Stadion Rose Bowl yang terletak di kota Pasadena sejatinya bukanlah venue untuk pertandingan sepak bola. Arena berkapasitas 92 ribu tempat duduk ini merupakan tempat di mana olahraga khas Amerika, American football, biasa dipertandingkan. Namun khusus di tahun 1994, Rose Bowl juga dipergunakan untuk laga sepak bola lantaran ketika itu Amerika Serikat sedang menjadi tuan rumah perhelatan Piala Dunia.
Salah satu partai krusial yang digelar di arena ini terjadi pada tanggal 17 Juli 1994 saat memanggungkan pertandingan dengan tajuk final. Dua kontestan yang bertanding ketika itu adalah wakil Amerika Selatan, Brasil, dan utusan benua Eropa, Italia.
Sebelum partai final tersebut, kedua negara itu bersama Jerman Barat (sekarang Jerman) adalah tim dengan titel Piala Dunia terbanyak dengan menjadi juara di tiga kesempatan yang berbeda-beda. Brasil menjuarainya pada tahun 1958, 1962 dan 1970. Sementara Italia keluar sebagai yang terbaik pada tahun 1934, 1938 dan 1982. Maka raihan trofi Piala Dunia 1994 akan membuat salah satu di antara Brasil dan Italia menjadi kampiun terbanyak di turnamen sepak bola antarnegara yang paling akbar ini.
Berbekal kualitas prima yang kedua kubu miliki, agak sulit untuk menentukan tim mana yang menjadi unggulan karena masing-masing kubu juga berisikan pemain-pemain bintang yang bisa menjadi faktor penentu jalannya laga.
Brasil yang ketika itu ditangani Carlos Alberto Parreira dimotori oleh Aldair, Bebeto, Carlos Dunga dan Romario. Sedangkan Italia besutan Arrigo Sacchi diperkuat oleh Franco Baresi, Roberto Baggio, Nicola Berti serta Gianluca Pagliuca. Kondisi semacam itu membuat laga final Piala Dunia 1994 tak ubahnya perang bintang sepak bola dunia yang tengah berada di masa keemasan mereka.
Sayangnya, meski punya segudang pemain bintang, kedua kubu justru tampil gugup di partai final. Hal ini membuat keduanya gagal menceploskan gol di 2×45 menit waktu normal. Wasit asal Hungaria yang memimpin jalannya laga, Sandor Puhl, lantas melanjutkan laga ke babak perpanjangan waktu 2×15 menit.
Tak berbeda jauh dengan waktu normal, kedua tim tetap saja buntu dan gagal mengubah papan skor. Kedudukan sama kuat 0-0 pun memaksa laga berlanjut ke babak adu penalti. Dan pada momen inilah sebuah peristiwa ikonik yang melibatkan Baggio dan takkan lekang oleh zaman itu terjadi.
Baik Parreira maupun Sacchi telah menyiapkan algojo-algojo penalti terbaik yang mereka miliki. Baresi yang ditunjuk sebagai penendang pertama Italia gagal mengeksekusinya dengan sempurna. Sayangnya, usaha Brasil untuk memperoleh keunggulan sirna setelah Marcio Santos gagal menunaikan tugasnya dengan sempurna.
Demetrio Albertini yang menjadi penendang kedua Italia sukses menjalankan kewajibannya sehingga memberi keunggulan bagi Gli Azzurri. Romario yang maju sebagai eksekutor kedua Selecao berhasil menyamakan kedudukan menjadi 1-1.
Algojo penalti ketiga Italia, Alberigo Evani, kembali membawa Italia unggul setelah sepakannya meluncur mulus ke gawang Claudio Taffarel. Namun sekali lagi, Branco dari pihak Brasil tak ingin memberi asa kepada rival beratnya tersebut. Tendangan pemain yang saat itu membela Gremio sukses merobek jala Pagliuca. Skor kembali sama kuat, 2-2.
Penyerang AC Milan, Daniele Massaro, ditunjuk sebagai eksekutor keempat Italia. Sial bagi Massaro, tendangannya tak membuahkan hasil. Italia berada dalam tekanan sementara angin mulai berhembus ke arah Brasil. Apalagi beberapa saat kemudian, Dunga yang juga kapten Brasil berhasil memperdayai Pagliuca untuk membalikkan keadaan menjadi 3-2.
Dengan beban yang cukup berat, Baggio maju sebagai penendang kelima Italia. Dirinya yang ketika itu disebut-sebut sebagai salah satu bakat terbaik dari Negeri Pizza, justru membuat kesalahan fatal. Baggio gagal menunaikan tugasnya dengan sempurna karena bola sepakannya malah melayang tinggi ke angkasa.
Baggio langsung menundukkan kepala begitu melihat tendangannya melayang tinggi. Para pemain, pelatih dan ofisial timnas Italia tertunduk lesu. Di lain pihak, para pemain, pelatih dan staf Brasil berpelukan sembari berteriak gembira. Melambungnya sepakan Baggio memang bikin skor 3-2 bagi keunggulan Brasil tak berubah dan timnas Selecao berhak memboyong titel Piala Dunia mereka yang keempat.
Andai saja sepakannya tak melambung, kans untuk memperpanjang nafas dan terus berupaya tentunya akan tetap hidup bagi Italia. Sayangnya, saat itu dewi fortuna memang lebih berpihak kepada Brasil. 17 Juli 1994, bertempat di Stadion Rose Bowl, Pasadena, seorang pesepak bola penuh talenta asal Italia bernama Roberto Baggio, ketiban sial yang luar biasa. Dan hari itu bisa menjadi hari terburuk di sepanjang karier sepak bolanya.
Author: Budi Windekind (@Windekind_Budi)
Interista gaek yang tak hanya menggemari sepak bola tapi juga american football, balap, basket hingga gulat profesional