisa menikmati karier emas kedua setelah menjadi pelatih Real Madrid.

Namun efek berbeda blunder menimpa dua nama berikut, Moacir Barbosa Nascimento dan Andrés Escobar Saldarriaga. Keduanya mengalami hal berlawanan tapi sama-sama tragis. Semua hanya karena blunder yang mereka lakukan di sebuah pertandingan sepak bola.

Baca juga: Moacir Barbosa dan Mitos Kiper Kulit Putih di Timnas Brasil

Moacir Barbosa

Moacir Barbosa merupakan kiper utama Brasil di Piala Dunia 1950. Kejuaraan itu berlangsung di rumah Barbosa sendiri, Brasil. Singkat kata Brasil tampil bagus di babak grup dengan lolos sebagai juara grup. Barbosa juga hanya dua kali kebobolan dan mencatat dua kali clean sheet dari tiga pertandingan Grup 1.

Babak final  kala itu sedikit berbeda lantaran tak memakai sistem gugur setelah babak grup. Dengan demikian tak ada partai final di Piala Dunia 1950. Sistem yang digunakan justru round robin dengan empat peserta yaitu tuan rumah Brasil, Uruguay, Swedia, dan Spanyol. Brasil dengan gemilang menang telak atas Swedia dan Spanyol, sementara Uruguay bermain imbang dengan Spanyol dan menang tipis atas Swedia.

Lalu tibalah pertandingan terakhir. Brasil melawan Uruguay dan Swedia melawan Spanyol. Hasil pertandingan terakhir Swedia mengalahkan Spanyol sementara Uruguay mengalahkan Brasil. Uruguay lalu menjadi juara dunia lagi setelah yang pertama tahun 1930 pada Piala Dunia yang juga pertama kali digelar.

Baca juga: Sinar Terang Rodrigo Bentancur di Piala Dunia 2018

Sebenarnya Uruguay hanya bermain satu kali melawan Bolivia. Hal itu karena di grup Uruguay hanya ada sisa peserta lantaran Prancis mengundurkan diri. Berbeda dengan Brasil di grup 1 yang terdiri empat peserta.

Piala Dunia saat itu belum seperti sekarang. Banyak negara yang menolak tampil. Bahkan ada peserta negara yang mundur sebelum Piala dunia digelar seperti Prancis. Banyak faktor yang mempengaruhi termasuk di antaranya dunia yang baru berbenah setelah Perang Dunia Kedua selesai.

Kembali ke Barbosa. Pertandingan Brasil melawan Uruguay menjadi seakan-akan final Piala Dunia. Brasil hanya butuh imbang untuk juara, sementara Uruguay harus menang untuk juara. Pertandingan lain Swedia melawan Spanyol tak lagi menentukan juara. Seperti yang telah diketahui, Uruguay mengalahkan Brasil. Namun dampaknya pada seorang manusia bernama Barbosa begitu tragis.

Barbosa sebelumnya tampil di semua laga Brasil pada Piala Dunia 1950. Namun satu kekalahan Brasil dari Uruguay seakan semua ditimpakan kepadanya. Persekusi terus berlanjut hingga akhir hayat yang menimpanya. Bahkan setelah meninggal pun ia masih menerima persekusi. Semua persekusi itu lantaran kesalahannya yang tak mampu mencegah gol kemenangan Uruguay. Kiprah gemilangnya lantas seakan hilang.

Baca juga: Sepak Bola, Media Sosial, dan Pelecehan Seksual

Barbosa berusia 29 tahun pada Piala Dunia 1950 dan meninggal tahun 2000 pada usia 79 tahun. Namun memori kegagalan Barbosa terus diulang-ulang dari masa ke masa di Brasil. Bahkan kegagalan Brasil di Piala Dunia sesudahnya tak menghentikan persekusi. Ada banyak literasi baik yang berbahasa Indonesia atau asing mengenai tragisnya Barbosa setelah kekalahan pertandingan terakhir Piala Dunia 1950 itu.

Sementara kekalahan telak Brazil dari Jerman pada semifinal Piala Dunia 2014 di Brasil menjadi luka baru bagi Brasil. Kebetulan juga terjadi pada pagelaran Piala Dunia di tanah sendiri. Hal itu bisa jadi sedikit mengurangi persekusi Barbosa. Meski nampaknya belum benar-benar hilang hingga kini.

