Cerita

Sepak Bola, Media Sosial, dan Pelecehan Seksual

Media digital dalam bentuk media sosial menjadi salah satu jenis media yang berkembang pesat dalam beberapa tahun ke belakang. Lihat saja pergeseran dari media cetak ke media daring dalam genggaman kita. Informasi tentang dunia sepak bola juga semakin berkembang pesat, karena dibantu oleh media sosial.

Tak hanya media massa yang berlomba-lomba melakukan digitalisasi, para pemain, klub dan federasi juga berlomba-lomba menunjukkan eksistensinya di dunia maya. Begitu pula dengan debat antar-suporter yang biasanya terjadi di ruang publik, kini menjalar di dunia maya seturut dengan hadirnya budaya berkomentar.

Baca juga: Deretan Blunder Pesepak Bola di Media Sosial

Namun kali ini sesuatu yang perlu menjadi keprihatinan bersama adalah maraknya pelecehan seksual yang terjadi di dunia maya, terutama terhadap kaum perempuan. Lho memangnya hal tersebut bisa sampai ke sepak bola yang (katanya) didominasi laki-laki?

Ya tentu saja bisa. Pada Senin (26/11) akun resmi klub AS Roma menegur seorang fan yang berkata tidak pantas saat AS Roma memuat cuplikan pertandingan tim wanita I Giallorossi di Serie A Femminile. Bagi AS Roma sendiri pencapaian tim wanita mereka sendiri menjadi kebanggaan, maklum pada debutnya di kompetisi tertinggi La Lupa belum terkalahkan di lima pertandingan terakhir.

Padahal baru-baru ini kampanye stop kekerasan terhadap perempuan digaungkan oleh pihak Serie A di giornata ke-13. Kampanye yang bernama Un Rosso Alla Violenza ini atau yang secara harafiah berarti “Kartu Merah untuk Kekerasan” diinisiasi oleh WeWorld Onlus, sebuah organisasi yang mempromosikan dan melindungi hak anak-anak dan wanita di Italia dan seluruh dunia.

Pelecehan seksual digital menjalar ke Indonesia

Nahasnya sikap candaan bernada seksis seperti yang ditampilkan dalam utas akun AS Roma tersebut juga terjadi di Indonesia. Dan parahnya candaan tersebut justru menyentil kampanye Un Rosso Alla Violenza. Aktivis perempuan Indonesia, Tunggal Pawestri, menyayangkan budaya media sosial yang masih melanggengkan bentuk candaan bernada seksis, utamanya soal kekerasan terhadap perempuan.

“Kekerasan terhadap perempuan bukan bahan bercandaan. Jika terus permisif dan menganggap isu ini bisa jadi materi untuk cengengesan, ya silahkan pikir saja sendiri kapan kita bisa menuntaskan perkara ini,” ungkapnya di Twitter.

Ketika sepak bola sudah mampu memberi wadah dan kesempatan setara untuk para perempuan berkarya di dalam dan di luar lapangan hijau, nahas memang jika sebagian besar penikmat sepak bola masih melanggengkan sikap misogini (kebencian atau tidak suka terhadap wanita atau anak perempuan), melakukan cat-calling atau bahkan candaan berbau seksis baik di stadion maupun di dunia maya.

Mungkin hal itu yang membuat sepak bola perempuan di Indonesia masih sulit untuk tumbuh, apalagi saya yang sempat aktif bersama teman-teman komunitas Women’s Footie Indonesia dalam setahun ke belakang melihat bagaimana liarnya para laki-laki mengomentari fisik dan atribut lainnya dari seorang pemain, mengomentari bagaimana seharusnya perempuan berada di rumah, bukan di lapangan dan sebagainya.

Baca juga: Women’s Euro 2017 dan Sepak Bola Wanita yang Gagal Meriah di Indonesia

Lebih jauh sikap-sikap seperti ini semakin menegaskan bahwa iklim sepak bola Indonesia belum ramah terhadap perempuan dan anak. Jangankan membayangkan pertandingan sepak bola sebagai hiburan keluarga di akhir pekan, kalau masih banyak tugas yang perlu kita benahi bersama. Salah satunya menumpas pelecehan seksual di kalangan penikmat sepak bola.

Maka dari itu penting bagi kita untuk menyebarkan virus-virus kebaikan seperti ini. Mulailah bersikap wajar dan etis kepada siapa saja, dalam kasus ini tentunya para perempuan. Jadi jika anda, laki-laki, mengaku sebagai seorang gentlemen maka pantas kita hentikan segala pelecehan seksual baik secara verbal maupun tindakan, baik di dunia nyata maupun di dunia maya.

#StopViolenceAgainstWomen because #IStandWithHer !