Kolom

Apa Itu Ultras Antifa?

Sepak bola, mengamini ucapan Gus Dur, adalah permainan yang bisa menjadi cermin bagi kehidupan. Mengamini ucapan beliau, lewat sepak bola kita bisa dengan mudah memahami relasi kuasa, konflik ekonomi-politik, sampai moda kultural yang dijalani setiap pihak yang terlibat.

Ini menjadi gampang dimengerti karena sepak bola adalah permainan paling populer sejagat. Orang-orang Amerika boleh saja berbangga hati, mengatakan Super Bowl sebagai ajang paling meriah. Tetapi itu hanya terjadi di Amerika. Jika ada orang non-Amerika yang menonton pun, jumlahnya sedikit, seperti umat Budi Windekind misalnya.

Beberapa hari yang lalu, akun Twitter Antifa Jakarta mencuitkan twit berseri yang membahas isu antifa dan suporter sepak bola tanah air.

Antifa merupakan abreviasi dari kata “anti” dan “fasisme”. Mereka adalah sekelompok orang yang menganggap fasisme sebagai bahaya di dalam kehidupan. Mereka yang mengaku sebagai Antifa biasanya juga mengafiliasikan diri dengan paham anarkisme.

Lantas apa hubungannya dengan sepak bola? Cukup erat, terutama di Eropa sana di mana kesadaran berpolitik dan pemahaman akan ideologi cukup tinggi.

Fasisme adalah paham yang pernah menghantui Eropa pada masa Perang Dunia ke-II. Ini merupakan suatu ide eksklusif yang menganggap mereka yang berlain paham sebagai musuh, lalu patut dibinasakan. Para penjahat perang seperti Adolf Hitler, Benito Mussolini, sampai Slobodan Milosevic adalah para pemimpin yang tak segan melakukan aneksasi dan genosida.

Tapi fasisme tidak berhenti di era itu. Ide-ide seperti keagungan ras menjadi tren yang terus populer karena Eropa dalam beberapa tahun belakangan dihantui masalah krisis imigran. Jumlah imigran dirasa terlalu banyak dan mereka merebut ruang-ruang sosial yang ada.

Paham Antifa dalam sejarahnya juga diadopsi subkultur punk. Ada sebuah golongan yang menamakan diri mereka Skinheads Against Racial Prejudice (SHARP), atau anak-anak skinhead yang anti kepada prasangka rasial.

Musik skinhead juga diperebutkan oleh anak-anak muda simpatisan Nazi. Beberapa band pun cemas akan fenomena tersebut, seperti The Press, Life’s Blood, Oi Polloi, dan tentu saja, The Oppressed.

Jika Anda ingin mengetahui bagaimana paham neo-fasis memanfaatkan anak-anak muda Inggris lewat subkultur, saya menyarankan untuk menonton This is England (2006) karya sutradara Shane Meadows.

The Oppressed paham bahwa neo-fasisme juga menjangkiti sepak bola, sehingga mereka merasa perlu untuk membuat sebuah lagu perlawanan yang berjudul “Antifa Hooligan”.

Lagu di atas berisi lirik lugas dan singkat, sebagaimana laiknya band-band beraliran punk. Pesannya jelas: tak peduli di jalan maupun di tribun stadion, kami siap melawan para simpatisan Nazi.

Dan perbenturan-perbenturan pun menjadi tak terelakkan. Suporter sepak bola yang juga Antifa sering terlibat baku hantam dengan suporter-suporter sayap kanan atau bahkan ultra-kanan.

Ultras sepak bola Antifa tidak hanya kompak di pertandingan-pertandingan sepak bola. Militansi juga mereka tumpahkan di aksi-aksi massa yang memprotes pemerintah. Isu-isu seperti globalisasi, ketimpangan sosial yang ekstrem, atau pertemuan negara-negara G20, menjadi momen di mana mereka bersatu dengan kelompok-kelompok aktivis lain.

Di Eropa, tidak ada klub selain St. Pauli yang memiliki kecenderungan politik suporter yang anti-fasis. Ultras St. Pauli sering dinobatkan sebagai suporter sayap kiri paling militan. Anda bisa telusuri puluhan artikel serta buku yang menjelaskan bagaimana di mata mereka sepak bola bukan sekadar apa yang terjadi di atas lapangan.

Seperti halnya kaum anarko, ultras St. Pauli mengenakan baju serba hitam, yang merupakan simbol pengorbanan diri atau “self-sacrifice”. Ini seperti mengesankan bahwa ada urusan lain yang lebih penting ketimbang urusan pribadi semata. Memang, aksesoris serba hitam yang dikenakan kaum anarko bermula di Jerman pada 1986.

Ide perlawanan terhadap fasisme, oleh suporter St. Pauli dikembangkan semakin radikal (mendalam). Mereka mengecam segala bentuk diskriminasi, entah itu terhadap ras marjinal, atau tentang preferensi seksual seseorang. Suporter St. Pauli akan berada di barisan terdepan untuk mendukung hak-hak LGBT.

Berlawanan dengan kaum kanan Eropa, suporter St. Pauli yang identik dengan logo tengkorak ini mendukung penuh keberadaan para pengungsi dari negara-negara yang sedang diamuk perang.

Maka bukan hal yang mengherankan bila klub miskin trofi asal Hamburg itu memiliki basis suporter sampai di Amerika Serikat. Orang-orang Jerman ini mengajarkan bahwa sepak bola bisa menjadi lahan perjuangan bagi mereka yang berpandangan politik progresif.

Kembali lagi ke cuitan akun Antifa Jakarta. Impian mereka untuk melakukan hal serupa akan diadang batu terjal. Sebabnya sederhana saja. Pendidikan politik di negara kita, berkat rezim Orde Baru, masih bergerak di tempat. Apalagi ide-ide Antifa seperti dukungan pada LGBT akan menuai kecaman di negara yang heteronormatif dan ultra-religius seperti Indonesia.

Berandai-andai tidaklah salah: akan menyenangkan kiranya bila sepak bola bisa menjadi wadah perjuangan, yang tidak abai terhadap isu-isu sosial.

Author: Fajar Martha (@fjrmrt)
Esais dan narablog Arsenal FC di indocannon.wordpress.com