Cerita

#WomenInFootball Bukan Sekadar Emoji

Beberapa hari lalu akun Twitter @TwitterUK membuat sebuah utas yang mengapresiasi diluncurkannya emoji #WomenInFootball. Ini merupakan emoji pertama tentang sepak bola wanita yang digagas oleh Twitter dan komunitas Women in Football. Namun lebih dari itu, #WomenInFootball bukan sekadar emoji.

Media sosial sangat efektif untuk membuat dan membagikan sebuah gerakan, termasuk apa yang dibuat oleh komunitas Women in Football yang bergabung ke Twitter sejak Maret 2012. Komunitas ini mengampanyekan kesetaraan untuk para perempuan, terutama di Inggris, agar mendapatkan hak yang sama di sepak bola.

Kampanye itu semakin viral ketika Twitter meluncurkan emoji #WomenInFootball. Kini berbagai orang mampu menemukan kisah-kisah para perempuan hebat dalam sepak bola secara umum melalui tagar emoji tersebut. Empat kisah menarik secara khusus difilmkan oleh @TwitterUK.

Baca juga: Sepak Bola, Media Sosial, dan Pelecehan Seksual

Empat kisah itu di antaranya adalah kisah komentator wanita Jacqui Oatley, kisah klub Lewes FC, dua pesepak bola kembar Rosie dan Mollie Kmita, serta analis performa tim putri Manchester City, Roya Arabshahi.

Khusus bagi Oatley, dia tak hanya komentator di pertandingan atau turnamen sepak bola putri, tetapi juga sepak bola putra sekelas Liga Primer Inggris. Debutnya bahkan disiarkan BBC pada 21 April 2007 saat menjadi komentator Fulham kontra Blackburn Rovers.

“Kau tak pernah tahu apa yang terjadi setiap Sabtu. Saat tumbuh dewasa aku tak yakin apakah ada opsi untuk bekerja di dunia sepak bola (untuk perempuan). Perempuan hanya menjadi reporter untuk melaporkan pertandingan dan tak lebih dari itu. Namun aku seorang yang optimis.”

Jacqui merasakan hal berbeda sebagai komentator karena dia terlihat berbeda, suaranya berbeda (dari suara komentator laki-laki), tapi dia berpikir hal itu tidak seharusnya menjadi penghalang.

“Menjadi komentator wanita pertama sangat hebat tapi butuh bantuan lebih banyak wanita di industri ini untuk bicara lebih banyak,” ujarnya

Ia berharap ada lebih banyak wanita yang terlibat di industri sepak bola, karena mimpinya untuk mendorong para kaum hawa berbuat lebih dan menjadikan sepak bola industri yang ramah terhadap isu kesetaraan jender.

perempuan sudah jauh terlibat dalam urusan sepak bola

Masalah gaji dan stigma yang menghambat kesetaraan jender

Bicara tentang isu kesetaraan jender, salah satu hal yang kerap membedakan pesepak bola putra dan putri adalah perihal gaji. Patokannya adalah gaji selangit yang diterima para megabintang seperti Lionel Messi, Cristiano Ronaldo dan Neymar.

Data Guardian menunjukkan bahwa perbedaan gaji berdasar jender di sepak bola lebih parah ketimbang di bidang lainnya seperti politik, kesehatan, dan bisnis. Neymar yang menerima gaji 32,9 juta paun jumlahnya sama dengan gaji 1.693 pesepak bola profesional putri di Prancis, Jerman, Inggris, Amerika Serikat, Swedia, Australia, dan Meksiko.

Jurang itu yang coba dipangkas oleh Lewes FC, kesebelasan yang menggaji pemain di tim putra dan putri dengan jumlah yang sama.

“Mereka bermain di lapangan yang sama, berlatih dengan fasilitas yang sama. Sekali kami bisa melakukannya, tak ada alasan klub lain tidak melakukannya,” ucap salah seorang pendukung Lewes.

Tim putra Lewes saat ini berkompetisi di kasta ketujuh dalam hierarki kompetisi sepak bola putra Inggris, sementara tim putri berkompetisi di di kasta kedua.

Baca juga: Joanna Lohman dan Misi Besar untuk Memajukan Sepak Bola Wanita

Lalu bagaimana dengan hal lainnya? Selain gaji, ada pula stigma yang terus mendarah daging tak hanya di Inggris tapi di belahan dunia lainnya tentang pesepak bola putri.

Minimnya sekolah khusus untuk para perempuan membuat mereka harus bermain bersama laki-laki di tim yang sama di masa mudanya. Stigma tomboy pun mau tak mau melekat pada mereka. Hal itu yang dirasakan si kembar Rosie dan Mollie Kmita, dua pesepak bola yang sempat mengunjungi dan melakukan coaching clinic di Jakarta.

“Bermain bersama di Tottenham selama sepuluh tahun, kemudian kami berpisah. Aku (Mollie) di Gillingham dan Rosie baru saja menandatangani kontrak profesional pertama dengan West Ham.”

Pengalaman serupa juga diutarakan Roya Arabshahi yang tak menyangka akan berkarier di sepak bola sebagai analis tim perempuan Manchester City. Meski demikian, dia tetap bersemangat menjalani tugasnya.

“Aku mungkin yang pertama datang dan terakhir pulang di kantor, tapi aku menyukainya,” tutur Roya.

Sepak bola dan para perempuan di atas lahir dari rahim yang sama; Inggris. Maka sudah sepantasnya perempuan bisa menikmati sepak bola dan mendapatkan kesempatan sama untuk berkarier di sepak bola seperti para laki-laki.

Lalu bagaimana dengan di Indonesia? Perlahan tapi pasti harus ada wadah yang menampung aspirasi para pelatih, pemain, dan pekerja wanita di dunia sepak bola. Selain menyemangati satu sama lain, semoga ke depan iklim sepak bola Indonesia bisa ramah terhadap perempuan baik di dalam maupun di luar lapangan.