Andrés Escobar

Piala Dunia 1994 berlangsung di Amerika Serikat. Kolombia lolos sebagai wakil dari wilayah Zona Amerika Selatan Conmebol. Andrés Escobar termasuk dipanggil masuk tim nasional Kolombia menyambut Piala Dunia 1994 meski tak banyak bermain pada kualifikasi.

Escobar tampil di di semua pertandingan grup. Lawan Kolombia ketika itu tuan rumah Amerika Serikat, Rumania, dan Swiss. Dari tiga pertandingan yang dimainkan, Kolombia tak berhasil melaju ke babak sistem gugur. Sebuah kekalahan dan sepasang kekalahan membuat Kolombia menjadi juru kunci Grup A.

Rumania tampil sebagai juara Grup A, Swiss menjadi peringkat kedua, dan tuan rumah Amerika Serikat di urutan ketiga sekaligus masuk sebagai peringkat tiga terbaik. Ketiganya lolos ke babak gugur. Rumania melaju hingga ke perempat-final, sedangkan Amerika Serikat dan Swiss langsung gugur di perdelapan-final. Sementara final Piala Dunia 1994 sendiri menghasilkan Brasil sebagai juara dunia keempatnya. Brasil mengalahkan Italia lewat adu penalti.

Baca juga: 17 Juli 1994, Hari Terburuk di Karier Emas Roberto Baggio

Bagi kedua tim, pertandingan Amerika Serikat melawan Kolombia sama-sama merupakan pertandingan kedua di Grup A. Kolombia harus meraih poin untuk menjaga harapan lolos ke babak sistem gugur. Namun hasil pertandingan akhirnya dimenangkan oleh Amerika Serikat. Pertandingan itu yang diwarnai sebuah gol bunuh diri Escobar.

Lalu tragedi terjadi. Lima hari sesudah Kolombia pulang dari Piala Dunia, Escobar tewas ditembak. Ia meninggal pada usia 27 tahun. Banyak spekulasi mengenai peristiwa itu, contohnya meyakini penembakan Andres Escobar imbas dari gol bunuh dirinya ketika melawan Amerika Serikat.

Sebenarnya Escobar telah diperingatkan untuk tidak keluar dahulu. Kondisi Kolombia ketika itu memang kurang bagus, tapi ia menolak karena ingin tetap keluar menemui orang-orang.

Dekatnya peristiwa penembakan dengan kegagalan Kolombia memang disebut faktor utama penembakan Escobar. Meski ada yang berpendapat berbeda bahwa tak ada kaitan peristiwa penembakan dengan hasil Kolombia Piala Dunia. Para penembak dan kumpulanya berhasil ditangkap dan dihukum. Sementara Escobar tetap dikenang di Kolombia dan belahan bumi lain. Kematiannya selalu diperingati tiap tahun di Kolombia.

Kematian Escobar mengingatkan bahwa ada risiko tak terbayang di sepak bola. Sebuah kesalahan bisa berakibat panjang, dan efek setelah pertandingan yang terkadang lebih mengerikan. Entah terkait atau tidak, sulit menghilangkan kesan meninggalnya Escobar cukup terkait blunder gol bunuh diri yang ia lakukan ke gawang Amerika Serikat.

penampilan Karius

Mewajarkan blunder yang wajar

Blunder merupakan hal yang lumrah pada pertandingan sepak bola. Bahkan bisa dikatakan blunder nyaris ada pada tiap pertandingan. Banyak hal yang mempengaruhi mengapa blunder bisa terjadi, dari faktor teknis hingga non-teknis.

Sebuah pertandingan terakhir Barbosa dan dua pertandingan terakhir untuk Escobar berdampak tragis. Kebetulan keduanya melakukan blunder ketika membela tim nasional masing-masing di Piala Dunia yang berbeda era. Hal yang terjadi akibat dampak atas blunder yang mereka lakukan.

Barbosa menanggung persekusi hingga akhir hidup, terutama dari mereka yang tak mengenal Barbosa dengan baik. Escobar harus menutup usia karena penembakan, yang diduga kuat merupakan efek dari gol bunuh dirinya.

Maka mewajarkan blunder yang wajar boleh jadi harus ditanamkan. Penikmat sepak bola tak perlu berlebihan menyalahkan blunder. Sebaliknya para pemain harus menjaga level permainannya untuk meminimalisir terjadinya kesalahan. Sebuah kesalahan yang dilakukan sudah cukup untuk menutup prestasi elok yang mereka bangun bertahun-tahun.