Cerita

Menilik Akar Gaya Suporter Kasual di Stadion

Seringkali, pakaian yang dikenakan para suporter di stadion bukan sekadar gaya, melainkan cerminan suatu fenomena sosial budaya yang terjadi. Sebut saja gaya kasual yang kini marak dipakai para suporter sepak bola Tanah Air. Bila dirunut ke belakang, gaya kasual para suporter ini memiliki sejarah panjang.

Awalnya kasual merupakan penghubung beberapa masalah pelik sosiologi budaya anak muda Inggris setelah Perang Dunia. Budaya fesyen kasual muncul saat konsumsi dirayakan dengan begitu mencolok, menyertai etos pasar bebas dari pemerintahan Pedana Menteri Inggris, Margaret Thatcher.

Hubungan gaya kasual dengan suporter sepak bola sebenarnya sulit ditelusuri. Ini karena erat kaitannya antara gaya kasual dengan kekerasan para Hooligan di Inggris. Seringkali informasi hanya menjadi kenangan pribadi dan menjadi konsumsi komunitas mereka saja. Namun Phil Thornton pada 2003 coba merangkai cerita-cerita tersebut dan memetakan kemajuan gaya pakaian para suporter sepak bola.

Menurutnya, gaya kasual pertama kali diperkenalkan suporter Liverpool saat mereka pulang dari Stadion Olimpico, Roma, pada Mei 1977. Saat itu Liverpool berhadapan dengan raksasa Jerman, Borussia Mönchengladbach, di final Piala Champions. Pertandingan tersebut dimenangi Liverpool dengan skor 3-1.

Walaupun pulang dari stadion sambil merayakan kemenangan, suporter Liverpool kembali ke Inggris tidak mengenakan jersey atau atribut lain terkait seragam, logo, atau warna merah yang identik dengan Liverpool. Mereka justru mengenakan produk dari desainer olahraga ternama Italia dan Prancis, seperti Lacoste, Sergio Tacchini, bahkan adidas.

Hal itu bertujuan mengelabuhi pihak kepolisian yang masih terfokus pada suporter dengan gaya Skinhead, yang kerap dituding menjadi sumber kerusuhan. Namun di sisi lain, pemakaian gaya kasual oleh suporter Liverpool dengan jumlah banyak, justru menarik perhatian suporter klub lainnya.

Selanjutnya, gaya kasual menjadi tradisi baru dalam sepak bola. Pada akhir tahun 1970-an banyak Hooligan dari sejumlah klub di Inggris yang mengenakan pakaian mahal dari jenama terkenal, untuk menghindari perhatian polisi yang mengawasi mereka. Strategi itu juga bermaksud menghindari pengawasan suporter klub lawan dan agar lebih mudah menyusup di sejumlah pub atau bar.

Skinhead, rahim kelahiran gaya kasual

Selain itu, pengaruh kelas sosial yang terjadi di Inggris tahun 1960-an juga berpengaruh pada fesyen kasual. Sebagai sub-kultur anak muda, Skinhead bisa disebut sebagai tesis yang melahirkan budaya kasual di Inggris. Skinhead sendiri adalah sub-kultur yang lahir di London pada tahun 1960-an.

Gaya fesyen Skinhead mirip dengan Punk. Memakai sepatu boots Dr. Martens, kawat gigi, jins ketat yang digulung melewati mata kaki, serta mengenakan jaket denim. Nama Skinhead merujuk pada rambut para pengikut yang dipangkas botak.

Kelas sosial ini diisi oleh anak muda yang bekerja sebagai buruh atau pekerja kasar lainnya. Kehidupan dan dunia mereka yang keras, berpengaruh pada karakter sosial dan penampilan, termasuk cara mendukung klub sepak bola kesayangan.

Para Skinhead awalnya sering dianggap rasis. Ini berawal  ketika beberapa pemuda bergaya Skinhead terlibat konflik dengan imigran asal Pakistan dan Asia Selatan (mereka menyebutnya Paki-Bashing) di Inggris pada era 1960-an. Tindak kekerasan dipicu pemuda Skinhead yang merupakan para pekerja, saat merasa lahan pekerjaannya semakin sempit. Mereka terhimpit para imigran yang rela dibayar lebih murah.

Label rasis semakin kental ketika beberapa anggota Skinhead tergabung dalam organisasi seperti White Power dan National Front pada awal 1970-an. Militansi dan karakter keras khas para pekerja sempat membuat mereka dijadikan alat politik, termasuk dikaitkan dengan paham Neo Nazi.

Selera pada musik dan pilihan gaya hidup di kalangan pemuda Inggris pada kelas sosial yang berbeda, juga menjadi dasar terciptanya rentetan sub-kultur tersebut. Selanjutnya, selera musik dan fesyen tersebut menjadi hal yang terus memengaruhi perkembangan gaya kasual suporter sepak bola.

Oleh industri fesyen, situasi ini dimanfaatkan atau dinilai sebagi potensi pasar. Memasuki tahun 1990-an, terjadi perubahan besar pada gaya kasual setelah label basar mulai memperoleh popularitas di kalangan kasual. Sebagian besar suporter mengidentifikasi identitas mereka dengan gaya kasual sebagai strategi untuk menjadi suporter yang berbeda.

Jenama seperti Stone Island, Aquascutum, atau Burberry mulai terlihat di beberapa klub sepak bola. Pada akhirnya, di pengujung 1990-an, suporter yang bergaya kasual mulai jenuh karena maraknya gaya tersebut di kalangan sesama suporter sepak bola. Semakin maraknya gaya kasual ini juga didukung munculnya barang bermerek palsu di peredaran.

Meski demikian, gaya kasual tidak hilang ditelan zaman. Saat ini ia masih banyak dijumpai di kalangan suporter, dan turut menjadi saksi bisu evolusi sepak bola. Dari yang dulu hanya sekadar olahraga untuk kesehatan dan hiburan, sampai sekarang menjadi industri pengeruk kekayaan.