Langkah Timnas U-23 Indonesia terhenti di perdelapan-final Asian Games 2018 cabang olahraga (cabor) sepak bola putra. Kekalahan dari Uni Emirat Arab (UEA) hari Jumat lalu (25/8) membuat jutaan penggemar tim nasional kembali harus merasakan sakitnya kekalahan di tengah tingginya antusiasme dan optimisme.
Lebih menyesakkan lagi, mengingat skuat asuhan Luis Milla sebenarnya menguasai jalannya pertandingan. Plus, keenam gol (termasuk adu penalti) yang bersarang di gawang Andritany Ardhiyasa seluruhnya berasal dari titik putih.
Terlepas dari opini publik, penulis sendiri memilih untuk tidak menuding wasit Shaun Evans sebagai biang kekalahan timnas, walau banyak yang bilang seperti itu. Hanya saja dalam sepakbola memang segala hal bisa terjadi dan keberuntungan tidak selalu berada di tim yang bermain lebih baik. Sialnya, kemarin dewi fortuna sedang tidak berada di pihak kita.
Hal yang sama tentu dirasakan oleh pendukung Republik Irlandia yang melihat Thierry Henry menahan bola dengan tangannya sebelum memberi asis pada William Gallas dalam play-off kualifikasi Piala Dunia 2010. Atau Spanyol di babak 16 besar Piala Dunia 2018 yang mendominasi saat melawan Rusia namun harus takluk dalam adu penalti pula.
Penulis sendiri menganggap bahwa pertandingan pekan lalu adalah salah satu permainan terbaik timnas sejak dilatih Luis Milla. Pelatih Spanyol ini berhasil menciptakan tim yang mampu bermain kolektif, membangun serangan dari bawah dan menunjukkan permainan menghibur hingga menit akhir pertandingan. Meningkatnya kemampuan dari setiap pemain tentu juga menjadi nilai positif dalam kepemimpinan Milla.
Kita bisa melihat dalam kondisi tertinggal 1-2, serangan dari timnas tetap dibangun dari bawah. Zulfiandi tetap tenang dan mengalirkan bola ke depan, baik umpan vertikal ke Beto Goncalves atau mendikte permainan dengan umpan ke sayap. Struktur tim tetap baik, berbeda dengan beberapa tahun lalu di mana timnas akan terus mencoba mengirim umpan jauh ke kotak penalti yang cenderung lebih mudah dihalau lawan dengan postur tinggi besar.
Namun di balik permainan timnas yang sebenarnya cukup memuaskan, masih ada beberapa warganet yang memilih untuk mem-bully para pemain, khususnya Andritany, Andy Setyo, Septian David dan Saddil Ramdani. Akun Instagram mereka dipenuhi ratusan bahkan mungkin ribuan hujatan, cacian dan makian dari para warganet.
Alasannya tentu jelas. Bagol, sapaan Andritany, gagal menahan satupun eksekusi penalti pemain UEA. Andy Setyo membuat pelanggaran yang menyebabkan terjadinya penalti pertama. Septian dan Saddil turut “berkontribusi” dalam kekalahan karena eksekusi mereka yang melenceng dan berhasil ditangkap.
Mungkin para warganet itu, yang penulis anggap sebagai “kaum nyinyir” lupa bahwa timnas bisa sampai babak 16 besar juga karena kontribusi keempat pemain tersebut. Meskipun Andy memang baru bermain di pertandingan ini, tidak baik rasanya membebani semua kekalahan ini di pundaknya. Andritany sebagai salah satu pemain senior mampu membimbing Hansamu Yama dan pemain belakang lain dengan baik selama fase grup.
Sementara itu Saddil dan Septian, yang masuk sebagai pemain pengganti, bahkan memberi asis untuk gol penyama kedudukan dari Beto dan Stefano Lilipaly yang membuat asa Indonesia kembali hidup. Justru tanpa mereka mungkin kita tidak akan bisa mencapai babak adu penalti.
Mencaci mereka, dan pemain lain yang belum saya sebutkan tentu tidak akan membuat timnas lolos. Tidak pula membuat kita terlihat lebih baik dari para penggawa Garuda Muda. Sebaliknya, perlakuan ini justru membuat mereka semakin terpukul dan tertekan atas kekalahan tersebut. Tentu akan lebih bijaksana jika kita mengirim motivasi dan ucapan terima kasih atas perjuangan mereka, bukan?
Apalagi dengan usia yang masih 23 tahun ke bawah, perjalanan para Garuda Muda tentu masih sangat panjang. Dalam waktu dekat ada Piala AFF yang akan datang dan tentunya akan ada sebagian pemain dari tim ini yang dipanggil ke timnas senior. Bukankah artinya mereka masih sangat membutuhkan dukungan kita semua?
Tren mem-bully seperti ini membuat saya curiga, justru penyebab keringnya prestasi timnas disebabkan oleh sebagian suporternya sendiri. Dengan usia semuda itu, mereka harus memikul beban ekspektasi yang diberikan oleh masyarakat.
Kita harus ingat, beberapa dari mereka adalah alumnus Timnas U-19 era Indra Sjafri, yang meskipun berhasil juara Piala AFF U-19 dan lolos ke Piala Asia U-19, malah dieksploitasi dan akhirnya babak belur di fase grup Piala Asia. Hal ini membuat para pemain justru bermain tidak lepas dan akhirnya kembali menelan pahitnya kegagalan.
Suporter perlu merenungkan caranya menyikapi kekalahan timnas. Memang sulit menjadi realistis dalam sepak bola, jika tidak mau disebut pesimis. Padahal jika dipikir-pikir, berhasil mendominasi tim seperti UEA yang memiliki keunggulan postur dan fisik adalah sebuah poin positif tersendiri.
Kita seakan abai bahwa dalam adu penalti, pemain sehebat apapun bisa gagal. Wong Roberto Baggio dan Zinedine Zidane saja bisa gagal, kok. Saya malah memilih untuk mengapresiasi keberanian Saddil dan Septian yang berani untuk mengambil tendangan.
Saya tidak tahu cara yang paling tepat untuk menghilangkan budaya menyalahkan pemain ini, hanya saja saya memilih untuk menyuarakannya. Saya yakin pula masih banyak orang yang memilih untuk tetap mengapresiasi perjuangan Garuda Muda dan setia berdiri di belakang mereka.
Ingatlah, akan selalu ada yang menang dan kalah dalam setiap pertandingan sepak bola. Satu hal lagi, belum tentu saya bisa melakukan hal yang lebih baik jika saya berdiri di lapangan menggantikan mereka.
Tetap tegakkan kepala kalian, Garuda Muda!